BAB 1 Sunyi yang Menelan

859 Words
Setiap malam datang, kesunyian selalu menjadi tamuku yang paling setia. Bukan cahaya lampu di kamarku yang temaram, bukan pula angin malam yang menyusup lewat celah jendela yang menyertainya, hanyalah rasa sepi yang mengisi seluruh d**a. Terlalu sunyi hingga suara jangkrik terdengar seperti jeritan dalam ruang kosong. Aku takut pada keheningan. Takut pada kegelapan yang seolah menyimpan bayang-bayang masa lalu. Aku takut membuka mata. Takut melihat kenyataan bahwa rumah ini semakin hari semakin kehilangan kehidupan. Sejak Mama tiada, semuanya berubah. Rumah besar ini hanya dihuni foto-foto dan lukisan yang berdiri kaku di rak-rak kayu. Tidak ada canda, tak ada tawa, bahkan ayah lebih sering hilang ditelan pekerjaannya. Aku hanya seperti benda yang dibiarkan ada. Karena itu, salahkah aku jika berusaha mengusir sunyi dengan pergi ke club malam? Setidaknya di sana penuh manusia. Penuh cahaya. Penuh suara. Aku bisa berpura-pura hidup di tengah kebisingan. “Woi, melamun aja!” suara Vonny menggelegar di telingaku. Aku menoleh dan menyunggingkan senyum kecil. Club malam memang bukan tempat untuk melamun, tetapi pikiranku selalu kembali ke tempat yang sama yakni RUMAH, kesepian, dan bayangan Mama. Vonny menarik tanganku dan membawaku ke lantai dansa. Tubuhnya lentur dan gemulai mengikuti alunan musik. Sementara aku hanya berdiri kikuk, tidak tahu harus menirunya dari mana. Malu rasanya. Tapi Barbara tertawa, memukul pelan bahuku, lalu berteriak, “Ikuti aja iramanya! Jangan dipikirin!” Aku mencoba. Sedikit kaku, sedikit bodoh. Namun untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, d**a terasa sedikit lega. Rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Ayah baru saja memarahiku pagi tadi. Setelah mendapati plastik bekas narkoba di meja rias kamar. Bukan milikku, setidaknya itu yang ingin kupercayai. Namun ayah tidak mau dengar penjelasanku. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupku, dia menamparku. Kata-katanya masih terngiang. Tuduhan, kemarahan, kekecewaan. Aku pergi tanpa menunggu dia berhenti bicara. Menyambar tas, berlari ke luar rumah, dan menaiki taksi pertama yang lewat. Aku tak peduli kemana tujuanku selama itu bukan rumah. Di ujung gang tempat para pengguna berkumpul, aku melihat Ivan. Temanku, atau mungkin sekedar orang yang kuandalkan, ketika aku ingin melupakan dunia. “Van! Van!” seruku. Ivan menoleh dan tersenyum lebar. “Ada apa, Dri? Senang banget kayaknya liat gue.” “Jangan sok. Aku butuh barang. Tolong bantu, ya?” Ivan mendengus. “Utangmu aja belum dibayar. Masa mau minta lagi?” “Van, please…” kataku memelas. “Aku bayar tiga kali lipat. Jangan buat aku nunggu lama.” Dia tertawa kecil, menggeleng pelan. “Gue paling nggak bisa nolak kalo lo lihat gue kayak gitu. Empat kali lipat.” “Deal.” Aku benci diriku ketika berkata begitu. Tetapi kebutuhan untuk lepas dari rasa sakit lebih besar daripada harga diriku sendiri. --- Beberapa hari setelah kejadian itu, ayah memutuskan sesuatu yang tidak pernah kuduga. “Kamu liburan saja ke Bintan,” katanya sambil menatap map-map dokumennya. “Sebelum kelakuanmu makin menjadi-jadi.” Aku tak menyangka. Itu adalah kalimat pertama yang terdengar seperti perhatian setelah beberapa tahun terakhir. “Makasih, ayah…” bisikku sambil memeluknya. Pelukan yang terasa asing. Hangat tapi sekaligus kosong. Setidaknya Barbara ada di Bintan. Dia yang selama ini selalu menenangkan, meski terkadang terlalu keras kepala. --- Saat aku sudah pergi, Ellen, kakakku pulang ke rumah. “Bi, mana yang lainnya? Rumah sepi banget.” “Non Audrey pergi ke Bintan,” jawab Bi Minah. “Ngapain dia ke sana? Dia kan libur kuliah.” Bi Minah tidak bisa menjelaskan. Lalu Ellen menelepon ayah. “Kenapa ayah biarin dia pergi sendiri? Dia itu makin parah pergaulannya!” katanya marah. “Kamu ini kakaknya. Kamu harus jagain dia,” jawab ayah tegas. Ellen menggerutu, merasa selalu dijadikan kambing hitam. Mereka tidak tahu apa yang kurasakan. Tidak mengerti kesepian yang kuhadapi setiap hari. Tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari betapa aku hanya ingin diperhatikan. --- Sesampainya di Bintan, Barbara menepati janjinya pada ayah. Pagi-pagi sekali dia mengetuk pintu kamarku. “Dri! Buka pintu. Ini aku, Barbara!” Tiga hari aku mengurung diri, tidak makan, tidak bicara. Barbara terbeliak melihat wajahku. “Gila, kamu pucat banget. Mau mati kamu?” katanya. Aku kembali ke kasur dan menangis. Barbara mengejarku, lalu keluar kamar dengan wajah panik. Saat kembali, dia membawa air minum dan roti. “Audrey, tolong makan sedikit. Kamu bikin aku takut,” katanya. Suaranya bergetar. Aku ingin bicara, tapi tubuhku terlalu lemah. Dalam kelelahan itulah pikiranku kembali ke masa yang ingin kulupakan. Ke masa saat Jack, pacar kakakku melakukan hal yang tak pernah bisa kulupakan. Aku mengingat bagaimana tubuhku tak berdaya di apartemennya. Ingatan yang kuharap bisa hilang, tetapi tidak pernah mau pergi. Ingatan yang membuatku lari ke narkoba, ke diskotik, dan ke kegelapan. Dan kini, semua itu menelanku pelan-pelan. --- Barbara duduk di sampingku. “Audrey… ada apa sebenarnya? Kamu kenapa seperti ini?” Aku memejamkan mata. Ada banyak hal yang ingin kukatakan, tetapi semuanya terlalu menyesakkan. Kisah kelam tentang Jack. Tentang tubuhku yang direnggut. Tentang ketakutan. Tentang rasa ingin mati. “Tolong… jangan paksa aku cerita,” bisikku. Barbara menghela napas. “Baik. Tapi kamu nggak boleh melewati ini sendiri. Aku di sini, Dri. Untuk kamu.” Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli. Kesunyian itu tiba-tiba tidak terasa terlalu menakutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD