Bab 1: Bagaikan Kupu-kupu bag. 1
***
Di bawah langit yang hampir selalu mendung menaungi Inggris, pacuan langkah sepatu pantofel berlari melewati g**g-g**g sempit perumahan. Sejenak gadis itu berhenti untuk mengambil napas sebelum berlari lagi dengan sisa kekuatan kakinya. Rambut hitam sebahunya tersingkap ke belakang bahu seiring lari cepat melawan angin.
Berlari adalah kegiatan paling melelahkan bagi hidup Ria. Gadis itu tidak suka berlari. Membuat dadanya sesak jadi susah bernapas. Seharusnya dia tidak melakukan hal ini...
"Michaelis! Tunggu aku!" teriaknya hampir tidak seperti berteriak. Napasnya terengah-engah. Oksigen terasa sudah berada di tenggorokan saat melihat punggung Michaelis menghilang di tikungan luar g**g. Menyerah, Ria berhenti dan terbungkuk karena kelelahan. Untuk ke sekian kalinya dia istirahat di tengah-tengah pengejaran. Mendekat ke tembok dengan sempoyongan, dia menyandarkan bahunya sambil menormalkan pernapasannya lagi.
Lalu mengecek jam tangan canggih di pergelangan kiri, gadis itu tidak berniat berhenti di tengah misi. Ria memutar tumitnya dan mencari jalur lain. Ketika itu getaran halus di saku pakaian membuat dia meraih ponsel dan menjawab panggilan telepon dari Michaelis. "Halo?" buka Ria.
"Kau ada di mana, Ria?" tanya Michaelis sedikit meninggikan nadanya. Terdengar panik sekaligus khawatir.
Ria meringis. "Aku masih di g**g. Posisimu sekarang di mana?" balasnya. Menyimpan susunan rahasia di otak.
"Aku di tengah pasar. s**l aku kehilangan jejak anak itu."
"Tetap di sana, aku akan datang dari arah timur dan kita menangkap anak itu," ucap Ria.
"Kau tahu di mana bocah itu?" Michaelis terheran.
Akan tetapi Ria tidak menjawabnya dengan spesifik. "Perhatikan saja di sekitarmu." Kemudian gadis itu menutup sambungan telepon sepihak. Memasukan lagi ponselnya ke dalam saku pakaian, lalu mulai menarik langkah dengan mantap. Senyum percaya diri mengembang di wajah manisnya seolah bisa menyelesaikan misi ringan ini sekarang juga.
***
Lelaki itu menatap datar pemandangan di depannya. Terdapat lima kantong jenazah berjejer di tanah. Jejak pertempuran terlihat di sekitar area dalam gudang ini. Barang-barang yang berantakan dengan sebagian benda hancur. Melihat kondisi di sini bukan hal baru bagi para pria berpakaian hitam formal di sini. "Tuan Aldhen, akibat kejadian pencurian benda itu, sudah dikonfirmasi bahwa telah menewaskan lima anggota kita," lapor seorang pria baya berambut putih di sampingnya.
"Beritahu keluarganya bahwa kami berdukacita dan beri mereka santunan sesuai prosedur," sahut Aldhen bernada dingin. Tanpa ekspresi berarti, pria muda dengan mantel hitam ini kemudian berbalik badan dan melangkah santai menuju pintu gudang. "Aku akan mencari udara segar," pamitnya sambil melewati pundak pria berusia setengah abad itu.
"Tuan! Anda mau ke mana?" Dikenal dengan nama Joe, dia bertanya sambil memandang punggung Aldhen. Lalu dia melihat tangan kiri lelaki muda itu melambai santai seakan menjawabnya tanpa ingin diganggu.
Aldhen menatap langit biru mendung itu. Bibir tipisnya bergerak menggumamkan kata-kata. "Kuharap aku kejatuhan bidadari cantik." Wajahnya tampak berekspresi bosan saat berkata demikian. Sebenarnya dia tidak memiliki tujuan. Hanya berjalan-jalan mencari udara segar dan pemandangan baru yang lebih menyegarkan daripada darah.
***
Pandangan Michaelis berpendar seusai mendengar perkataan Ria tadi di telepon. Itu artinya target mereka ada di sekitar dirinya saat ini. Namun, mencari satu orang di antara keramaian pasar bagaikan mencari jarum ditumpukan jerami. Mata Michaelis harus tajam melihatnya. Hingga picingan matanya terhenti di depan lapak sayuran sejauh tiga meter. Terdapat seorang bocah laki-laki dengan ciri-ciri yang sudah dihapal berada di sana. Sedang memasukan tangannya ke dalam tas ibu-ibu secara diam-diam. "Kena kau, bocah!" Michaelis menyeringai senang.
Tanpa menunggu lagi, Michaelis langsung memacu langkah berlari. Dari sudut matanya, secara naluriah bocah itu menyadari sesuatu mendekat. Ketika menoleh, matanya membelalak melihat pria itu lagi yang sudah pasti akan menangkapnya. Kontan saja dia berbalik melarikan diri sambil membawa dompet hasil curiannya. "Berhenti kau bocah!" teriak Michaelis berang. Detik berikutnya mereka kembali kejar-kejaran bak kucing dan tikus yang menyelinap ke g**g-g**g sempit.
Di saat yang sama, Ria mempercepat langkah di g**g lain. Lalu berbelok tiba-tiba, dan dalam sedetik Ria merasakan wajahnya menabrak sesuatu yang bidang. Membuat gadis itu seketika terdorong mundur sampai jatuh tersimpuh. Ria meringis-ringis. Sudah sakit di bagian wajah, ditambah bokongnya harus mendarat di permukaan juga. Apakah hari ini sedang s**l?
"Apa kau baik-baik saja, nona?"
Suara berat khas seorang pria bertanya dengan nada lembut. Sejenak Ria mengangkat wajahnya mendongak dan segera dapat dia temukan uluran tangan dari seorang pria bermata cokelat yang membungkuk khawatir. Hanya satu kata yang tergumam di benak Ria: tampan. Ria terpana sesaat sebelum mengusai dirinya lagi lalu meraih tangan pria itu untuk membantunya kembali berdiri.
"Aku sedikit tidak baik. Tapi bukan masalah," jawab Ria gugup disertai senyum meringis.
"Aku harap bidadari sepertimu tidak terluka karenaku," ucap lelaki itu dengan suara bersedih. Membuat Ria terkesiap mengerjap kaget, apa tidak salah dengar? Sedetik kemudian pipi Ria memanas seketika saat mendengar suara khas di tengah-tengah mereka sampai lelaki di depannya mengulum senyum maklum. Satu kalimat tanya pun diajukan pada gadis yang tampak menahan malu itu. "Apa kau lapar?"
Suara perutnya tadi terdengar begitu jelas di keheningan ini. Ria merasa malu memegangi perutnya yang minta diisi. Tiba-tiba dia tersentak kaget. Ingat ada misi yang harus diselesaikan hari ini, Ria merasa tak memiliki banyak waktu lagi untuk sekadar mengobrol basa-basi dengan orang asing. "Maaf sudah menabrakmu tadi," kata Ria. Lalu berlari dengan teburu-buru melalui Aldhen.
Aldhen berbalik badan ke arah gadis itu pergi. Sorot matanya tidak dapat diartikan saat memperhatikan punggung mungil berbalut blouse hitam itu. Bibirnya menarik senyum tipis. "Aku menemukanmu," bisik bibir itu misterius.
"Bidadariku."
***
***