Agatha baru saja keluar dari kamar mandi ketika melihat ada orang ramai-ramai tengah mengerumuni sesuatu tak jauh dari tempatnya berdiri. Tentu saja, Agatha tertarik untuk ikut melihat ke sana.
"Permisi-permisi, ada apa, sih?" tanya Agatha pada orang yang sebenarnya tidak ia kenal.
Orang itu menjawab sekadarnya, "Ini ada yang muntah-muntah. Habis makan ini kayanya."
Agatha berusaha melihat lebih jauh lagi. Namun kerumunan itu tak memberi ruang pada Agatha untuk melakukan niatannya.
Sampai akhirnya, kerumunan itu bubar karena panitia yang meminta. Beberapa panitia tampak membawa si pesakitan ke tempat medis darurat yang memang sudah panitia siapkan.
Melihat orang yang muntah-muntah itu sudah tertangani, Agatha pun melipir pergi. Gadis itu kembali bergabung bersama ketiga temannya.
"Lama amat lo ke kamar mandi?" tanya Verrel saat melihat batang hidung Agatha.
Agatha berdecak singkat. Sambil mulai membuka nasi kotak miliknya, gadis itu berujar, "Tadi ada peserta muntah-muntah di dekat kamar mandi. Dia dikerubungi banyak orang. Makanya gue juga jadi penasaran."
"Muntah-muntah kenapa?" cecar Arthur dengan sikap was-was. "Nggak keracunan, kan?"
"Tadi ada yang bilang kalau peserta itu muntah-muntah habis makan," jawab Agatha sambil mendongakkan kepala dan mengurungkan niatnya untuk menyuap makanan.
Arthur tampak terdiam. Tapi setelah melihat bahwa separuh isi dari kotak makan siangnya sudah ludes dan ia baik-baik saja, kemungkinan besar itu bukan keracunan. "Mabuk perjalanan?" duga Arthur.
Shana tampak sepakat, "Iya, lebih mungkin dia mabuk perjalanan dan nggak enak badan makanya sampai muntah ketimbang dia keracunan."
"Ya udah lah ya, bukan apa-apa ini," ujar Verrel menutup pembahasan mereka soal itu.
Mereka berempat pun lanjut makan dalam diam. Sampai tiba akhirnya panitia kembali memberikan pengumuman. Panitia memberikan pembagian ruang dan mempersilakan peserta untuk menuju ke tenda masing-masing. Mereka juga diberi waktu hingga petang untuk bisa melakukan apa saja dan acara makrab hari pertama akan dimulai pada pukul tujuh malam.
***
Untunglah, Arthur bisa satu tenda dengan Verrel. Mungkin karena mereka mendaftar di waktu yang bersamaan, jadi nama mereka pun berurutan.
Tapi tentu saja, di dalam satu tenda, tak hanya diisi dua orang. Masih ada dua orang lainnya yang akan bergabung bersama Arthur dan Verrel.
"Kenalin, gue Rick," ujar salah seorang teman setenda Arthur dan Verrel. Pemuda itu juga mengangsurkan tangannya untuk mengajak Arthur serta Verrel berjabat tangan.
"Arthur," balas Arthur. Pemuda itu mengulurkan tangannya.
Bergantian dengan Arthur, Verrel pun memperkenalkan dirinya, "Gue Verrel, salam kenal."
Mereka pun berusaha mengakrabkan diridiri dengan mengobrol sembari menata barang-barang mereka. Mereka juga sepakat untuk membagi tempat tidur.
Namun sebelum itu, Verrel teringat bahwa ada satu teman setenda mereka yang belum datang. Jadi pemuda itu celingukan mencari-cari keberadaan teman satu tendanya yang belum tampak itu.
"Kalian tidur di kasur bawah, kan?" tanya Rick. Pemuda itu lantas menunjuk ke arah hammock yang memang tersedia di dalam tenda itu. "Gue pakai ini, ya?"
Arthur menganggukkan kepala. Tapi lantas pemuda itu menyarankan, "Oke, kalau lo nyaman. Atau kalau misal lo mau tidur dengan wajar, ini ada kasur angin. Boleh banget dipake kalau kurang tempat."
Rick tampak mengibaskan tangan dengan santai. Ia membalas ucapan Arthur, "Ar, justru itu. Di sini itu, gue pengen merasakan hal yang berbeda, tidur di hammock salah satunya. Nanti kasur angin buat teman kita yang belum join kemari."
"By the way, ke mana ini satu orang penghuni tenda yang belum menampakkan batang hidungnya?" tanya Verrel setelah cukup lama terdiam.
"Gue denger, dia panitia. Mungkin masih ada urusan makanya belum bisa ke sini," terang Rick sambil sudah merebahkan diri di atas hammock-nya.
Verrel ber-oh-ria. Ia pun turut mengikuti jejak Arthur yang mulai bersiap-siap untuk pergi mandi.
"Kalian mau mandi sekarang? Ini masih siang. Yakin nggak nanti aja?" tanya Rick setelah melihat kedua teman setendanya menenteng handuk dan peralatan mandi lainnya.
Arthur mengangguk dan berujar, "Rick, justru itu. Ini mandi pagi yang kesiangan. Nanti sore mandi lagi."
"Ampun deh kalian," celetuk Rick, "gue nggak ikutan ya. Biarin, biar bau badan gue semerbak membaui satu tenda."
Verrel dan Arthur kompak terkekeh. Mereka pun berpamitan untuk pergi membersihkan diri. Karena bagaimana pun, mereka terakhir mandi kan hari kemarin. Sementara seharian ini, mereka menghabiskan waktu di perjalanan. Sudah pasti badan mereka lengket oleh keringat.
Tapi tujuan mereka keluar tenda juga untuk mengecek bagaimana keadaan Shana dan Agatha. Mereka penasaran dengan tenda tempat kedua gadis itu menginap.
"Mandi atau ngecek tenda ciwi-ciwi dulu?" tanya Verrel.
Arthur langsung menjawab, "Mandi dulu sih kalau menurut gue."
Verrel setuju-setuju saja. Jadi ia dan Arthur pun mencari lokasi kamar mandi dari peta lokasi yang dibagikan oleh panitia.
Kamar mandi letaknya cukup terpisah dari tenda-tenda tempat mereka tinggal selama mengikuti kegiatan makrab itu. Meski demikian, mereka tak keberatan berjalan jauh. Karena bagaimana pun, sambil menuju ke kamar mandi itu, mereka bisa menikmati pemandangan hutan di belakang sana yang tampak hijau dan menyegarkan mata.
"Kalau terang begini sih, enak juga ke kamar mandi sambil jalan-jalan lihat pemandangan. Tapi kalau malam, kayanya gue rada males ya. Jalanan setapak ini mungkin bakalan tetap diterangi lampu, tapi sekitarnya gue yakin akan gelap gulita," celetuk Verrel.
Arthur hanya mendengkus lalu terkekeh singkat. Pemuda itu tak balas bicara. Dan kebetulan juga, kamar mandi sudah di depan mata. Jadi alih-alih kebanyakan bicara, Arthur memilih langsung saja masuk ke dalam kamar mandi itu.
"Kebiasaan," gerutu Verrel, "orang gue masih ngomong, malah ditinggal."
Sementara Arthur, sudah tentu ia tak mendengar gerutuan Verrel.
***
Shana dan Agatha duduk-duduk santai di dalam tenda bersama dua orang teman baru mereka yakni Indi dan Seva. Mereka memilih menghabiskan waktu dengan saling mengenal dan berdiam di dalam tenda—alih-alih berjalan-jalan berkeliling pulau seperti kebanyakan peserta makrab.
"Seva, kayanya kita beberapa kali pernah ketemu, deh," kata Agatha mulai sok kenal. Karena setelah diingat-ingat lagi, Agatha cukup familier dengan wajah Seva.
Seva mengulas senyum malu-malu. Gadis itu pun berujar, "Ketemu di ruang UKM Seni Lukis, kan?"
Agatha langsung mengangguk dengan semangat. Jadi dugaannya tak salah. "Kamu kenapa ke ruang UKM Seni Lukis? Kamu bukan anggota di sana, kan? Soalnya kalau kamu anggota, mustahil aku nggak tau."
"Pacarku ikut UKM Seni Lukis. Makanya aku sering mampir ke sana kalau mau ketemu dia," terang Seva yang membuat Agatha manggut-manggut.
"Kalau Indi gimana?" tanya Shana pada Indi. "Kegiatan kamu selain kuliah apa?"
Indi menggumam panjang sebelum akhirnya menjawab, "Aku kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Kamu sendiri gimana, Sha?"
Shana terkekeh sebelum akhirnya menjawab, "Sama, In, aku juga gitu. Udah coba ikut ini dan itu, daftar UKM atau Ormawa, tapi akhirnya nggak aku lanjut."
“Kalau gitu, boleh tau alasan kalian ikut makrab ini?” tanya Agatha sambil menatap satu per satu teman satu tendanya.
“Abangku panitia,” jawab Indi, “dia maksa-maksa aku buat join.”
“Aku gabut aja, sih. Belum ada rencana apa-apa liburan ini,” kata Seva. “Sementara pacarku, dia udah ada rencana liburan sama keluarganya.”
Sementara Shana, gadis itu hanya meringis sambil menggaruk tengkuknya yang padahal tak terasa gatal. Itu membuat Indi dan Seva penasaran.
Agatha yang jelas tahu alasan Shana mengapa bisa berakhir di sana pun membeberkannya kepada Indi dan Seva. “Kalau Shana, dia ogah aja bayar denda yang nggak kira-kira besarnya.”
“Oh, iya, bener banget. Diminta bayar berapa kali lipat gitu, kan? Rada gila sih strategi panitia ini,” komentar Seva.
Mereka pun lanjut mengobrol sampai curhat-curhat. Kegiatan mereka itu baru terinterupsi kala Arthur dan Verrel mampir ke tenda mereka.
“Duh, duh, ada yang disamperin pacarnya,” ledek Seva. Gadis itu pun meraih tangan Indi dan mengajak Indi keluar dari tenda, “In, temenin ke kamar mandi, yuk.”
Padahal Shana dan Agatha tahu bahwa Seva mengajak Indi keluar tenda untuk memberi ruang agar Shana dan Agatha bisa mengobrol dengan nyaman bersama tamu mereka.
“Makasih lho, Sev, In,” teriak Shana.
“Makasih kalian udah peka,” timpal Agatha.
Sementara Seva hanya mengacungkan jempolnya sebagai balasan. Ia dan Indi pun menghilang dari balik pintu tenda.
Ketika di tenda itu hanya tersisa empat sekawan, mereka pun mulai membuka pembahasan. Arthur menanyakan apakah teman-teman setenda Shana dan Agatha baik pada mereka dan mereka bisa hidup akur di sana. Dan jawabannya sudah jelas, Seva dan Indi sangat-sangat cocok dengan Shana dan Agatha.
“Kalau kalian gimana? Aman, kan?” tanya Agatha. Belum sempat pertanyaannya terjawab, ia sudah bertanya lagi, “Ganteng nggak?”
“Kenapa nanya gitu?” Sikap-sikap posesif Verrel mulai terlihat. Pemuda itu jadi lebih galak dilihat dari cara bicaranya.
Agatha memukul ringan bahu Verrel sambil berujar santai, “Emang nggak boleh nanya gitu? Cemburu lo?”
Verrel memutar bola matanya. Ia malas menanggapi dan memperpanjang masalah ini.
“Habis ini kalian mau apa?” tanya Arthur setelah hening cukup lama di antara mereka.
Shana mengembuskan napas perlahan. Gadis itu tampak punya rencana tapi ragu untuk merealisasikan. Setelah ditanyai lebih jauh oleh Arthur, Shana pun mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin istirahat dan tidur barang beberapa menit.
“Lo nggak sakit kan tapi?” tanya Arthur sembari mengamati Shana dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Dan untungnya, Shana kelihatan baik-baik saja.
“Gue cuma merasa cukup lelah,” kata Shana, “mungkin karena kita lama di jalan. Jadi badan gue agak pegel sama lemes.”
Akhirnya, baik Agatha, Verrel, maupun Arthur sepakat untuk mengobrol dengan suara pelan. Mereka meminta agar Shana tidur sejenak. Karena kalau dipaksakan tidak beristirahat, bisa-bisa Shana tumbang di tengah acara makrab ini.
“Bisik-bisik aja ngomongnya,” kata Agatha dengan suara yang dibuat selirih mungkin. Meski tentu saja, bukan Agatha kalau bisa bicara dengan tenang. Gadis itu sudah biasa meledak-ledak, jadi sekiranya akan sulit untuk menjadi sedikit lebih kalem.
***
Ketika malam tiba, Shana dibangunkan Agatha. Ia pun diseret oleh Agatha menuju ke aula. Meski enggan, Shana merasa dirinya perlu untuk menuruti Agatha. Karena bagaimanapun, Shana tak mungkin juga sendirian di tenda, kan?
“Gue belum mandi nih, Tha,” rengek Shana. Gadis itu bertanya, “Gue bau nggak?”
“Lumayan,” jawab Agatha yang tentunya asal bicara saja. Agatha menyalahkan Shana, “Elo sih, tidur kaya orang pingsan. Gue kan jadi mandi duluan tadi. Nungguin lo nggak bangun-bangun.”
“Jahat lo,” desis Shana sambil memicingkan mata. Ia berujar, “Pokoknya nanti habis acara, lo temenin gue mandi!”
Agatha mencebikkan bibirnya sambil menggelengkan kepala. “Nggak janji. Ajak ayang lo aja sana.”
Shana mendorong bahu Agatha dengan pura-pura kesal. Ia pun berlari meninggalkan Agatha untuk lebih dulu menuju aula resort. Tingkahnya itu membuat Agatha berteriak-teriak memanggil Shana.
Kehebohan Agatha membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. “Sorry, sorry, bukan apa-apa. Jangan peduliin gue,” ujar Agatha pada orang-orang yang terganggu oleh suaranya sembari ia tetap berlari mengejar Shana.
Sampai akhirnya, Shana lebih dulu tiba di aula dan langsung melihat dua sosok manusia yang sudah sangat ia kenali. “Hai, kalian!” katanya sambil menepuk bahu Arthur dan Verrel.
Melihat Shana yang terengah-engah, Arthur dan Verrel kompak menyuruh gadis itu untuk mengatur napas dulu. Lantas kedua pemuda itu tampak celingukan mencari Agatha.
“Cewek gue mana, nih?” tanya Verrel sambil matanya menatap ke seluruh penjuru aula.
Shana menunjuk ke arah belakang dengan jempolnya. Ia pun berujar, “Gue lari ke sini duluan.”
“Shana, Shana, lo bikin gue olahraga!” teriak Agatha. Tak lama kemudian, batang hidung gadis itu sudah tampak di mata Shana, Verrel, dan Arthur.
Arthur bolak-balik menatap ke arah Shana dan Agatha. Saking penasarannya, ia bertanya, “Kalian balapan lari?”
“Iya,” jawab Shana tanpa perlu memikirkannya.
Arthur pun sukses dibuat geleng-geleng kepala. “Bocah banget,” komentarnya.
Tapi Shana hanya menyengir lebar. Gadis itu pun mulai fokus meladeni gerutuan Agatha.
Kerusuhan di antara Shana dan Agatha itu baru mereda kala panitia sudah mulai membuka acara. Tentu saja, semua peserta diminta tenang barang beberapa menit dan memberi kesempatan pada orang yang berdiri di hadapan mereka untuk berbicara.
“Udah pada ke sini, kan?” tanya salah seorang panitia itu. Sepertinya ia memang yang kebagian tugas untuk memandu acara. Karena sejak tadi siang, ia lah yang mengambil peran itu. Namun ia tak sendirian karena ada partner yang siap siaga di sebelahnya.
“Pastikan tenda-tenda kosong ya,” kata pemandu acara makrab yang satunya, “jangan sampai ada yang masih di tenda. Apalagi berduaan aja!”
Mendengar ucapan nyeleneh dari pembawa acara, seruan heboh pun memenuhi aula. Kalau bahas yang begini, pasti pada semangat.
“Oke, oke, intermeso aja ya, guys,” kata pemandu acara itu kemudian sembari memberi isyarat agar para peserta kembali kondusif. Setelah kondisi aula kembali tenang, ia melanjutkan, “Jadi malam ini kita akan nonton bersama! Gimana, antusias nggak?”
Peserta kembali bersorak. Ya, setidaknya untuk menghidupkan suasana. Karena ini makrab untuk bersenang-senang, bukan makrab ala-ala ospek jurusan yang biasanya dipenuhi senioritas.
Pembawa acara satunya pun mengambil alih, “Nah, sebelum kami putar filmnya dan kita nonton bersama, di sini aku dan partner pembawa acara ku mau memperkenalkan diri dulu. Kenalin, aku Hea dan di sampingku ada—"
“Gue Cairo,” lanjut pembawa acara yang satunya lagi, “dan kami akan menemani kalian sampai akhir acara makrab nanti. Diharap untuk tidak bosan dengan kami. Tampang kami udah enak dilihat, kan?”
Cairo kembali membuat ruangan riuh dengan sorak sorai. Sementara Hea sepertinya kebagian tugas untuk memastikan bahwa acara berjalan sebagaimana mestinya dan mengingatkan Cairo kapan seharusnya mereka serius.
“Hea cantik, ya? Satu tahun di atas kita, Ar,” beber Verrel pada Arthur yang duduk di sebelahnya.
Agatha yang mendengar ucapan Verrel itu langsung membalas, “Sha, Kak Cairo itu abangnya Indi, kan? Bisa lah minta dikenalin!”
***