R 0.5

2137 Words
Jangan tanya bagaimana pendapat Arthur soal film yang ia tonton barusan. Karena meskipun film itu cukup seru, namun wajah Arthur masih saja kusut dan tampak suntuk. Pemuda itu terlalu malas mengikuti acara makrab malam pertama ini dan berkali-kali ingin kembali ke tenda. Namun tentu saja, Arthur tak ingin bertingkah seenaknya. Ia menuruti kata-kata panitia yang melarang peserta untuk stay di tenda selama acara makrab berlangsung. Karena Arthur tahu bagaimana sulitnya mengawasi banyak orang dan memastikan semuanya baik-baik saja. “Kenapa, Ar? Cemberut terus,” celetuk Shana. Gadis itu duduk sembari memeluk lututnya dan menopang dagu di sana. Alih-alih memperhatikan film kedua yang baru saja diputar, gadis itu justru memperhatikan Arthur lekat-lekat. Arthur mengulas senyum tipis dan menjawab kalau dia tidak kenapa-kenapa. Meski tetap saja, pemuda itu tak bisa berakting bahwa ia menikmati acara itu. “Bosen, ya?” tanya Shana lagi. Gadis itu pun meraih tangan Arthur dan menggenggamnya. “Gue juga bosen. Tapi terus gue ingat kalau nontonnya sama lo. Nggak jadi bosen deh.” Melihat senyum cerah Shana, Arthur pun berusaha lebih rileks. Perlahan ia mulai kembali memperhatikan film yang sedang diputar itu. Kemudian pemuda itu tampak sudah larut ke dalam alur cerita. Sementara Agatha dan Verrel yang duduk di belakang mereka diam-diam pasang telinga. Kedua manusia itu memang senang apabila memergoki Shana dan Arthur sedang romantis-romantisan. Alasannya? Tentu saja karena Shana dan Arthur benar-benar jarang menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Justru kelihatannya, mereka ini seperti partner in crime. Verrel berdeham-deham, seolah ingin menarik perhatian Arthur dan Shana. Pemuda itu pun berseloroh, “Ada yang lebih seru ketimbang film di layar, nih!” “Live, langsung di depan mata,” timpal Agatha yang memang semangatnya sama dengan Verrel. Pantas saja mereka cocok satu sama lain. Arthur mendesis panjang. Pemuda itu juga memberi isyarat agar Verrel serta Agatha tutup mulut rapat-rapat dan tidak merecoki Arthur serta Shana. Shana pun turut menambahkan, “Jangan resek kalian, ya! Ganggu aja.” Agatha tak angkat bicara. Tapi gadis itu sengaja mencolek bahu Shana beberapa kali untuk meledek sobatnya itu. Karena bagi Agatha, lucu saja melihat Shana bertingkah malu-malu kalau orang lain tahu hubungannya dengan Arthur. Akhirnya, demi kebaikan bersama, Verrel dan Agatha tutup mulut sesuai permintaan Arthur dan berhenti merusuhi Arthur serta Shana. Arthur setengah bercanda juga mengancam akan pindah tempat duduk kalau Verrel dan Agatha terus-terusan bawel dan mengganggu ia dan Shana. Mau tak mau, Verrel dan Agatha mengalihkan tatapan ke layar super lebar di depan sana. Sementara Arthur dan Shana masih sibuk saling berbisik dan tertawa tertahan tanpa suara. Ternyata waktu berlalu dengan cukup cepat. Karena tanpa mereka sadari, dua film sudah diputar sampai selesai. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Alhasil, panitia yang pengertian pada peserta pun membebaskan peserta untuk berkegiatan di sekitar tenda sampai tengah malam nanti untuk kemudian bisa pergi beristirahat. “Have fun teman-teman,” kata Hea menutup sesi nonton bersama malam itu, “kalian boleh bersenang-senang sampai jam dua belas malam. Jangan pada begadang. Jangan lupa istirahat!” Cairo juga menambahkan, “Jangan lupa jaga kesehatan selama berkegiatan di sini. Cairo sayang kalian. Buat yang cewek-cewek aja tapi, ha-ha!” Basa-basi dari MC itu menemani para peserta yang mulai meninggalkan aula dan kembali ke tenda mereka. Ada juga yang berhenti di tenda teman. Yang penting kan sekarang belum jam dua belas malam. “Ar,” panggil Shana sambil sibuk mencari sandalnya yang tertutup oleh sandal-sandal milik peserta makrab lain. Arthur membalikkan badan. Pemuda itu memperhatikan Shana dan bertanya, “Kenapa? Minta ditunggu?” Shana berhenti mencari sandalnya. Ia mendongakkan kepala menatap ke arah Arthur. “Itu udah pasti. Terus satu lagi, ajak gue ke tenda lo, ya?” “Tenda gue ada di belakang. Lo mau jalan ke sana?” Arthur menaikkan sebelah alisnya. Mungkin di dalam hati, Arthur berharap Shana mengurungkan niatnya. Namun sayang, ada Agatha di sana yang mendukung keinginan Shana. Gadis itu langsung menyambung saja ke dalam obrolan di antara Arthur dan Shana. “Oh, bener itu, Sha. Kita harus lihat tenda Verrel sama Arthur. Masa cuma mereka aja yang mampir ke tenda kita. Nggak adil dong jadinya.” “Lagian mau apa, sih? Tenda kita isinya sama, fasilitasnya sama, semua sama dan nggak ada yang beda barang satu hal pun!” Verrel berusaha mencegah Agatha. “Yang ada malah lo melihat hal-hal yang tidak seharusnya lo lihat. Celana dalamnya si Rick yang dia jemur di dekat pintu tenda, misalnya.” Mendengar itu, Shana meringis geli. Gadis itu jadi tidak terlalu berminat untuk pergi melihat-lihat tenda Arthur dan Verrel. Namun tak seperti Shana yang cepat berubah pikiran, Agatha tetap ngotot untuk pergi. Gadis itu bahkan memerintah, “Ya, lo urus dulu dong itu celana dalam dan t***k bengeknya sebelum gue sama Shana masuk ke sana.” “Ogah!” ketus Verrel. “Ya udah kalau kalian mau ke sana. Gih, buruan ikutin gue sama Arthur.” Sambil mulai melangkah, Arthur juga berkata, “Tapi gue sama Verrel nggak tanggung jawab soal nanti kalian lihat apa di sana.” Shana sedikit merinding memang diberi ultimatum begitu. Sementara Agatha tampak mencebikkan bibir. Kalau Shana percaya pada omongan kedua pemuda itu, Agatha justru merasa baik Verrel maupun Arthur sama-sama melebih-lebihkan omongan mereka. *** Verrel dengan malas membuka pintu tendanya dan mempersilakan Agatha serta Shana untuk menginjakkan kaki di sana. Pemuda itu sudah tahu akan seheboh apa Agatha dan Shana kalau tahu bentuk-bentuk dari teman setenda Verrel serta Arthur. “Wow, kalian berdua ganteng banget!” puji Agatha terang-terangan saat melihat dua pemuda berwajah setampan dewa yang sedang duduk-duduk santai di dalam tenda sembari makan camilan. Yang lebih menarik, kedua pemuda itu juga sedang bernyanyi-nyanyi kecil ditemani ukulele yang dimainkan oleh salah satu dari kedua pemuda tampan itu. Tentu saja, kedatangan Agatha dan Shana di sana langsung mendapat perhatian dari kedua pemuda tampan itu. Mereka pun menggeser duduk mereka dan mempersilakan agar empat orang yang baru datang itu bisa duduk bersama. “Wah, siapa nih?” tanya si pemuda yang semula sibuk bermain ukulele. Verrel sudah membuka bibirnya, bersiap untuk memperkenalkan Agatha dan Shana—yang satu pacarnya, yang satu lagi pacar sobatnya. Namun sebelum itu, Agatha mengangkat tangan, memberi isyarat agar baik Verrel maupun Arthur tak usah mengenalkan dirinya dan Shana. “Gue perkenalan sendiri aja,” kata Agatha sambil mengulas senyum sok manis dan membuat Verrel menyipitkan mata—tampak ingin menendang Agatha keluar dan jauh-jauh dari tendanya. Kedua pemuda tampan yang tak tahu apa-apa itu pun membalas dengan senyuman cerah—secerah masa depan jika akhirnya bisa bersanding dengan mereka—menunggu sesi perkenalan langsung dari Agatha dan Shana. “Gue Agatha,” ujar Agatha sembari mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan kedua pemuda berwajah setampan dewa itu secara bergantian, “kalian siapa?” “Gue Rick,” balas salah satu pemuda yang memangku ukulele. Dialah Rick, orang yang sempat dibawa-bawa namanya untuk menakut-nakuti Shana dan Agatha. Agatha mengulas senyum lebar penuh makna. Gadis itu pun dengan yakin berujar, “Kata Verrel, lo jemur celana dalam di dekat pintu masuk tenda, ya? Sekarang lo taruh mana? Nggak kelihatan, tuh. Tadi gue sempat ragu buat ke sini karena isu itu.” Rick langsung menatap Verrel dengan penuh tanya. Itu bisa dilihat dari dahi berkerut dan alisnya yang tertaut. Rick dengan tatapannya itu seolah meminta Verrel untuk menjelaskan. “Ha-ha, gue cuma bercanda kali, Tha,” kata Verrel sembari memelototi Agatha. Pemuda itu pun mengalungkan lengannya ke leher Agatha dan menarik gadis itu hingga ambruk ke arahnya. Barulah Verrel berbisik, “Lo jangan ngawur, ya!” Agatha terkekeh dan mendorong wajah Verrel agar menjauh darinya. “Bodo amat, kan elo yang mulai.” Rick geleng-geleng kepala. Ia tak paham apa yang sedang terjadi di sana. Jadi ia pun meminta agar orang-orang di tenda itu melanjutkan sesi perkenalan yang sempat tertunda tadi. “By the way, gue Ganendra. Sebenarnya gue panitia, bukan peserta makrab. Tapi kebetulan tenda panitia udah penuh, jadi beberapa panitia gabung sama peserta,” terang pemuda yang memang masih menggunakan jaket himpunan. Padahal kebanyakan peserta makrab sudah mengenakan pakaian santai ala-ala pakaian pantai. Ternyata ada alasan di balik itu. Jadilah tinggal Shana yang belum memperkenalkan diri. Gadis itu pun buka suara, “Gue Shana, salam kenal, Rick, Ndra.” Mereka sempat mengobrol basa-basi. Karena lama-lama merasa bosan, mereka pun pergi keluar dan berniat menyalakan api unggun kecil di depan tenda. Kebetulan, di sana memang sudah disiapkan tempat kecil-kecilan untuk membuat api unggun beserta kayu-kayunya, persis di depan tenda mereka. “Sambil bakar-bakaran seharusnya bisa, sih,” kata Ganendra. Berhubung ia adalah bagian dari panitia, ia pun bisa mengakses lemari pendingin yang terdapat di bagian dapur di aula. Pemuda itu bergerak ke sana untuk mengambil bahan makanan yang memang ia bawa sendiri dari rumah. “Mantap lah, Bro,” kata Verrel dengan akrabnya. Sedikit ngelunjak, pemuda itu berpesan, “Ambilin yang banyak, ya!” Ganendra mengacungkan jempol. Ia pun balik badan dan meninggalkan pelataran tenda untuk berjalan menuju ke aula. “Enak ya, kita ada teman panitia. Rasanya kaya dapat privilege,” kata Shana setelah dari tadi lebih banyak diam. “Jangan dimanfaatin tapi,” kata Arthur sambil menyodorkan segelas kopi s**u hangat ke hadapan Shana. Shana mengangguk dan berjanji, “Ya, enggak, lah. Kalau ini kan dia yang nawarin. Rezeki mana boleh ditolak.” Beberapa menit kemudian, Ganendra datang dengan beberapa bungkus sosis, bakso, dan bahan-bahan untuk bebakaran. Bahkan Ganendra juga membawakan bahan-bahan untuk cocolannya. “Kalau yang buat bakar-bakaran, itu punya gue. Tapi kalau kecap dan saus, itu gue ambil dari rak bahan masakan punya panitia. Yang itu jangan dihabisin, ya,” ujar Ganendra sambil mulai menusuk sosis-sosis dan bahan-bahan lain untuk bebakaran itu. Teman-temannya kompak setuju dan tampak mengerti dengan instruksi Ganendra. Mereka pun mulai memasak dan menikmati hasil bakar-bakaran mereka. Obrolan juga mulai kembali seru karena meski baru pertama kali bertemu, Ganendra dan Rick sama-sama sangat terbuka dengan orang baru. “Oh ya, teman setenda Shana sama Agatha nggak diajak ke sini sekalian?” tanya Rick sambil memasang senyum genit, “siapa tau kan, bisa kecantol sama gue.” Verrel menggeplak ringan bahu Rick. “Halah, buaya kaya lo emang bisanya bikin orang kecantol. Tapi padahal lo-nya cuma main-main. Kasihan, kayanya mereka anak baik-baik, jangan dihancurkan.” “Kaya elo enggak aja, Rel,” gumam Arthur. “Yang kemarin itu siapa?” Agatha langsung melirik tajam ke arah Verrel. Bibir gadis itu berkomat-kamit memperingatkan Verrel agar pemuda itu tidak macam-macam di belakangnya. “Siapa, Njir?” tanya Verrel pada Arthur lengkap dengan wajah paniknya, “jangan asal tuduh dong. Jadi salah paham kan ini pawang gue.” Arthur mendengkus geli sambil mengedikkan bahu. Pemuda itu lantas bersikap acuh tak acuh saat Verrel mencecarnya. Karena toh, Arthur memang benar mengada-ngada. Tapi lantas topik berganti saat Shana buka suara dan menyinggung salah satu teman setendanya. “Oh ya, teman setendaku ada yang adiknya panitia, lho,” cetus gadis itu. Ganendra langsung bertanya, “Siapa namanya?” “Indi,” beber Shana, “kenal nggak?” Ganendra tampak menganggukkan kepala dengan yakin. “Adiknya Cairo, kan?” tebaknya. “Iya,” sambar Agatha. “Wah, kalau dipikir-pikir, kenapa ya panitia pada good looking? Endra, Kak Cairo, Hea, dan panitia lain yang mondar-mandir di sekitar peserta tapi gue nggak kenal namanya.” Ganendra hanya tertawa saja mendengar penilaian Agatha yang memang benar adanya. Namun ia tak menjelaskan bagaimana bisa panitia kegiatan ini mayoritas memang cukup tampan dan cantik. “Kebetulan aja mungkin? Eh, udah gosong, tuh!” Selanjutnya karena bahan makanan yang mereka bakar beberapa sudah tampak gosong, mereka pun berhenti bicara dan mulai fokus saja pada aktivitas makan. Kalau pun ada obrolan, tentu itu obrolan-obrolan singkat dan personal antara satu orang dengan orang lainnya. Sampai jam menunjukkan pukul dua belas malam kurang sepuluh menit, mereka mematikan api unggun. Shana dan Agatha bersiap-siap kembali ke tenda mereka. Sementara para cowok tampak membereskan sisa bebakaran mereka tadi. “Ngobrolnya lanjut besok, ya,” kata Rick sambil membawa beberapa gelas bekas ke dalam tenda—mungkin gelas-gelas itu baru akan dicuci besok pagi. “Malam, Sha,” ujar Arthur sambil menepuk puncak kepala Shana dengan lembut. Ia pun beralih mengucapkan selamat malam pada Agatha juga, biar tidak dikira hanya perhatian pada pacarnya saja. Shana dan Agatha juga kompak mengucapkan selamat malam dan keduanya berterima kasih karena sudah dijamu dengan baik di sana. Seru memang bergabung dengan cowok-cowok itu. Sampai-sampai mereka sempat membuat api unggun barang beberapa waktu. “Besok main lagi ke sini,” pesan Ganendra yang diangguki oleh Shana dan Agatha dengan senang hati. Verrel yang sudah tidak sabar ingin menggiring Agatha dan Shana kembali ke tenda kedua gadis itu pun mulai mendorong-dorong agar Agatha angkat kaki dari halaman di depan tenda miliknya dan teman sekelompoknya. Ia memang kebagian tugas untuk mengantarkan Agatha dan Shana ke tenda mereka dengan selamat dan tak kurang satu apapun. “Udah buruan jalan,” perintah Verrel tak sabaran. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD