Shana membuka matanya kala ia merasa lingkungannya terlalu berisik. Gadis itu yakin bahwa matahari belum menampakkan diri. Di dalam hati, gadis itu bertanya-tanya kenapa orang-orang sudah terjaga dan tampak sedang melakukan berbagai macam kegiatan. Haruskah mereka membuat kebisingan sepagi itu?
Sambil mengembuskan napas keras, Shana menggulingkan tubuh ke arah ponselnya yang sedang diisi daya. Dan benar saja, ketika ia mengecek jam di layar ponsel, ia mendapati bahwa sekarang ini masih pukul empat pagi.
“Orang-orang pada kenapa, sih?” keluh Shana. Ia pun berusaha kembali tidur. Kali ini ia menutup telinga sekaligus tubuhnya secara keseluruhan dengan selimut. Ia berharap bahwa dengan begitu, suara berisik di luar perlahan-lahan akan teredam.
Namun baru saja Shana kembali jatuh ke dalam alam bawah sadarnya, ia mendengar teriakan kesal yang mana itu berasal dari mulut Agatha.
“Ah, sialan!” jerit Agatha terdengar sedikit frustrasi.
Shana dengan malas membuka kembali matanya. Toh, percuma saja, mata itu terpejam tapi tak bisa melanjutkan tidurnya. “Lo kenapa, sih?”
“Ini, lho, banyak nyamuk,” keluh Agatha sembari mempertontonkan lengannya yang bentol merah-merah bekas gigitan nyamuk.
Shana memutar bola mata. Sudah ia peringatkan agar Agatha memakai lotion anti nyamuk sebelum tidur. Namun gadis itu menolak lantaran merasa dirinya cukup berkeringat dan sedikit risih untuk menambahkan lotion ke lengan dan kaki. Padahal kalau dipikir-pikir, ada Shana yang belum mandi sejak entah kapan hari.
“Salah lo sendiri,” tukas Shana. Gadis itu pun kembali merebahkan dirinya dan menarik selimut hingga sebatas d**a.
Agatha yang melihat Shana hendak melanjutkan tidur itu pun tampak berusaha mencegahnya. Gadis itu meminta agar Shana menemaninya ke kamar mandi.
“Kenapa?” tanya Shana. Ia pun menebak dengan asal, “Lo mau mandi terus pakai lotion anti nyamuk?”
Agatha berdecak sambil geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya Shana berpikir seperti itu. Jadi karena sudah sangat kebelet ingin buang air, Agatha pun menarik Shana hingga gadis itu beranjak dari duduknya.
“Ish,” desis Shana, tampak kesal karena Agatha memaksanya, “apaan sih, Tha?”
“Ayo, ah, jangan banyak nanya. Temenin gue aja!” pinta Agatha telak tanpa mau dibantah.
Akhirnya karena tak mau berakhir jadi bicara dengan beradu otot, Shana pun mengikuti Agatha tanpa banyak bertanya. Hanya saja sebelum keluar tenda, gadis itu menyempatkan diri untuk mengambil jaketnya yang tersampir di atas tas ranselnya.
Udara dingin langsung menyambut Shana dan Agatha ketika kedua gadis itu menginjakkan kaki di luar tenda. Mereka saling tatap sebentar karena ragu untuk melanjutkan langkah menuju ke kamar mandi.
“Dingin banget,” gumam Shana, “masuk tenda lagi aja, yuk?”
Agatha melotot sambil menggelengkan kepala dengan dramatis. “Gue pipis di mana dong? Di dalem tenda gitu? Lo rela?”
“Lo sinting,” balas Shana. Gadis itu pun mulai melanjutkan langkah. Masa bodoh dengan dinginnya udara di sana. Ketimbang Agatha macam-macam dengan tenda mereka, lebih baik Shana berbaik hati menemaninya.
Kedua gadis itu berjalan di sepanjang jalan setapak. Mereka berjalan sambil memperhatikan peserta-peserta yang sudah mulai beraktivitas.
“Ternyata udah banyak yang bangun,” ujar Agatha lirih. Sesaat kemudian, ia menguap lebar-lebar. “Padahal gue masih pengen lanjut tidur.”
“Ya, sama,” salak Shana. Gadis itu pun merutuki Agatha yang harus memenuhi panggilan alam di waktu yang tidak tepat. Padahal kan masih ada kesempatan untuk melanjutkan tidurnya tadi. Dan kalau sudah bangun begini, Shana ragu dirinya akan bisa melanjutkan tidur.
Agatha meringis saja. Ia jelas tak ingin membuat Shana kesal karena hal itu. Bagaimana jika Shana meninggalkannya dan gadis itu kembali ke tenda? Masa iya Agatha harus pergi ke kamar mandi sendiri.
Untungnya, setelah perjalanan panjang yang Shana dan Agatha lalui, mereka tiba juga di kamar mandi.
“Eh, kalian,” sapa seseorang yang sepertinya baru saja keluar dari kamar mandi. Pemuda itu pun memastikan, “Temannya Arthur sama Verrel, kan?”
Agatha yang semula sudah akan masuk ke kamar mandi, kini justru berbalik arah. Sepertinya gadis itu tak bisa mengabaikan wajah tampan Ganendra yang masih basah karena pemuda itu baru saja membasuh wajahnya. “Endra makin ganteng aja,” ujar gadis itu dengan blak-blakan.
Sementara Shana, yang pertama ia lakukan adalah menyikut rusuk Agatha. Dengan tatapan matanya, gadis itu menyuruh Agatha buru-buru merampungkan urusannya di sana dan tidak sibuk mengurusi hal yang tidak perlu.
Sepeninggal Agatha, tersisalah Shana berdua saja dengan Ganendra. Karena Ganendra tak kunjung beranjak dari sana, Shana pun berusaha berbasa-basi, “Udah bangun dari tadi, Ndra?”
Ganendra menganggukkan kepala. Ia lantas bercerita bahwa ia dan panitia lainnya sudah bangun lebih awal karena harus membuat sarapan untuk para peserta, juga menyiapkan kegiatan selanjutnya.
“Jadi dari tadi lo udah sibuk di dapur?” tanya Shana memastikan pendengarannya. Keren sekali para panitia ini, pikir Shana. Mereka rela bangun lebih awal untuk menyiapkan semuanya.
Ganendra membenarkan. Pemuda itu lantas berujar, “Ini aja gue baru sempat cuci muka. Habis ini lanjut melaksanakan tugas negara, hehe.”
Shana terkekeh kecil. Berhubung Ganendra sepertinya banyak urusan, Shana pun berujar, “Kalau lo mau duluan nggak apa-apa, lho. Agatha biasanya lama, nanti lo dicariin sama teman-teman panitia.”
“Berani balik ke tenda berdua aja?” tanya Ganendra sambil menaikkan sebelah alisnya.
Shana menganggukkan kepala dengan yakin. “Berani dong, kenapa enggak? Tadi kan ke sininya juga berdua aja sama Agatha.”
Ganendra mengerti. Pemuda itu pun pamit undur diri.
Saat Agatha keluar kamar mandi, gadis itu sibuk celingukan ke sana kemari. Ia bertanya pada Shana, “Endra ke mana?”
Shana memasang cengiran lebar. “Udah duluan tadi. Dia sibuk, Tha,” kata Shana kemudian.
Tentu saja, Agatha mencak-mencak. Gadis itu menyayangkan keputusan Shana yang membiarkan Ganendra pergi sebelum sempat mengobrol dengan Agatha.
Shana sudah tidak kaget dengan respons Agatha itu. Shana hanya menanggapinya dengan santai sembari mulai berjalan menjauh dari kamar mandi.
Agatha yang melihat Shana mulai melangkah pun segera menyusul gadis itu. Namun bukan Agatha kalau berhenti mengomel begitu saja. Gadis itu tetap bicara di sepanjang perjalanan mereka kembali ke tenda.
Ketika Shana sudah lelah mendengar Agatha terus menerus menyebutkan nama Ganendra dalam setiap ucapannya, Shana pun berkata dengan asal, “Tuh, tuh, gue lihat ada Verrel. Lo nggak mau nyamperin dia?”
“Mana-mana?” Agatha jadi mencari ke sana kemari. Namun ia tak mendapati Verrel di mana pun. “Nggak ada, tuh!”
Shana menarik seringaiannya. Gadis itu pun berseru, “Lo samperin aja tendanya. Pasti dia masih ada di sana!”
Agatha mengumpat sejenak sebelum akhirnya menyusul Shana yang sudah kembali melanjutkan jalannya. Setelah berhasil menyusul Shana, Agatha menarik Shana agar mereka melewati jalan setapak yang mengarah ke aula resort sebelum kembali ke tenda peserta.
“Kejauhan, Tha,” tolak Shana. Gadis itu tentu masih waras. “Gue ogah ke sana. Itu hanya menghabiskan tenaga.”
Namun Agatha terus menerus memohon. Ia hanya ingin lewat saja tanpa mampir ke sana. Apalagi sampai mengajak Ganendra mengobrol, he-he.
Kemampuan Agatha meyakinkan Shana memang patut diacungi jempol. Karena pada akhirnya, Shana setuju untuk mengambil jalan memutar.
Jadi sebelum kembali ke tenda mereka, kedua gadis itu menyempatkan diri melewati aula resort hanya untuk melihat aktivitas para panitia. Rupanya benar, dapur tampak dipadati orang. Sementara sisanya membereskan dan membersihkan bagian dalam aula untuk digunakan di kegiatan selanjutnya.
Shana dan Agatha memperhatikan semua itu dari posisi yang cukup berjarak dengan aula. Tentu mereka tak ingin dipergoki oleh panitia dan ditanyai apa tujuan mereka ke sana.
Sepuluh menit kemudian, setelah puas melihat-lihat, Shana dan Agatha pun kembali ke tenda mereka. Shana merasa sangat lega karena gadis itu akhirnya bisa kembali ke tempat yang nyaman dan tak sedingin ketika ia langsung bertabrakan dengan udara di luar sana. Shana juga kembali memposisikan dirinya seperti ia tidur semalam. Siapa tahu kan, ia bisa kembali terlelap dan membunuh waktu dengan beristirahat.
Sementara Agatha, gadis itu memilih untuk mengobrol dengan Indi yang memang sudah bangun meski belum sedikit pun beranjak dari tempatnya.
***
Arthur terbangun karena mendengar ada yang berbicara dengan keras di depan pintu tendanya. Sepertinya ada orang yang berniat membangunkan seisi tenda itu.
Jadi dengan langkah gontai, Arthur berjalan untuk menghampiri pintu tenda. Saat ia telah membukanya, ia bisa melihat seorang pemuda yang hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang d**a.
“Hai, lo nggak keluar?” tanya orang itu. Sebelum Arthur sempat buka suara, orang itu kembali berbicara, “Yang lain pada berenang sama main voli di tepi pantai. Lo sama teman-teman setenda lo jangan lupa join ya.”
“Oke,” jawab Arthur singkat. Pemuda itu pun menoleh ke dalam tenda dan mendapati kalau Verrel serta Rick sedang tidur dengan pulas. “Nanti kami usahain buat nyusul,” katanya kemudian.
Orang itu pun pamit dari tenda Arthur dan mengunjungi tenda di sebelahnya. Sementara Arthur memilih kembali masuk ke tenda. Pemuda itu meraih makanan ringan yang tergeletak begitu saja di atas meja, entah milik siapa. Bahkan karena tenggorokannya terasa kering, Arthur pun menyeduh kopi hangat dengan air panas di teko listrik.
Sampai entah berapa lamanya, Verrel akhirnya menyusul terjaga. Pemuda itu celingukan selayaknya orang bingung. “Jam berapa, nih?” tanyanya dengan gumaman tak jelas.
Untungnya, Arthur cukup bisa mengartikan pertanyaan Verrel itu. Ia menjawab setelah menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. “Jam enam,” jawabnya. Arthur lantas memberitahu Verrel soal kedatangan orang yang mengajak mereka main di pantai.
Mendengar itu, Verrel langsung antusias. Pemuda itu melepas jaket dan mulai merapikan rambutnya yang acak-acakan. “Yuk, cabut ke sana!” ujarnya.
Arthur memutar bola mata. Ia beralasan, “Gue di sini aja dulu sampai Rick bangun. Biar gue bisa kasih tau dia kalau—”
Verrel memotong, “Jangan banyak alasan deh, Ar! Yuk, pokoknya lo kudu ikut. Rick juga. Jadi biar gue bangunin dia."
Dan dengan segala kebrutalan Verrel, akhirnya Rick membuka mata. Pemuda itu tampak memicing sengit pada Verrel karena mengganggu tidurnya. “Apaan?” tanyanya tanpa ada niatan untuk mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk.
“Yuk, cabut, anak-anak pada main di pantai,” beber Verrel sambil berusaha menarik tangan Rick agar pemuda itu mau bangkit.
Rick tampak enggan. “Gue lanjut tidur aja!”
“Si b*****t, bangun nggak lo?” Verrel juga sama kekehnya dengan Rick.
Akhirnya, Arthur menengahi, “Kalau emang mau pergi ya pergi aja, Rel. Lo nggak harus maksa orang buat ikut.”
Tapi Rick justru menyeringai jahil. Pemuda itu tanpa ditarik Verrel justru bangkit sendiri. Ia pun mendorong Arthur dan Verrel keluar dari tenda. “Ayo, kita senang-senang!” katanya tak disangka-sangka.
Verrel tentu bersorak penuh kemenangan. Sementara Arthur, pemuda itu tampak menekuk wajahnya.
“b*****t emang kalian berdua,” maki Arthur dengan sepenuh hati.
Jadi ketiga pemuda itu berjalan menuju pantai. Setibanya di sana, mereka langsung diminta bergabung ke dalam permainan voli pantai ala-ala itu.
Permainan itu berlangsung cukup lama. Sampai matahari mulai terik dan membakar kulit mereka. Beberapa dari peserta justru memilih berpanas-panasan di bawah matahari pagi, katanya sih mau menggelapkan warna kulit mereka, ala-ala bule yang sedang berjemur begitu. Beberapa lagi mulai meneduh sambil mulai mengeluhkan bahwa mereka merasa lapar.
Dan betapa beruntungnya peserta makrab yang sudah merasa lapar itu karena panitia dengan pelantang memberitahukan bahwa sarapan sudah siap dan para peserta diminta datang ke aula. Dengan semangat, mereka pun menuju ke aula seperti arahan panitia.
Verrel kembali bergabung dengan Arthur dan Rick. Mereka bersama-sama menuju ke aula. Namun di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Shana, Agatha, dan dua orang gadis lainnya.
“Mau sarapan, kan?” tanya Agatha pada ketiga pemuda di hadapannya.
“Iya,” jawab Verrel, “lo juga mau ke sana, kan? Bareng aja.”
***
Sesampainya mereka di aula, antrean mengambil makan sudah cukup panjang. Jadi mau tak mau, mereka harus mengantre cukup lama. Sambil mengantre itu, Agatha memperkenalkan kedua teman setendanya kepada Rick. Karena kalau Verrel dan Arthur kan sudah pernah bertemu mereka sebelumnya.
Lalu obrolan makin seru kala Rick mulai banyak bicara. Ternyata pemuda itu cukup ulung dalam hal merayu wanita.
“Dah, udah, jangan dipercaya omongan buaya,” kata Verrel sambil mencebikkan bibirnya mendengar Rick sok-sokan bicara dengan manis.
Rick balas mencebikkan bibir, lantas berujar, “Bro, bukannya kita satu spesies? Lo kan juga gitu. Tadi siapa cewek yang main voli di tim lo? Lengket banget kalian tuh.”
“Bacot!” tukas Verrel. Pemuda itu selalu saja dipojokkan dengan hal-hal tak benar. Padahal pacarnya benar-benar jelmaan pawang yang kejam. Bisa-bisa besok Verrel sudah jadi buaya cincang.
Agatha tampak memberikan isyarat bahwa gadis itu memperhatikan Verrel dan agar Verrel tak macam-macam di belakangnya. Bukan main memang galaknya Agatha kalau sudah cemburu.
“Enggak, Tha,” kilah Verrel. Ia pun menuduh si Rick mengada-ngada dan sengaja ingin membuat Verrel berada di posisi bahaya.
Ketidakakuran antara Agatha dan Verrel terlerai karena keduanya harus mengambil makanan saat giliran mereka tiba. Dan Verrel berdoa, semoga Agatha cepat lupa!
***