Di antara empat sekawan itu, hanya Verrel lah yang berhasil mengumpulkan foto di spot-spot pilihan panitia selama perjalanan tadi. Alhasil, hanya ada beberapa bungkus makanan ringan yang menemani obrolan mereka malam itu.
"Kayanya di sini kita benar-benar jauh dari teknologi," gumam Rick saat semua orang terdiam dan hanya sibuk mengunyah camilan, "gue pengen nonton bola!"
"Ya elah," sewot Verrel, "sinyal susah, TV nggak ada. Gue juga pengen kali bikin postingan soal liburan gue di sini. Tapi kagak bisa!"
Arthur memutar bola matanya malas dan membiarkan Rick serta Verrel ngomong ngalor-ngidul tak jelas. Sementara ia sesekali mengobrol kecil dengan Shana, di belakang teman-temannya tentu saja karena kalau terlalu kentara, yang ada teman-temannya akan merecoki mereka.
Saat akhirnya merasa bosan, Arthur bangkit dari duduknya. Pemuda itu lantas berjalan keluar tenda untuk melihat-lihat sekitar.
Mata Arthur menangkap adanya sebuah acara di luar acara dari panitia. Ya, bisa diduga, itu semacam acara barbeku kecil-kecilan ditambah live music pas-pasan. Yang penting berkumpul bersama saja. Karena tampaknya, ada permainan juga yang tengah berlangsung di sana.
Arthur lantas menoleh ke dalam tenda. Ia bertanya kepada teman-temannya, "Kalian nggak mau keluar? Itu pada ramai-ramai berkumpul di sana."
"Emang iya?" Verrel langsung beranjak dari duduknya. Pemuda itu menghampiri Arthur. Berdiri di depan tenda, ia bisa melihat apa yang Arthur maksud.
"Gih, kalau mau ke sana," ujar Arthur lagi.
Verrel pun mengajak teman-temannya untuk bergabung ke sana. "Yok, lah, kita ke sana. Lo juga, Ar," kata Verrel.
Arthur mengangguk sekilas. Ia lantas beralasan, "Gue mau ke kamar mandi. Kalian duluan aja."
Tapi semua yang ada di sana tampak paham bahwa Arthur enggan untuk pergi. Pemuda itu hanya mencari-cari alasan untuk bisa tinggal di tenda.
"Shana gimana? Nggak ikut juga?" tanya Rick saat melihat Shana tetap duduk dengan santai di dalam tenda tanpa ada niatan untuk bergabung dengan Verrel, Rick, dan Agatha.
Shana meringis lebar. Ia pun mengiakan tebakan Rick. "Aku mau di sini aja."
"Awas, berduaan aja sama Arthur, orang ketiganya setan," ujar Verrel sembari menenggerkan senyum jahil.
Shana hanya berdecih lirih. Gadis itu dengan cepat mengabaikan celotehan Verrel yang memang hanya ingin mengganggunya saja.
"Udah, ayo, Rel, Rick," ujar Agatha kemudian, "keburu malem dan kita baru aja gabung itu aneh banget! Sha, lo juga nyusul, ya? Nggak bosen apa cuma di dalem tenda?"
"Iya, iya, gampang," balas Shana sekenanya.
Lalu ketiga orang itu mulai berjalan keluar tenda. Kini yang tersisa hanya Shana dan Arthur berdua saja di tenda glamping itu.
Shana tak beranjak dari tempatnya di dalam tenda, sementara Arthur juga tampak nyaman bersandar di pintu tenda sembari berpangku tangan.
"Kenapa nggak ikut ke sana, Sha?" tanya Arthur sambil menoleh ke arah Shana. Pemuda itu memberitahu, "Gue nggak apa-apa di sini sendirian. Lo gabung aja sama mereka."
Shana menggelengkan kepala beberapa kali. Gadis itu berkeras untuk tinggal saja di sana.
Akhirnya, Arthur tak lagi memaksa-maksa Shana untuk pergi saja bersama teman-temannya yang lain. Tapi meski begitu, tak banyak yang mereka bicarakan. Paling hanya sesekali Shana yang penasaran dengan sesuatu dan meminta Arthur untuk menjelaskannya.
"Itu peserta yang alergi udah baikan, Ar? Apa nggak sebaiknya dibawa ke rumah sakit?" tanya Shana pada suatu kesempatan.
Arthur mengerutkan keningnya dan menggelengkan kepala lemah. "Gue nggak terlalu paham sama alergi begitu. Tapi Widya bilang, selama nggak ada pemicunya, dia aman-aman aja. Panitia juga nggak ada keinginan untuk merujuk Widya ke rumah sakit. Secara, mereka juga bingung harus keluar dari pulau ini dengan apa."
"Mereka benar-benar nggak sewa perahu buat stay di sini dan jaga-jaga kalau ada apa-apa?" Mata Shana terbelalak.
Arthur menganggukkan kepala. Ia bercerita, "Berdasarkan penjelasan Hea, panitia hanya menyewa perahu untuk berangkat dan pulang dari pulau ini. Itu dalam rangka menekan biaya yang harus panitia keluarkan sehingga bisa dialokasikan untuk hal lain yang menurut mereka lebih penting. Yang mana itu artinya, perahu akan menepi ke sini di hari kepulangan kita dari acara makrab. Sementara untuk saat ini, hampir tidak ada perahu yang berkeliaran di sekitar sini. Kalau ada pun, belum tentu mereka mau bersandar di pantai di pulau ini."
Shana mengembuskan napas berat. Bibirnya tampak cemberut. Ia terlihat ikut prihatin setelah mendengar penjelasan dari Arthur.
Namun sesaat kemudian, Shana meminta Arthur untuk menemaninya ke kamar mandi. "Temenin ke kamar mandi dong, Ar. Kebelet nih," ujar Shana lalu diakhiri dengan ringisan lebar.
Arthur tentu tak punya alasan untuk menolak. Ia meraih jaketnya yang tersampir di jemuran handuk lalu memberi isyarat pada Shana agar segera cabut dari sana.
Mereka berjalan menyusuri jalanan setapak yang sepi. Karena ya sudah bisa ditebak, hampir sebagian besar peserta makrab berfokus pada aktivitas di tengah lapangan yang ada tak jauh dari tenda mereka.
"Gue laper, nih," keluh Shana sambil mendongakkan kepala ke arah Arthur. Ia pun melanjutkan ucapannya, "Ar, habis ini join ke lapangan gimana? Cari makanan terus balik lagi ke tenda."
Arthur mendengkus geli mendengar rencana Shana yang terdengar sangat polos. Bahkan karena ekspresi lucu Shana itu, Arthur kelepasan tertawa.
Shana mengerucutkan bibirnya. Tangannya mencubit ringan lengan Arthur sambil menggerutu, "Malah ketawa!"
"Rencana lo yang barusan itu lucu, Sha," kata Arthur di tengah-tengah tawanya.
Shana jadi ikutan tertawa. Ia bertanya, "Kenapa, aneh ya?"
Arthur menganggukkan kepala.
"Di bagian apa?" lanjut Shana.
"Ya, semuanya," jawab Arthur sembari mengedikkan bahu, bingung juga menunjukkan di sebelah mana letak kelucuan ucapan Shana. "Lo kaya merencanakan apaan aja."
"Ih, tapi bener, lho. Gue laper dan jalan satu-satunya adalah cari makan di lapangan. Di sana pasti banyak lah sesuatu yang bisa dimakan. Awas, jangan ketawa!" Shana menunjuk ke wajah Arthur yang lagi-lagi siap menyemburkan tawa. Gadis itu mengulum senyum melihat Arthur yang juga menahan tawa dengan susah payah.
Dan akhirnya, tanpa mereka sadari, mereka sudah sampai di kamar mandi. Arthur menunggu di bawah pohon yang diterangi lampu jalan. Sementara Shana masuk ke kamar mandi sendirian.
Shana lumayan lama berada di kamar mandi. Hingga Arthur yang menunggu itu pun dibuat menguap bosan beberapa kali.
Setelah menguap untuk entah yang ke berapa kali, Arthur menegakkan tubuhnya. Daripada kantuk semakin menyerang, Arthur mencoba berjalan-jalan di sekitar hanya untuk memastikan tubuhnya tetap bergerak.
Saat ia berjalan persis di depan kamar mandi, Arthur mengajak Shana bicara. "Sha, belum selesai?" tanya Arthur setengah berteriak dari luar kamar mandi. Pemuda itu bertanya lantaran takut saja Shana tertidur di dalam kamar mandi. Atau parahnya, gadis itu justru tengah bermeditasi.
Untung saja, kekhawatiran Arthur tak beralasan. Shana membalas dengan segera, "Bentar, ya, Ar. Sabar dulu."
Arthur mengiakan. Ia pun kembali berjalan ke arah pohon yang tadi ia jadikan sandaran.
Saat berjalan itu, pandangan Arthur tak sengaja mengarah ke sebuah bangunan di samping kamar mandi. Setahunya, itu adalah tempat untuk menyimpan mesin-mesin air.
Yang menarik perhatian Arthur bukanlah karena bangunan itu menyimpan mesin-mesin air atau sebagainya. Namun yang membuat Arthur menajamkan penglihatannya adalah karena ia merasa ada orang di dalam sana.
Arthur sempat ragu dengan penglihatannya itu. Karena memang sedari tadi Arthur menunggu di sana, tak ada orang lain yang datang. Juga yang lebih penting adalah Arthur tak mendengar suara apapun.
Mana mungkin ada orang? Arthur hanya salah lihat.
Jadi saat Shana akhirnya keluar dari bilik kamar mandi, Arthur segera mengajak Shana kembali ke area tenda peserta.
"Sorry, gue lama di dalam," ujar Shana sambil melangkah bersisihan dengan Arthur.
Arthur hanya mengangguk singkat. Ia menggumam, "Nggak masalah."
Shana mengiakan. Namun gadis itu menaruh rasa curiga pada Arthur dan ekspresi pemuda itu sejak tadi. Kalau Arthur tak mempermasalahkan soal lamanya Shana di kamar mandi, lalu apa yang membuat pemuda itu memasang wajah serius?
"Ar, lo nggak kenapa-kenapa? Kayanya lo menyimpan sesuatu dari gue. Lo ada masalah?" cerocos Shana. Gadis itu menghentikan langkahnya.
Arthur juga turut berhenti melangkah. Ia menatap Shana sebentar sebelum akhirnya melemparkan tatapan ke bangunan penyimpanan mesin air.
"Sha, lo merasa ada yang aneh nggak waktu di sekitar kamar mandi?" tanya Arthur sambil mengerutkan dahinya.
Shana terdiam beberapa saat. Gadis itu tampak berusaha mencerna pertanyaan Arthur. "Lo pengen gue jawab apa?"
"Ya, misal ada yang mengganggu pikiran atau perhatian lo?" pancing Arthur.
Namun Shana pada akhirnya menggelengkan kepala. "Nggak ada sih, Ar. Kenapa emang? Ada yang ngeganggu lo? Siapa? Peserta makrab?" Shana kembali mencerocos.
Arthur menggelengkan kepala. Ia menenangkan Shana yang sudah sibuk menerka ini dan itu.
"Terus masalahnya apa?" cecar Shana. "Kalau memang lo merasa perlu cerita, gue dengerin kok."
Arthur terdiam sejenak. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam lalu mulai kembali angkat bicara, "Gue lihat bayangan orang, Sha. Itu ada di dalam ruang penyimpanan mesin air."
Mendengar itu, sekujur tubuh Shana langsung merinding. Gadis itu refleks melompat dan menabrakkan diri ke tubuh Arthur. Sambil memeluk Arthur erat-erat, Shana mengajukan protes, "Ar, jangan nakut-nakutin gue deh. Ini maksudnya orang beneran atau orang-orangan?"
Arthur meneguk ludah. Entah ia grogi karena tadi ia melihat bayangan di ruang penyimpanan mesin atau justru karena Shana tanpa aba-aba langsung memeluknya erat.
"Ar," panggil Shana, "maksud lo apaan tadi?"
"Gue juga nggak tau, Sha," balas Arthur dengan sedikit terbata.
Shana melonggarkan pelukannya. Kini ia curiga Arthur hanya mengada-ngada. Mungkin pemuda itu berniat menakut-nakutinya? Kalau begitu, Arthur berhasil.
"Terus sekarang gimana? Lo nggak lagi bikin gue ketakutan, kan?" Shana bertanya dengan matanya yang memicing menatap Arthur.
Arthur menggusah napas. Ia membalas dengan sedikit mengegas, tak seperti Arthur yang biasanya, "Nggak mungkin lah gue nakuti-nakutin elo!"
Shana menaikkan sebelah alisnya. Ia lantas menahan tawa dan berujar, "Santai aja dong ngomongnya."
Arthur mendengkus, perasaannya memang sedang campur aduk dan itu membuatnya bingung. Setelah beberapa saat berpikir, Arthur meminta pada Shana untuk menemaninya kembali ke area di sekitar kamar mandi, terutama di ruang penyimpanan mesin air.
Shana tampak keberatan. Gadis itu memasang wajah memelas agar Arthur mengurungkan niat membawa serta dirinya ke tempat yang kurang meyakinkan itu.
"Sebentar aja," kata Arthur, "lo tunggu di luar, di bawah lampu biar terang. Gue yang akan berkeliling."
"Nggak mau cari bala bantuan gitu?" tawar Shana. "Kalau rame-rame jadi lebih nggak menegangkan, kan?"
Arthur melihat-lihat ke sekitar. Nyatanya tidak ada orang yang bisa ia mintai tolong. Hanya ada mereka berdua di sana, sementara yang lain terlalu jauh dari mereka.
"Ya udah, lo tunggu di sini aja. Gue balik ke sekitar kamar mandi sebentar," pamit Arthur.
Kali ini, Shana justru tidak mengizinkan Arthur pergi sendirian saja. Meski dengan berat hati, Shana ikutan pergi. "Jangan sendiri, gue temani. Gue juga takut di sini sendirian. Mending kita bareng-bareng aja."
"Oke," balas Arthur singkat.
Keduanya pun saling diam dan hanya berjalan kembali ke arah kamar mandi. Sambil berjalan, Arthur melihat-lihat sekitar. Sementara Shana sibuk menundukkan kepala.
"Ar, kalau ada apa-apa gimana? Kita cuma berdua aja," bisik Shana saat mereka sudah berada di dekat kamar mandi.
Arthur menarik Shana untuk berjalan di belakangnya, persis di balik tubuhnya. Pemuda itu memasang sikap was-was dan penuh perhitungan. Matanya tajam menyisir area sekitar.
Hingga akhirnya, Arthur dan Shana tiba di depan ruang penyimpanan mesin air. Baru berdiri di ambang pintunya, kedua muda-mudi itu dikejutkan oleh sesuatu yang menerjang ke arah mereka.
Arthur terlonjak kaget. Sementara Shana sampai terjungkal ke belakang.
Namun ternyata itu bukan apa-apa. Mereka hanya secara sial bertemu dengan kucing yang cukup banyak tingkah sampai sempat-sempatnya menerjang ke arah mereka.
"Astaga," gerutu Shana. Gadis itu mengibas-ngibaskan lengannya yang sakit akibat dari gerakan refleks menjaga tubuhnya.
Lain halnya dengan Shana, Arthur justru berlari ke tengah ruangan di mana alat-alat berat untuk mengangkat air dari sumber air berada. Pemuda itu menghampiri sesuatu yang menyita perhatiannya.
"s**t!" umpatnya.
Shana yang mendengar Arthur mengumpat otomatis merasa penasaran. Ia mendongakkan kepala dan mencari di mana keberadaan Arthur. Menemukan apa yang membuat Arthur mengumpat, Shana juga langsung terduduk lemas. Sekali lagi ia berujar, "Astaga!"
***