Shana dan Agatha mengendap-endap mendekati beberapa panitia yang sedang berseteru itu. Awalnya Shana dan Agatha tidak menangkap apa yang mereka bicarakan. Namun setelah mencerna selama beberapa saat, keduanya pun memahami apa yang tengah para panitia itu perdebatkan.
“Soal yang alergi itu, kan?” bisik Shana pada Agatha.
Agatha menganggukkan kepala. Gadis itu memberi isyarat agar Shana tidak bicara apa pun terlebih dahulu karena perdebatan sedang sengit-sengitnya.
“Jadi dia alergi daging ikan? Emang siapa yang masukin daging ikan ke menu sup di sarapan tadi?” Hea terdengar bertanya dengan nada ketus.
Lalu pertanyaan dari Hea itu dijawab oleh Cairo. “Gue masukin daging ke menu sup tadi. Tapi gue yakin kalau yang gue masukin itu daging ayam.”
“Mungkin lo nggak sadar udah masukin daging ikan?” Hea tampak berkeras bahwa mungkin saja ada panitia yang ceroboh. Gadis itu berkata, “Alasan kita nggak bikin menu sehari-hari dari daging ikan atau pun seafood lainnya itu karena banyak dari peserta yang alergi. Tapi pagi ini, kita kecolongan. Untung cuma satu orang aja yang benar-benar menunjukkan gejala alergi berat. Gimana kalau ada lebih dari satu peserta yang kaya tadi? Bisa mampus kita sebagai panitia!”
Cairo mendengkus. Pemuda itu dengan nada sarkas berkata, “Hea, Hea, lo masih aja hobi menyalahkan orang.”
Hea membalas dengan tak terima, “Gue bukannya menyalahkan orang ya, Ro!”
“Udah, udah, kami tahu kalau status kalian itu udah jadi mantan pacar. Tapi ya jangan salah-salahan gini dong,” kata Ganendra menengahi.
Shana dan Agatha yang belum beranjak dari kegiatan menguping itu pun saling melempar tatapan takjub. Tentu saja, fakta itu membuat Shana dan Agatha terkejut.
“Gue nggak nyalahin siapa-siapa,” kata Hea lagi. Gadis itu menegasi, “Gue cuma mau orang yang bertanggung jawab atas kecerobohan tadi bisa introspeksi diri dan nggak mengulangi hal yang sama. Panitia cuma ada sepuluh, kan? Kalau gue mau, gue bisa interogasi satu per satu. Tapi gue nggak akan lakuin itu. Jadi cukup kesadaran sendiri aja!”
“Lo yakin banget kalau ini karena keteledoran panitia?” tanya Ganendra. “Masalahnya bahan makanan kita aja nggak ada ikan. Gue tau karena gue yang kemarin nata makanan di kulkas. Jadi gimana bisa daging ikan kecampur daging ayam?”
Semua panitia termasuk Hea pun terdiam. Mereka juga menyadari bahwa itu tidak masuk akal.
“Semalam ada anak-anak yang pergi mancing ikan. Gue lihat mereka jalan ke arah belakang resort, masuk ke jalur setapak di pinggir hutan. Itu akan berujung ke tepian pantai juga, kan? Di sana ada bebatuan karang kalau dari petanya.” Seorang gadis yang pastinya juga merupakan panitia tampak angkat bicara. “Kalau kalian nggak percaya sama gue, kalian tanya aja ke Sania. Dia juga lihat.”
“Bener, San?” tanya Hea. Gadis itu sudah berpangku tangan dan memasang wajah sedikit galak.
Panitia yang bernama Sania menganggukkan kepala dan menjelaskan, “Iya, aku sama Rebecca semalem duduk-duduk di luar aula. Terus kami lihat mereka lewat mau pergi mancing. Bawa alat pancing segala.”
“Remean?” cecar Ganendra.
Sania tampak menggumam. “Lumayan, sekitar lima atau enam orangan. Tapi kami nggak lihat mereka waktu balik. Jadi kami juga nggak tahu apakah mereka dapat ikan atau enggak.”
“Kalian lihat wajah mereka?” tanya Hea kemudian.
Rebecca dan Sania menggelengkan kepala. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak cukup dekat untuk melihat dengan jelas wajah-wajah peserta makrab itu.
Oke, lah, keterbatasan itu tidak menjadi masalah. Karena jika mau, panitia bisa mengecek atau menanyai peserta soal siapa saja yang pergi memancing malam itu. Namun yang jadi pertanyaan adalah apa benar ada orang yang memasukkan daging ikan di antara daging ayam untuk membuat sup? Apa tujuannya?
“Ck, tapi gue juga mau protes ah ke panitia di bagian kesehatan. Bisa-bisanya mereka nggak tahu pertolongan pertama. Mengandalkan tas P3K tanpa tahu cara menangani korbannya.” Hea kembali berujar yang terkesan menyalahkan orang lain. “Seharusnya sebelum cabut ke sini, ya mereka minimal cari tahu atau belajar gitu soal beginian! Coba kalau tadi kita nggak dibantu sama dua peserta cowok itu, bisa-bisa lewat deh itu si Widya.”
Merasa sudah cukup untuk mencuri dengar di sana, Shana pun membalikkan badan untuk menghadap ke Agatha. “Tha,” bisik Shana, “udahan yuk ngupingnya.”
Tanpa banyak omong seperti biasanya, Agatha menurut-menurut saja dengan Shana. Ia pun mengekori Shana hingga keduanya kembali berada di tenda.
“Masa sih ada orang iseng?” tanya Shana lebih kepada dirinya sendiri. “Kurang kerjaan banget.”
“Kalau itu iseng, bahaya banget nggak, sih? Gue pernah baca kalau alergi berat itu bisa sampai anafilaksis. Itu mengancam nyawa, lho!” Agatha balas menggumam.
Shana menoleh ke arah Agatha. Wajah Shana menunjukkan bahwa gadis itu tengah memiliki beban pikiran.
“Lo nggak apa-apa, Sha?” Agatha bertanya kemudian.
Shana menggelengkan kepalanya. “Gue nggak kenapa-kenapa. Cuma gue jadi kepikiran aja, siapa kira-kira orang yang bertanggung jawab untuk kecelakaan tadi pagi. Panitia, kah? Atau justru ada peserta yang iseng?”
“Tapi gue rasa, kayanya ada panitia yang teledor, Sha,” jawab Agatha. “Karena kan kita lihat sendiri kalau tadi pagi dapur di aula resort dipenuhi panitia. Nggak ada tuh peserta yang kelayapan di sana.”
Shana menyanggah. “Lo lupa kalau kita juga sempat ke sana, Tha? Nggak menutup kemungkinan kalau ada peserta yang kurang kerjaan mengacaukan usaha panitia.”
Agatha tampak menimbang-nimbang ucapan Shana. Namun gadis itu tak terlalu yakin juga. Ia pun mengedikkan bahu dan berujar, “Ya udah lah ya, bukan urusan kita.”
“Tapi kita juga harus hati-hati. Berarti kegiatan ini nggak aman-aman banget, kan?” Shana mengingatkan.
Agatha menganggukkan kepala. Ia sepakat-sepakat saja dengan Shana.
***
Seberes mandi, Arthur kembali ke tenda. Karena rupanya, Verrel dan Rick sudah balik duluan meninggalkan Arthur yang lama karena salah memilih antrean.
Saat pemuda itu menginjakkan kaki di dalam tenda glamping, ia mendapati ada Shana dan Agatha yang sudah menunggu di sana. Sementara Verrel dan Rick justru tak ada di tempat.
“Ar,” panggil Shana segera setelah melihat batang hidung Arthur.
Arthur menganggukkan kepala singkat dan membalas, “Ya?”
“Mau nyampein pesan dari Indi, katanya lo dicari Hea,” ujar Shana dengan nada datar yang membuat dahi Arthur berkerut rapat.
Tawa Agatha menyembur begitu saja. Gadis itu geli melihat ekspresi Shana yang begini datar. “Biasa aja dong ngomongnya, Sha. Datar amat kaya tripleks. Kenapa, nggak rela kalau Arthur dicariin Hea?”
Shana menggusah napas keras-keras. Ia menabok punggung Agatha. “Sembarangan!” seru Shana, tampak berkelit dari tuduhan Agatha.
“Gue harus ke mana?” tanya Arthur kemudian. Pemuda itu tampak tak tertarik dengan perselisihan di antara Shana dan Agatha.
“Aula,” ujar Shana dengan singkat, padat, dan irit bicara.
Arthur pun meletakkan peralatan mandinya lalu segera berlari keluar tenda. Seolah-olah keadaan genting sedang terjadi di sana. Sampai-sampai Arthur melupakan untuk berbasa-basi mengajak Shana dan Agatha ikut serta dengannya.
***
Melihat Arthur pergi begitu saja, Agatha tertawa semakin keras guna mengejek Shana. Gadis itu bahkan menakut-nakuti Shana bahwa mungkin saja posisi Shana akan segera dilengserkan Hea.
“Bacot aja lo, Tha,” kesal Shana. Gadis itu balas menyerang Agatha, “Yang ada, si Verrel itu yang matanya kelayapan. Buaya darat sejak lahir, kan?”
“Emang Arthur enggak?” Agatha tetap tak mau kalah. “Semua cowok sama aja kali, Sha. Hati-hati, tau-tau doi udah pergi. Kalau gue sih—”
“Bye!” seru Shana memotong cerocosan Agatha. Gadis itu pun beringsut keluar tenda.
Agatha berteriak, “Eh, mau ke mana? Jangan ngelabrak Hea, ya!”
Namun Shana tampak tak menanggapi teriakan Agatha. Alhasil, mau tak mau, Agatha menyusul Shana keluar dari tenda glamping. Meskipun ia tak tahu Shana akan pergi ke mana.
Setelah berhasil menyusul Shana, Agatha pun melambatkan langkahnya. Apalagi kala ia menyadari ke mana Shana mengarah.
“Sha, lo nggak beneran mau ngelabrak Hea, kan?” tanya Agatha dengan dramatisnya. “Sebagai sahabat lo, gue harus gimana, nih?”
Shana berdecak. Gadis itu lantas menyembur Agatha, “Apa sih, Tha? Lo tuh dari tadi ngomongin hal-hal yang nggak penting. Lagian siapa juga yang mau ngelabrak Hea? Orang gue cuma penasaran kenapa Arthur dipanggil ke aula.”
“Ya, sama aja, Sha. Rasa penasaran lo itu menandakan bahwa lo cemburu, kan? Hayo, ngaku aja deh lo.” Agatha mendorong-dorong bahu Shana dengan bahunya.
“Tha,” kesal Shana, “sumpah, lo bawel banget!”
Melihat Shana betulan emosi, Agatha pun menutup bibirnya rapat-rapat. Ia pun berdeham-deham agar tampak sama seriusnya dengan Shana.
Saat akhirnya mereka tiba di aula, mereka bisa melihat Arthur, Verrel, dan Rick tengah mengobrol bersama Hea.
“Tuh, pakai mata lo buat lihat,” ujar Shana, “ada Verrel juga di sana. Awas, nanti dia yang oleng!”
Agatha terkekeh saja. Ia menggaet lengan Shana dan menyeret gadis itu untuk menghampiri Arthur dan Verrel yang ada di aula.
“Kami boleh join, kan?” tanya Agatha sambil mengedarkan pandangan ke empat orang yang sudah lebih dulu berada di sana.
Hea menganggukkan kepala dan menjawab, “Boleh, duduk aja.”
Agatha menarik tangan Shana hingga gadis itu turut mendudukkan diri di sebelah Agatha. Namun Agatha tahu kalau Shana merasa sungkan di sana.
“Kalian bantu gue, ya?” pinta Hea.
Agatha dan Shana yang baru saja datang tentu sudah tertinggal. Akhirnya, mereka jadi tak nyambung ke dalam obrolan.
Sampai Agatha dengan berani bertanya, “Kalian ngobrol apa, sih?”
“Nanti aja gue ceritain,” sambar Verrel sambil memberi kode agar Agatha tak merusuh di sana.
Agatha mengiakan dengan terpaksa. Ia pun kembali menutup mulutnya, seperti yang Shana lakukan sejak tadi.
“Gimana bisa, kan?” Hea memastikan sekali lagi karena tadi ia belum mendapat jawaban apa-apa dari ketiga pemuda yang ada di hadapannya.
Rick yang buka suara, “Yakin lo mau memperpanjang persoalan kaya gini?”
“Iya,” jawab Hea, “karena gue harus tau siapa orang yang ceroboh yang hampir bikin peserta makrab celaka. Kalau memang ini keteledoran panitia, maka kami akan mengadakan evaluasi lanjutan. Tapi kalau ada orang di luar panitia yang terlibat, tentu gue perlu tahu gimana bisa dia mengakses dapur panitia.”
Melihat Hea yang begitu serius menangani hal ini, Rick pun berujar, “Gue usahain, deh. Tapi tambahin personil, dong!”
“Siapa?” tanya Hea dengan semangat, “gue cariin.”
“Ganendra aja,” kata Rick kemudian.
Hea langsung manggut-manggut. Gadis itu pun berkata, “Oke, gue akan bilang ke Endra. Lagian, dia kan teman setenda kalian, dia pasti mau.”
Setelah selesai membahas itu, Hea segera bangkit berdiri dan berpamitan untuk melanjutkan tugasnya sebagai panitia.
***
Jadi sepeninggal Hea, Agatha kembali menanyakan soal apa yang sebenarnya teman-temannya bahas barusan.
“Kita disuruh nyari orang sama si Hea,” ujar Rick. Pemuda itu ternyata cukup komunikatif.
Shana menimpali, “Orang yang nyari ikan tadi malam?”
“Lah, kok lo tau, Sha?” Verrel tampak melebarkan matanya.
Agatha berdecak dan berujar, “Gue juga tahu kali!”
Arthur garuk-garuk kepala. Ia tidak ikut bicara seperti teman-temannya. Pemuda itu sibuk berpikir.
Hingga Agatha tergelitik untuk mengganggu Arthur. “Gimana, Ar, udah menyusun rencana?”
Arthur menggelengkan kepala. Pemuda itu lantas menghela napas dan berujar, “Kita tanyain satu-satu aja.”
Arthur, Verrel, dan Rick tampak membagi tugas. Sementara Agatha dan Shana dibebaskan untuk mau ikut atau tidak. Dan tentu saja, Agatha memilih ikut dengan Verrel, Shana ikut dengan Arthur, dan Rick akan mencari bersama Ganendra jika Ganendra bersedia.
“Ada berapa tenda di sini?” tanya Arthur kemudian.
“Sekitar dua puluh tenda?” Rick menjawab namun dengan keraguan.
Namun Verrel mendukung jawaban Rick itu, “Iya, ada sekitar dua puluh tenda peserta. Ada yang satu tenda isi empat orang, ada juga yang cuma bisa diisi dua orang.”
Arthur mengangguk mengerti. “Kalau gitu, kita bagi jadi tiga. Kemungkinan besar, yang nyari ikan malam itu adalah peserta makrab laki-laki seperti penjelasan Hea tadi. Jadi kita lebih fokus ke mereka aja. Meski nggak menutup kemungkinan buat tanya-tanya ke peserta makrab yang perempuan juga.”
“Dibagi tiga, kan?” tanya Verrel sekadar memastikan. Setelah dijawab dengan anggukan oleh Arthur, Verrel pun berkata, “Gue akan cek tenda satu sampai tujuh.”
“Gue tenda nomor delapan sampai tiga belas,” timpal Rick. “Sorry kalau gue ambil sedikit tenda aja. Karena kan Endra belum tentu mau nemenin gue.”
Arthur dan Verrel menerima alasan Rick. Lagian, hanya beda jumlah satu tenda saja. Itu bukan masalah besar.
Otomatis Arthur mengambil bagian tenda yang tersisa. Setelah sepakat, ia meminta teman-temannya segera bergerak. Karena bagaimana pun, mereka harus memanfaatkan waktu luang di sela kegiatan makrab yang telah panitia siapkan.
Arthur mengajak serta Shana. Kali ini pemuda itu mengingat keberadaan Shana karena gadis itu sudah berdiri di hadapannya.
“Yuk,” ujar Arthur lantas berjalan keluar terlebih dahulu dari aula, meninggalkan Shana yang berjalan sedikit tertinggal barang beberapa langkah di belakangnya.
***