B E. Part 12a

1181 Words
Akhirnya Sera turun dari mobil dengan bantuan dari Gio. Ia berjalan perlahan sambil dipapah oleh Gio. Tangan pria itu melingkar di punggung hingga memegang lengan Sera. Sera merasakan sesuatu yang ganjal dalam hatinya. Ia nyaman dengan sikap Gio, bahkan tidak berniat untuk melakukan protes. Ia menoleh ke arah Gio yang sedang fokus melihat ke depan. Maka ketika Gio melirik ke arahnya, Sera segera memalingkan wajah. Begitu sampai di depan lift, Sera kembali terlihat meringis. Ia berusaha menyembunyikan rasa sakit dari Gio tapi tetap saja Gio menyadarinya. “Sakit lagi?” tanya Gio khawatir. Sera menggeleng, “Nggak kok.” Sebenarnya sakit kakinya hanya muncul ketika ia berdiri terlalu lama. Mungkin karena masih penyesuaian setelah berbaring beberapa hari lamanya. Begitu pintu lift terbuka keduanya masuk bersama. Gio melihat Sera tidak nyaman berdiri dengan kaki yang sakit, maka ia berinisiatif menggendong Sera. “Sory Ser, lebih baik gue gendong lo,” tanpa menunggu persetujuan, Gio mengangkat tubuh Sera, membawa gadis itu dalam gendongan ala bride. Sera panik ketika tubuhnya berada dalam dekapan Gio, “Gi, nggak perlu kayak begini, gue bisa jalan sendiri kok. Turunin gue dong,” Sera terus memberontak. Gio menatap Sera, “Sera, dengerin gue. Kaki lo masih sakit dan lo nggak boleh bergerak terlalu banyak. Jadi lo cukup tenang biar gue nggak susah gendongnya,” ucap Gio meyakinkan. Tangan Sera yang tadi bergerak bebas, perlahan melingkar di leher Gio. Ia menatap Gio dengan ragu. Jantungnya berdegub kencang, wajahnya terasa panas dan ia merasa malu berada di posisi seperti ini. Bahkan ia bisa merasakan hembusan napas Gio di wajahnya. Sungguh terasa aneh namun sedikit nyaman. “Gi, kok lo bikin gue ngerasa asing sama perasaan yang gue alami sekarang,” pikirnya. Gio menatap Sera, ia tersenyum begitu tenang. Senang karena hari ini Sera begitu penurut dengannya. Membawa Sera dalam dekapannya membuat hatinya menghangat. Mencium wangi tubuh gadis ini begitu menenangkan perasaan Gio. Entah perasaan apa ini, yang jelas Gio menyukainya. Selama menuju apartemen milik Sera, keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga lamunan keduanya buyar saat pintu lift terbuka. Beberapa orang yang berdiri di luar menatap keduanya dengan tatapan heran. Namun beberapa ada yang tersenyum geli melihat keduanya begitu mesra. “Gi, gue malu diliatin orang. Gue turun aja,” bisik Ser pelan sambil membenamkan wajahnya di cekungan leher pria itu. Gio berusaha mengendalikan diri karena tanpa Sera sadari, hembusan napasnya di leher Gio membuatnya pria itu merasa gerah. Tubuhnya seakan menegang merasakan hembusan napas yang begitu lembut menyapu kulit leher milik Gio. “Nggak usah dipikirin. Santai saja, kan biasanya lo selalu cuek. Lagi pula mereka bisa lihat kondisi lo kayak gimana,” ujar Gio sambil mengalihan pikiraannya. Sampai di depan pintu apartemen, Sera minta untuk turun dari gendongan Gio. “Turunin gue Gi, kan udah sampai.” “...” Gio mengangguk. Sera membuka pintu dengan memasukkan kode akses. “Itu tanggal lahir lo?” tanpa sengaja Gio mengintip kode akses yang di masukkan oleh Sera. “Iya, ulang tahun gue. Gampang kan?” “Kalau dari dulu gue tahu, nggak ada drama tidur di mobil dong,” goda Gio. “..” Sera hanya tersenyum. Pintu apartemen sera sudah terbuka namun ia tidak langsung masuk. “Gi, lo mau masuk dulu nggak?” Gio bingung harus menjawab apa. Ini adalah sebuah tawaran dari Sera.“Iya gue masuk tapi mau ambil tas lo dulu ya.” “Oke, gue tunggu di dalam ya,” jawabnya. “Lo bisa jalan sendiri?” “Bisa lah, cuma beberapa langkah doang kok,” jawab Sera sambil tersenyum tipis. Sera masuk ke apartemen miliknya yang beberapa hari ia tinggalkan. Bersyukur Adeline, istri Jeremy memanggilkan orang untuk membersihkan apartemen miliknya sebelum ia keluar dari rumah sakit. Sera pergi ke dapur dan memeriksa isi kulkasnya. Sera mengambilkan minum untuk Gio saat pria itu kembali dari mengambil tas miliknya. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamarnya untuk merebahkan tubuhnya sebentar. Sera menatap langit-langit kamar, matanya menerawang sambil membayangkan apa yan terjadi barusan. Perhatian Gio, sikapnya yang melunak, bahkan bersentuahan dengan pria itu membuatnya nyaman. Beda sekali saat ia merangkul Raka, rasanya biasa saja seperti dengan saudara sendiri. Sera merasa lebih baik-baik saja jika bersama Raka. Sedangkan bersama Gio ia merasa hal yang berbeda, malu dan senang tapi ingin mengulangnya lagi. “Gue kenapa ya?” gumamnya. Sera mengerjap kaget ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Ia yakin itu Gio yang sudah kembali. Sera berjalan pelan menuju pintu, ia tidak mau jika harus merasakan sakit di hadapan Gio. Hari ini memang berjalan dengan baik, tanpa ada pertengkaran. Tapi tetap saja ia tidak mau menunjukkan kelemahannya terlalu banyak pada Gio. Ketika pintu terbuka, Gio sudah berdiri di depan dengan tangannya yang satu menjinjing tas milik Sera. “Masuk yuk, Gi. Anggap rumah sendiri,” Sera membuka pintu lebar dan membiarkan Gio masuk terlebih dahulu. Gio meletakkan tas Sera di atas meja ruang tamu. “Apartemen lo nggak banyak berubah ya? Rasanya masih sama waktu terakhir aku ke sini.” Gio mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. “Iya, masih sama kok. Gue nggak terlalu suka gonta ganti interior. Selera gue membosankan banget kan? Duduk Gi,” pinta Sera. Gio duduk di sofa sedangkan Sera mengambil minum yang sudah ia siapkan tadi dan membawanya untuk Gio. “Nggak kok. Cocok sama lo yang nggak suka hal yang bertele-tele atau mencolok,” sahutnya. “Iya gimana dong, udah bawaan dari lahir kayak gini. Maaf ya cuma ada ini,” Sera menyerahkan minuman kaleng bersoda untuk pria yang duduk di sebelahnya. “Thank,” jawab Gio sambil menerima minuman itu. “Sekali lagi makasih ya, udah nganterin pulang. Pinggang dan tangan lo pasti pegal karena gendong gue.” Gio tersenyum, “Nggak kok. Lo cukup ringan buat gue,” jawabnya santai. Syukurnya berat Sera mentok di angka 50 kg. “Syukurlah. Gue nggak mau dapat komplain kalau lo encok gara-gara gendong gue.” Gio tergelak, “Kalau encok gue harus nyari tukang urut dong.” Sera terdiam melihat Gio tertawa lepas, padahal yang ia ucapkan bukan hal yang lucu. Tawanya begitu tulus, manis dan menyenangkan bagi Sera. Tanpa ia sadar, senyum tipis tercetak jelas di wajahnya. Matanya tidak berpaling dari sosok Gio. Pemandangan yang membuat hatinya tenang. Karena asik tertawa Gio sampai tidak menyadari Sera sedang menatapnya. Saat ia menoleh ke arah Sera, gadis itu terkesiap dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gio menatap curiga pada wanita itu, “Kenapa? Muka gue ada sesuatu yang aneh?” “Nggak kok, gue nggak perhatiin sih,” jawab Sera dengan gugup. Gio memutar duduknya, agar bisa menghadap Sera. Tubuhnya ia condongkan mendekat pada gadis itu, “Terus lo mulai terpesona sama wajah gue? Lo baru sadar kan kalau ternyata gue ini ganteng,” tanya Gio dengan percaya diri. Sera mengernyitkan alisnya, mendorong pelan tubuh Gio dengan tangan kanannya. “Ternyata lo punya tingkat percaya diri yang tinggi.” “Bukan percaya diri, tapi kenyataan kok gue ganteng. Lo belum liat aja tadi waktu gue ngurus kepulangan lo, semua suster dan karyawan di rumah sakit pada bengong lihat ada cowok ganteng kayak gue,” ucap Gio dengan mengedip nakal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD