B E. Part 12b

1174 Words
Sera berdesis, “Yang bilang lo ganteng berarti matanya rusak. Ganteng dari mana coba, dari lubang sedotan.” “Lo udah sembuh total ya. Kayaknya udah kembali ke mode cerewet dan judes” tangan Gio menjawil hidung Sera dengan gemas. Sera kembali merasakan tubuhnya kaku dan jantungnya berdegub kencang setiap kali kontak fisik dengan Gio. Ia mengalih pembicaraan agar suasana tidak menjadi canggung. “Nggak kok biasa aja. Udah minum dulu entar keburu dinginnya ilang.” Gio menuruti ucapan Sera, ia membuka tutup minuman kaleng bersoda kemudian meneguknya. “Kenapa lo nggak tinggal dengan mertuanya Rea? Atau lo bisa tinggal di rumah Jouvan” Gio meletakkan kembali minuman kalengnya. Yang Gio tahu kedua orang tua Sera sudah tidak ada. “Gue nyaman tinggal sendiri, tapi bukan berarti gue nggak nyaman di dua tempat itu. Kalau di rumah Oma, gue bakalan di perlakukan bak tuan putri dan gue nggak suka itu” “Tapi untuk saat ini selama lo sakit, akan lebih baik lo tinggal di sana. Lo ada yang ngerawat dan memperhatikan. Nggak perlu mikirin soal makan dan kalau perlu apa-apa ada yang bantu” “Gue nggak mau buat mereka cemas. Lagi pula, lo bilang Rea lagi sakit kan. Biarin nanti Oma ngurus Rea. Gue mah gampang. Kalau laper kan gue bisa pesan makanan secara online. Nggak harus masak kok, jadi semua aman” Tangan Gio terangkat, merapikan anak rambut yang menutupi pipi gadis itu. “Lo bandel juga ya. Udah sakit begini masih aja bisa berpikir santai, nggak ada takutnya.” Sera menutup matanya tanpa ia sadari, napasnya tertahan. Sentuhan Gio membuatnya merasa gelenyar aneh pada hatinya. Melihat Sera menutup mata karena perlakuannya, Gio menghentikan aksinya. Ia tidak bisa melihat Sera terpenjam seperti itu. Ingatannya kembali pada saat Sera tertidur di mobilnya. Saat itu ia mencuri ciium ketika gadis itu dalam keadaan tidak sadar alias tertidur pulas. Perasaan bersalah kembali muncul dan membuat Gio merasa gusar. Sera membuka mata saat merasakan tangan Gio beranjak dari wajahnya. Ia benar-benar malu karena begitu terbuai dengan suasana ini. Ia menepuk jidatnya beberapa kali tanpa disadari oleh Gio. “Gue kenapa sih?” gerutunya dalam hati. “Ser, gue pamit sekarang ya. Nanti sore kan mau ke sanggar. Lo nggak masalah gue tinggal sendiran?” Suara Gio mengalihkan pikirannya yang sibuk menyesali dirinya sendiri, “Ahh nggak kenapa kok. Makasih banyak ya Gi untuk semuanya.” “Sama-sama. Gue pergi ya, kalau ada apa-apa lo bisa hubungi gue. Dan ingat minum obatnya.” “Sip tenang saja.” Sera mengacungkan jempol tangan kirinya ke arah Gio. Gio dan Sera beranjak dari duduknya. Sera mengantar Gio keluar dari apartemen miliknya. “Hati-hati ya,” ucap Sera ketika Gio berdiri di luar pintu. Gio mengacak rambut Sera dengan lembut, “Baik-baik ya, bye” kemudian berlalu. Sera masih terdiam, lagi-lagi Gio mengacak-ngacak perasaanya dengan sikap manis. Rasanya aneh sekali melihat sikap Gio yang mendadak lembut padanya. Tapi ia juga tidak habis pikir pada dirinya sendiri karena menerima semua perlakuan Gio hari ini. Bukan seorang Sera sekali dirinya saat ini. “Kenapa sih sama cowok itu dan gue juga kenapa manut-manut aja diperhatiin kayak gitu. Biasanya juga gue kayak macan kalau udah ketemu dia,” Sera bicara pada dirinya sendiri. Sera pusing dengan segala asumsinya. Maka ia lebih memilih untuk membersihkan diri walaupun tidak bisa mandi dengan leluasa karena beberapa luka pada tubuhnya. Tapi setidaknya ia bisa mengalihkan pikirannya yang kacau. Di tempat lain, Gio sedang mengemudikan mobilnya untuk pulang. Ia terus saja mengulum senyum mengingat tentang Sera. Hatinya terasa ringan dan ada kelegaan yang ia rasakan. Ternyata sumber dari sikapnya yang mendadak tertutup dan dingin karena Sera. Bertemu dangan gadis itu seperti membawa udara segar untuk Gio. “Gio dari mana?” “Mama..” Gio terkejut saat akan naik ke lantai dua, suara Santi menggema dari raung tamu. Santi menghampiri sang anak yang berdiri di dasar anak tangga ,“Dari mana kamu sore baru pulang?” wanita itu menyadari raut wajah anaknya berbeda. “Tadi Levia minta tolong jemput di jalan karena mobilnya mogok. Terus aku anter pulang,” jawab Gio santai. Santi mengernyit, “Jadi wajah kamu yang berbinar-binar saat ini karena habis ketemu Levia?” tanya Santi penasaran. Gio spontan memegang wajah dengan kedua tangannya, “Apaan sih Ma, biasa aja kok” “Jangan bohong sama Mama. Kamu dari siang keluar sama Levia, pantes aja mukanya seneng gitu,” sindir Santi. “Ma, Gio tadi jemput Sera juga di rumah sakit,” Gio terpaksa jujur karena tidak mau Santi salah paham tentang Levia. Santi kembali mengernyit heran, “Sera? Kok bisa? Maksud Mama kok bisa kamu yang jemput?” Sepertinya ia akan menemukan sesuatu yang selama ini mengganjal di hati tentang anaknya. “Karena waktu aku lagi antar Levia pulang, Rea telpon katanya dia nggak bisa jemput Sera di rumah sakit. Suami dan kakak iparnya lagi ke Bandung. Makanya aku yang bantu jemput. Mama Gio yang tersayang, udah nggak salah paham lagi kan?” Gio memegang kedua lengan Santi dan mengguncangnya lembut. “Mama kira kamu ada hubungan sama Sera. Atau kalau nggak sama Sera, kamu mau balikan sana Levia?” “Kalau Papa sih setuju kamu menjalin hubungan lagi sama Levia. Papa juga sudah kenal dengan orang tua dia, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika kalian menjalin hubungan yang serius,” Adam ikut menimpali obroaln anak dan istrinya. Ia berjalan menuruni anak tangga. Mendengar suara Adam, ibu dan anak kompak menoleh ke atas. Gio sedikit menyesal membahas ini karena tidak menyangka Papanya mendengar. Padahal Adam tidak pernah ikut campur urusan pribadi Gio, tapi untuk kali ini pria itu sepertinya begitu tertarik. “Kapan-kapan ajak Levia ke sini. Sudah lama sekali sejak terakhir di dia ke sini kan?” kini Adam sudah berdiri di hadapan istri dan anaknya. “Maaf Pa, Gio nggak ada hubungan apa-apa sama Levia dan belum ada niatan melakukan itu. Jadi Gio nggak ada alasan buat ajak Levia ke sini,” jawabnya datar. Adam menepung bahu Gio, “Maka dari itu, pikirkan untuk memulai hubungan dengan dia. Jika kalian sampai menikah, akan sangat bagus pengaruhnya untuk perusahaan kita, Gio. kamu pasti mengerti maksud Papa.” “Pa..” Santi menyentuh tangan suaminya. Ia tidak suka kalau bisnis di campur dengan masalah pribadi. Apalagi memaksa anaknya untuk menjalin hubungan dengan wanita karena hanya untuk tujuan bisnis. Santi tidak pernah berniat memperlakukan hal seperti itu pada anak-anaknya. Kebahagiaan anak adalah yang utama baginya. “Gio mau ke atas dulu Papa. Siap-siap mau ke sanggar,” tanpa mendengar ucapan Adam, Gio langsung menaiki anak tangga meninggalkan kedua orang tuanya. “Papa, harusnya jangan bicara seperti itu sama Gio. Papa tahu sendiri gimana sifat anak kita, itu. Dia pasti kesal karena dipaksa harus kembali dengan Levia, padahal sudah jelas kalau di bilang nggak ada niat kembali menjalin hubungan dengan Levia,” jelas Santi kepada suaminya. “Ma, Papa bicara seperti ini juga demi kebaikan anak kita, yaitu Gio. Jadi mama harus bantu Papa buat membujuk Gio agar setuju dengan rencana ini,”  tandas Adam. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan* 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD