B E. Part 6b

1155 Words
Sera yang mendengar Gio begitu dalam melontarkan pertanyaannya, seketika terdiam. Ia juga sama, apa akar dari semua sikap dirinya terhadap Gio bak musuh bebuyutan. Padahal dulu sebelum ia tahu Rea dan Jouvan saling mengenal, Sera hanya mengenal Gio lewat Raka yang terkadang menyinggung namanya. Atau bertemu saat ia datang berkunjung ke kediaman keluarga Raka, itu pun hanya saling lempar senyum tanpa bersuara sama sekali. Jadi apa penyebabnya? Entah, Sera juga tidak tahu jawabannya. Gio melirik sekilas karena Sera tidak menanggapinya, “Apa sudah sejak awal lo anggap gue ini musuh lo?” “Atau lo yang lebih dulu menganggap gue musuh?” tanya Sera balik. Gio bungkam, apa memang ia yang menganggap Sera musuh. Tapi kenapa? Apa karena sikap menyebalkan yang sering membuatnya sakit kepala dan tekanan darahnya naik? “Udahlah, nggak usah bahas hal nggak penting. Hidup gue ya gue lo ya elo. Jangan diambil pusing. Selama nggak berpengaruh sama kelangsungan hidup masing-masing jadi jangan terlalu diambil pusing,” ucap Sera. Belum sempat Gio menjawab, mobil miliknya sudah memasuki halaman rumah Jouvan dan Rea. Dari halaman saja rumah adiknya itu terasa sangat nyaman dan tenang. Ini kunjungan pertama Gio ke rumah Rea. Rumah ini adalah hadiah dari Jouvan untuk istri tercinta. Begitu Gio mematikan mesin mobilnya, Sera langsung turun dari mobil. Ia masuk lebih dulu tanpa peduli dengan pria yang masih tertinggal di mobil. “Om Jou..” seru Sera begitu Jouvan menyambutnya. Jouvan memeluk keponakannya begitu erat, “Kangen ya, padahal belum lama perginya.” Sera berdecak, “Ck. Nggak bosan apa honeymoon terus?” Jouvan mengurai pelukannya. “Kamu harus cepat menikah, biar tahu rasanya tidur ada yang nemenin.” Jouvan menjawail hidung Sera kemudian tertawa lebar. Sera mendorong pelan tubuh sang paman, “Ih Om Jouvan ngomongnya mesuum. Aku masih suci jangan dikontaminasi dengan kehidupan ranjang kalian.” “Nanti juga kamu suka kalau sudah merasakan,” ledek Jouvan. “Malam Mas,” sapa Gio tenang. Jouvan menoleh, “Eh ada Gio juga. Kalian datang bareng?” Tanya Jouvan, matanya bergantian melirik Gio dan Sera. “Iya Mas. Kebetulan ketemu di jalan jadi sekalian saya ajak.” Sera mendelik, “Lo kira gue anak kucing nemu di jalan terus diangkut,” sentak Sera kesal. “Sera, kamu kok nggak ada sopan-sopannya sama Gio. Dia lebih tua dari kamu dan kakak dari tante kamu.” Jouvan memang tahu watak keponakannya. Tapi tetap tidak membenarkan sikap Sera yang tidak sopan pada Gio. Apalagi jika Rea atau keluarganya mendengar rasanya tidak pantas saja. Seketika Sera menunduk, “Maaf, Om,” ujarnya pelan. “Mas, Rea mana?” Gio tidak ingin melanjutkan kecanggungan ini. Ia tidak tersinggung dengan ucapan Sera, tidak juga senang mendengar ocehan gadis itu. Yang ia mau sekarang adalah bertemu Rea, adik kesayangannya. “Rea sedang istirahat di kamar. Baru saja selesai masak untuk makan malam. Dia pasti senang kalau kalian datang,” ujar Jouvan. “Rea sakit?” tanya Sera. “Sepertinya jet lag. Belum menyesuaikan diri saja. Ayo masuk dulu, dari tadi malah berdiri,” ajak Jouvan. “Mas, aku mau ketemu Rea di kamar boleh?” Jouvan tersenyum kemudian mengangguk, “Di lantai dua dekat tangga Gi. Masuk saja.” “Om aku mau nyusul Gio ketemu Rea, ya,” pinta Sera. “Jangan. Kita tunggu di sini saja. Biarkan dia melepas rindu dengan adiknya. Pasti Rea dan Gio tidak ingin pembicaraannya terganggu. Lagi pula Om juga mau bicara sama kamu,” ujar Jouvan tenang. Sera mendadak gugup, “Mau bicara apa Om? Kok jadi serius gini sih.” “Sera, lain kali kamu harus menjaga sikap dengan Gio. Mungkin kalau kalian sedang berdua silakan bersikap santai. Tapi kalau ada keluarga Gio atau keluarga Berata yang lain kamu harus bisa mengendalikan sikap ketus dan masa bodoh kamu, itu. Akan tidak baik jika didengar oleh orang lain. Om tahu bagaimana sikap kamu jadi selama ini biasa saja. Tapi kan dengan keluarga Berata kita baru menjadi bagian dari mereka. Ini bukan semata-mata karena Rea istrinya Om tapi dengan orang lain juga Om harap kamu bersikap sopan dan Om percaya kamu bisa melakukannya. Om Jou harap kamu mengerti maksud Om dan tolong jangan merasa tersinggung.” jelas Jouvan hati-hati. Ia tidak ingin Sera tersinggung atau marah dengan nasihatnya. Sera yang duduk berseberangan dengan Jouvan hanya menunduk. Bukan marah atau sedih tapi mengakui kalau nasihat pamannyaa benar. “Maaf ya Om kalau Sera bikin Om kecewa.” Jouvan menggeleng, “Om nggak pernah kecewa sama kamu. Om hanya ingin yang terbaik untuk kamu, demi kebaikan kamu kelak.” Sementara itu percakapan santai terjadi di kamar penganting baru, di sana ada Rea dan Gio. “Suami kamu nggak kasih waktu istirahat selama honeymoon?” Gio duduk di pinggir tempat Rea berbaring. Ia terbangun ketika Gio mengetuk pintu kamarnya. Kini ia bersandar di kepala ranjang, tubuhnya masih saja terasa lelah. “Namanya juga pengantin baru, kan capek Kak.” Gio tersenyum geli, “Gimana rasanya, enak?” Seketika wajah Rea merona merah, “Kak Gio apaan sih. Masa nanya hal kayak gini sama aku?” “Masa aku nanya sama Jouvan,” goda Gio sambil terkekeh. “Makanya Kakak nikah, jadi tahu rasanya. Jangan kelamaan jomblo, nanti nggak laku. Apalagi umur kakak udah mau kepala tiga.” Gio menjawil pipi adiknya, “Kamu ya, mentang-mentang udah nikah sok ngasih tahu. Nyebelin.” Gio pura-pura kesal. Rea menangkup wajah Gio dengan kedua tangan, “Jangan kesel. Aku kan mau Kakak punya pasangan yang sayang sama Kak Gio. Ngurus Kakak dengan baik dan nemenin sampai tua.” “Suatu saat pasti aku juga menikah, Rea.” “Oh iya, dengar dari Kak Anya katanya Kak Levia udah balik ke Indo ya?” sedikit banyak Rea tahu tentang Levia. Bagaimana gadis itu meninggalkan Gio karena alasan Gio terlalu perhatian kepada dirinya. Rea sempat menyalahkan dirinya sendiri karena putusnya hubungan Gio dan Levia. Tapi setelah berjalannya waktu, Gio sendiri tidak suka dengan sikap kekanak-kanakan Levia. Gio mengangkat bahunya, “Iya, aku nggak sengaja ketemu di bandara waktu jemput Mama dan yang lain setelah dari Bali” “Terus?” pertanyaan Rea menggantung. Alis pria itu mengkerut, “Terus apa maksud kamu, Re?” “Kak Gio ada komunikasi lagi sama dia? Maksudnya Kak Gio masih punya perasaan sama dia?” tanya Rea hati-hati. Ia tidak ingin kakaknya tersinggung dan salah paham dengan pertanyaannya. Gio mendesah pasrah, kedua tangannya berpindah ke arah belakang menyangga tubuhnya sendiri. “Menurut kamu setelah selama ini dia menghilang, apa yang terjadi sama perasaan aku?” Gio menoleh ke arah adiknya. “Mungkin Kakak udah maafin dia?” Bahu Gio terangkat, “Entahlah. Permainan apa yang Tuhan lakukan sekarang hingga mengirim dia kembali ke hidupku saat aku sudah ingin menata hati dengan orang lain.” “Kak Gio...” Rea menyentuh lengan Gio. “Siapapun orang yang bisa membuat Kakak jatuh cinta lagi, Rea pasti akan dukung.” Gio tersenyum tipis, terharu mendengar ucapan adik sepupunya itu. ~ ~ ~ --to be continue-- *HeyRan*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD