B E. Part 9a

1308 Words
Sera menggeliat pelan, tubuhnya terasa remuk dan tangannya kirinya terasa sakit. Perlahan ia membuka mata, pandangannya masih kabur karena silau lampu. Ia mengerjap beberapa kali untuk menetralkan pandangannya. Menyadari berada di tempat asing, Sera tersentak. Ia ingat kejadian sore kemarin saat sedang ingin membantu mengevakuasi salah satu warga. Setelahnya ia tidak ingat lagi. “Gue di rumah sakit?” pikirnya. Kepalanya berdenyut saat berusaha mengingat kejadian itu. Pandangannya menyapu ke sekeliling ruangan, namun yang pertama ia tangkap adalah sosok yang duduk di kursi sebelah kanan tempat tidurnya. Kepalanya terbenam  di pinggiran kasur dan tangannya menumpu kepalanya sendiri. Sungguh pemandangan yang belum pernah Sera lihat. “Gio,” gumam Sera pelan dengan wajah terkejut terkejut. Walau pun wajahnya tidak terlihat, Sera sangat hafal dengan postur tubuh pria itu. “Kenapa dia bisa ada di sini?” pikirnya. Sera sedikit kesulitan menggerakkan tangan kirinya yang terbalut perban. Tangan kanannya yang berisikan selang infus di pegang oleh Gio. Sedangkan ia ingin minum karena merasa tenggorokannya sangat kering. Ingin membangunkan Gio tapi merasa tidak enak karena Gio tertidur sangat pulas. Tapi Sera juga bingung bagaimana caranya ia mengambil air minum. “Gi...” panggil Sera pelan. Bahkan suaranya terdengar serak. Kepala pria itu perlahan terangkat, matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan dengan terang cahaya lampu. Pandangannya beralih pada wanita yang sedang berbaring lemah di hadapannya. “Sera, kenapa bangun? Ada yang sakit? Lo lapar? Mau minum? Atau mau ke kamar mandi?” semua pertanyaan terlontar begitu saja dari bibir Gio. Wajahnya juga terlihat panik dan khawatir. Sera tersenyum geli, “Gio, lo mau nanya apa mau wawancara sih sih? Gue jadi bingung mau jawab yang mana. Satu-satu dong, Gi.” Entah kenapa Sera merasa hatinya menghangat karena Gio terlihat mencemaskan dirinya. Gio bernapas lega melihat Sera berbicara dengan lancar, setidaknya gadis di hadapannya ini baik-baik saja. Raka benar, Sera memang wanita yang kuat, dan Sera juga benar kalau dirinya tidak selemah itu. Gio melirik jam yang melingkar di tangannya, “Ini masih jam tiga subuh, kenapa udah bangun? Pasti ada sesuatu yang lo butuhkan, kan?” tanya Gio dengan pelan. Sera mengangguk, “Maaf ya, ganggu tidur lo. Tapi gue haus banget. Mau ambil air gue nggak bisa. Boleh minta tolong ambilin minum nggak? Tangan kiri sakit, yang satu lo masih pengang terus dari tadi.” Sera mengedik ke arah tangannya yang masih ada di genggaman Gio. Refleks Gio menarik tangannya sendiri, merasa tidak enak karena menyentuh Sera tanpa izin sejak gadis itu tertidur semalam. “Sory,” gumamnya. “Gi, gue haus banget. Ambilin air,” Sera tidak menanggapi kecanggungan Gio. Ia terlalu haus, sangat haus dan perlu membasahi tenggorokannya. Secepatnya Gio mengambil gelas berisikan air putih di atas meja, kemudian membantu Sera untuk minum. Gio menekan tombol agar bagian atas tempat tidur terangkat naik, hingga memudahkan Sera minum. “Gue bantu lo,” Gio mengangkat tubuh Sera perlahan, membantunya agar bisa sedikit tegak saat minum air. Gio begitu hati-hati mengarahkan gelas pada bibir Sera, membiarkan gadis ini minum hingga habis. “Mau lagi?” tanya Gio ketika gelasnya sudah kosong. “...” Sera menggeleng, kemudian kembali merebahkan tubuhnya. Gio juga duduk kembali di kursi semula. Pandangannya tidak lepas dari wajah Sera. “Lo laper nggak?” tanya Gio. “Kalau gue bilang iya, emang lo mau beliin gue makanan?” “Kenapa nggak?” sahut Gio santai. “Tapi ini jam tiga subuh, mana ada yang jual makanan” cibir Sera. “Jaman udah canggih, bisa liat di aplikasi ada tempat buka atau nggak” “Iya juga sih. Tapi gue nggak laper kok,” jawabnya. “Terus sekarang mau apa?” “Lo kenapa di sini, Gi? Maksud gue kenapa tahu gue di sini?” tanya Sera pelan. “Yakin lo mau tau?” “Gue kan udah nanya artinya ya gue mau tahu,” jawab Sera gemas. Gio tersenyum tipis, “Kemarin gue dateng ke acara ulang tahun Brian. Mas Jeremy bilang lo lagi tugas. Pulang ke rumah gue nonton tv dan ada berita tentang longsor susulan di Sukabumi. Ya gue langsung hubungi lo tapi nggak bisa. Ya paniklah, terus nanya sama Gadis posisi lo di mana. Dan berakhirlah gue di sini,” jelas Gio begitu gamblang, tanpa malu jika Sera menertawakan dirinya karena begitu mengkhawatirkannya. “Gimana ceritanya sampai lo kayak gini? Jangan sok kuat deh, kalau ujung-ujungnya bikin orang lain khawatir. Parah sih lo bikin panik semua orang.” Sera tertegun, walaupun ia pemberani dan cuek ternyata tanpa sadar membuat orang lain cemas. “Eh ponsel gue ke mana ya? Jangan bilang hancur ketiban pohon” “Ponsel lo mati, dibawa sama temen kerja lo. Gue nggak sempat ambil” “Owh gitu. Hampir lupa dan gue nggak sok kuat, Gi. Mana bisa gue pura-pura tutup mata sedangkan nyawa seorang anak lagi dalam bahaya karena keegoisan orang tuanya yang nggak mau mengungsi padahal jelas-jelas posisi rumah mereka udah nggak aman banget” “Terus yang lo lakuin aman?” tanya Gio balik. Sera mendesah lemah, “Awalnya semua berjalan lancar, tapi waktu lo keluar dari rumah tiba-tiba ada suara gemuruh dari atas bukit, cepat-cepat lari tapi bocah itu tertinggal karena orang tuanya panik,” Sera tidak melanjutkan kalimatnya. Gio mengernyitkan alis, “Lalu?” Ragu-ragu Sera melanjutkan, ia mendapat tatapan tajam dari Gio, “Lalu gue gendong anak itu menuju mobil tapi belum sampai mobil, tiba-tiba ada pohon tumbang dan rantingnya menimpa gue sama anak kecil itu” Sera terdiam “Anak itu gimana kondisinya?” tiba-tiba ia panik dan memaksa untuk bangun. Gio segera menahan tubuh Sera agar tetap berbaring, “Anak itu baik-baik saja. Hanya luka memar dan goresan. Apa lo nggak khawatir sama diri sendiri?” Gio berpindah duduk di pinggiran kasur. “Tangan gue patah ya?” Sera menyentuh keningnya “Terus ini jidat gue bocor?” Gio menggeleng ,“Tangan lo luka robek karena kena ranting yang tajam terus pergelangan kaki lo juga luka kayaknya kena dahan pohon yang tajam. Kata Dokter nggak begitu parah kok. Nah yang di kening kena batu lumayan tajam jadi luka terus dijahit. Lo sempat muntah juga makanya lo harus dirawat di rumah sakit takut nanti terjadi gegar otak. Setelah di cek semua aman” Sera menatap curiga, “Kok lo tahu semua?” “Jelas gue tahu kan nanya sama dokter,” jawabnya santai. “Kalau cewek lo sampai tahu lo pergi ke Bandung karena gue, bisa ngamuk tuh.” Sera bergidig ngeri. “Siapa maksud lo?” “Yang ketemu di bandara sama yang lo peluk di parkiran” Gio memutar bola matanya, ia beranjak dari sisi tempat tidur. “Dia mantan gue, dan kami putus udah lama banget. Jadi udah jelas kan, jangan mikir lagi kalau orang itu pacar gue. “Oh gitu. Tapi kalian serasi kok, mending balikan aja” Sera tidak bohong. Ia memang melihat Gio dan Levia sangat serasi. “Jangan urusin hidup orang, Ser. Mending pikirin gimana caranya biar kondisi lo cepat pulih. Gue udah urus semua, besok kita pindah rumah sakit di Jakarta saja” “What?” seru Sera terkejut. “Kenapa? Mau di sini sampai sembuh?” “Kok lo ambil keputusan nggak nanya sama gue dulu?” protes Sera. “Lo mau semua orang yang mengkhawatirkan lo datang jauh-jauh ke sini?” Sera mengerucutkan bibirnya, ia hampir lupa menanyakan apakah keluarganya tahu atau tidak “Mereka semua tahu? Opa dan Oma tahu?” tanya Sera khawatir. “Lo tenang saja, hanya Mas Jouvan dan Mas Jeremy yang tahu. Besok kalau lo udah pindah ke Jakarta baru kita kasih tahu yang lain,” ucap Gio tenang. Ia tidak ingin membuat Sera berpikir dengan reaksi keluarganya. Sera mendesah pelan, “Gi, makasih ya udah peduli sama gue. Entah kenapa lo selalu ada di saat gue lagi susah. Padahal gue nggak berharap lo terlibat lebih banyak dengan kehidupan gue terutama yang berhubungan dengan kesusahan gue ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD