EDISI 3

1589 Words
Tivana pov Sepertinya akhir-akhir ini Alvaro sedang banyak kerjaan. Ia sering lembur hingga pulang larut malam. Terkadang aku tak sanggup menungguinya, aku tertidur sebelum ia datang. Namun aku selalu tahu saat ia datang. Saat ia merebahkan diri di sampingku, aku bisa merasakan kehangatan dari tubuhnya. Bau sabunnya yang khas menyapa indra penciumanku. Aku suka aromanya. Kemudian Alvaro memeluk dan mencium bibirku pelan seakan takut membangunkan aku. Padahal kehadirannya saja sudah membuatku terbangun dari lelapku. “Ehmm…” tak sadar aku menggumam. “Apa aku membuatmu terbangun, Darling?” tanyanya lembut. Aku membuka mataku dan melihatnya menatapku penuh cinta. “I miss you,” ucapku spontan. Ia terkekeh geli. “Baru saja kita berpisah tadi pagi dan kau sudah merindukanku?” godanya. Aku merajuk mendengarnya. “Akhir-akhir ini kau selalu sibuk, Al. Aku…kesepian.” Dia terdiam mendengar keluhanku. Aku menyambungnya lagi. “Aku jenuh, Al. Dan tak tahu mau berbuat apa. Bolehkah aku ikut kamu ke kantor?” “Tidak,” ia menolak tegas, ”aku tak bisa membiarkan lelaki lain menatapmu penuh minat saat aku sibuk dengan kerjaanku. Dan terutama kalau ada kau disampingku, aku tak bisa konsentrasi bekerja, Darling.” Ia menyeringai aneh tapi tetap saja terlihat tampan di mataku. Ah, dia memang tampan sekali. Wajahnya terpahat indah seperti patung dewa Yunani. “Mengapa, Al? Ayolah, aku tak akan mengganggumu,” bujukku padanya. “Darling, kehadiranmu saja sudah membuatku terganggu. Membuatku membayangkan yang m***m-m***m tentang dirimu!” ia terkekeh lagi. Wajahku merona mendengar perkataannya. Bila aku membuatmu b*******h seperti itu mengapa kau tak pernah ‘menyentuhku’, Al? Cup. Ia mengecup bibirku gemas. “Al, bagaimana kalau…” Cup. Cup. Ia mengecup bibirku dua kali. “Al, aku mau…” Cup. Cup. Cup. Ia mengecup bibirku lagi untuk yang ketiga kalinya. Duh, dia menggodaku terus-menerus! “Al…” Saat ia akan mengecup, aku menahan bibirnya dengan tanganku. “Dengarkan aku dulu. Bolehkah aku mencari kegiatan rutin di luar rumah?” “Dan membiarkan lelaki lain mengagumimu saat aku tak ada disampingmu? No way, Darling!” katanya ketus. “Ayolah, Al. Aku janji tak akan macam-macam diluar. Ayolah, Sayang..” Cup. Kukecup bibirnya satu kali. “Kamu merayuku? Tidak akan kuijinkan, Darling. Meski aku percaya padamu tapi aku tak percaya pada lelaki lain,” ujar Al sewot. “Aku tak akan memberi kesempatan pada mereka. Aku milikmu seorang.” Cup. Cup. Kukecup bibirnya dua kali. Ia mulai melunak. “Yah, tapi aku tetap tak suka mereka mengagumi istriku dan menatapmu dengan pandangan lapar.” Cup. Cup. Cup. Kukecup bibirnya tiga kali. “Kamu yang memilih, Sayang. Aku ikut kursus fotografi, kursus desain….” “Cooking class!” dia memutuskan dengan cepat. “Ah, cooking class ya?” aku kecewa sekali dengan pilihannya. Itu bukan aku banget kayaknya. “Ya atau tidak?!” tegasnya tak dapat ditawar. Aku mengangguk pasrah. Yah, daripada jenuh seharian di rumah. “Dan pastikan semua pesertanya perempuan. Instrukturnya juga,” ia memberi syarat yang tak dapat dibantah. Lihat, betapa posesifnya ia padaku! Tak sadar aku mencebik padanya. Ia mengacak rambutku dengan gemas. “Ini baru istriku yang patuh dan manis,” katanya semanis madu lalu melumat bibirku. Aku meleleh dibuatnya, ciuman Al begitu menggoda. *** Kebetulan Kak Ardian meneleponku, aku pun menanyakan tempat cooking class yang representatif bagiku. “Ada sih dekat kantorku. Satu gedung. Kantorku di lantai limabelas, tempat kursus itu di lantai lima. Kenapa, Tiv?” “Aku…ehm, mau mendaftar.” “Hah? Gak salah, Tiv? Itu bukan kamu banget.” Kak Ardian tertawa geli. Tawanya terdengar merdu sekali di telingaku hingga membuat hatiku terasa hangat meski ia menertawaiku. “Jadi yang aku banget itu seperti apa?” tanyaku memancing. “Yah, seperti kursus fotografi, kursus desain.” Sepertinya Kak Ardian betul-betul mengenalku dengan baik. Aku menghela napas dengan kesal. “Yah ini bukan kehendakku. Suami..ehm Alvaro mengijinkanku hanya ikut kursus masak, itupun pesertanya harus cewek semua, instrukturnya juga harus cewek.” Sejenak Kak Ardian terdiam di ujung sana. “Hallo..?” tanyaku memastikan keberadaannya. Kudengar ia menghela napas berat. “Aku memahaminya. Bila diberi kesempatan lagi, aku juga akan melakukan hal yang sama supaya tidak kehilanganmu.” “Maksud Kakak apa?” tanyaku dengan hati berdebar. Dia menarik napas lagi. Aku dapat merasakan kepedihan didalamnya. Kasihan Kak Ardian. “Aku pernah bertunangan dan kami hampir saja menikah sebelum lelaki itu merebutnya dariku!” Dia terluka. Entah mengapa aku dapat merasakannya. Luka yang sangat dalam. “Mengapa Kakak tidak merebutnya kembali?” ucapku menyemangatinya. “Tak bisa,” Kak Ardian berkata pilu, ”dia sudah menikah dengan pria itu.” Aneh, kenapa airmataku meleleh mendengar cerita Kak Ardian? Ia pasti sangat mencintai mantan tunangannya itu! “Betapa bodohnya wanita itu meninggalkan lelaki sebaik dirimu, Kak,” kataku mencemooh. Sejenak Kak Ardian terdiam mendengar ucapanku. Kemudian ia berkata pelan, “sampai kini bahkan ia tak menyadari kesalahannya.” Huh, terkutuklah wanita itu! *** Hari-hari berjalan dengan cepat.. Aku menjalani aktivitasku dengan semangat. Ternyata kursus memasak tak begitu membosankan seperti bayanganku semula. Mengasyikkan juga. Apalagi saat mempraktekkannya di rumah, Alvaro terlihat sangat menikmati hasil masakanku. Sampai ia minta nambah-nambah terus lho. Padahal kurasa aku belum terlalu ahli. Hehehehe.. Saat ini acara Cooking class adalah kegiatan yang amat kunantikan. Aku mulai suka memasak dan mencoba resep-resep baru bersama teman-teman kursusku. Saat jam makan siang, Kak Ardian sering mendatangiku lalu mengajakku makan siang bareng. Belakangan ini kami semakin dekat saja. Aku merasa nyaman berada disampingnya. Aku selalu berharap bisa sering menemuinya, bahkan kadang ada kekecewaan bila dia tidak datang menemuiku. Ada apa dengan diriku? Bukannya aku sudah bersuami? Mengapa aku bisa memikirkan pria lain? Aku bingung dan merasa bersalah pada Alvaro. Apalagi belakangan ini aku sering memimpikan Kak Ardian. Dalam mimpiku seakan-akan kami sedang bertunangan, kami saling mencintai, dan bahkan aku pernah memimpikan berciuman dengannya! Oh Tuhan, mengapa aku memimpikan pria lain seperti itu! Aku sungguh malu dan frustasi. Apa ini karena sudah lama aku dan Alvaro tak berhubungan intim sehingga hubungan batin kami juga merenggang? Mungkin itu sebabnya hingga aku sampai memimpikan pria lain! Perasaan bersalahku makin menebal, ini tak bisa dibiarkan terus menerus! Akhirnya kuputuskan, aku harus menunaikan kewajibanku sebagai istri pada Alvaro supaya aku bisa menghilangkan bayangan pria lain dalam mimpiku. Dan aku ingin melakukannya dalam momen khusus. Kuajak Alvaro berlibur ke villa kami, hanya kami berdua. Awalnya Alvaro menolak, dia beralasan sedang banyak kerjaan. Aku merajuk, sengaja kudiamkan dia. Rupanya ia tak tahan juga hingga akhirnya ia menyetujui permintaanku. Dan disinilah kami, berduaan saja di tempat yang begitu indah dan sejuk. Seharusnya kami bisa bersantai duduk berduaan di sofa depan TV, tapi Alvaro malah asik dengan ponselnya. Teleponnya berdering tak henti-henti dan ia terus bicara dengan entah siapa itu. Tentang apalagi kalau bukan urusan pekerjaannya. Uh, dengan kesal aku naik ke pangkuannya lalu merebut ponselnya dan mematikannya segera. “Apa yang kau lakukan, Darling?” ia bertanya dengan suara sehalus sutra namun mengandung sedikit ancaman. Namun itu tak membuatku takut sama sekali. Aku menaruh ponselnya dalam saku gaunku. Alvaro berusaha merebut ponselnya. Jadinya kami berebut seperti anak kecil. mendadak dia menindih tubuhku dan kini kami saling bertatapan secara intens. Betapa tampan suamiku ini! Aku menatapnya sambil menahan napasku. Mengapa aku tak pernah mensyukuri hal ini? Alvaro mendekatkan bibirnya padaku dan aku memejamkan mataku. Bibirnya terasa hangat saat menyentuh bibirku dan melumatnya. Kunikmati ciuman kami dengan hasrat bergelora. Kali ini kuberanikan diri untuk bertindak lebih agresif. Kulepas kancing tshirt yang dikenakan Alvaro dengan tangan gemetar. “Apa yang kau lakukan, Darling?” dia menghentikan gerakan tanganku. “Kau tahu, kau bisa membangunkan macan tidur bukan? Jangan memulai sesuatu yang belum tentu dapat kau tuntaskan,” kata Alvaro dengan suara serak. “Aku…aku..aku rasa..aku sudah siap, Al. Untuk itu,” jawabku dengan pipi merona. Dia menatapku penuh selidik. “Kau berul-betul menginginkannya, Darling?” Aku mengangguk mengiyakan, pipiku terasa makin panas. “Kecuali…bila kau tak menginginkanku lagi, Al.” “s**t!! Aku menginginkanmu, Darling! Sangat menginginkanmu hingga aku hampir gila menahan hasratku. Selama ini aku sengaja menenggelamkan diri dalam pekerjaan untuk mengalihkan pikiranku darimu.” Aku terpana mendengar penjelasannya. “Lalu mengapa selama ini kau tak pernah…menyentuhku?” “Karena aku tak ingin setelah kita melakukannya lalu kau akan menyesalinya,” ucap Al sungguh-sungguh. “Mengapa aku harus menyesalinya? Kau suamiku kan?” tanyaku heran. Dia menatapku lembut lalu mengelus rambutku. “Karena ingatanmu belum kembali. Aku ingin kita melakukannya setelah kau dapat mengingat segalanya, termasuk diriku!” Ah, itu terlalu lama dan tak dapat dipastikan kapan akan terwujud. “Aku tak akan menyesalinya, Al. Kau kan suamiku. Aku tak mungkin menikahimu tanpa cinta. Aku cinta padamu!” Kalau tak melakukannya sekarang justru aku akan menyesalinya. Aku harus melakukannya sebelum bayang-bayang Kak Ardian menguasai benakku! Aku tak ingin mengkhianati janji suci pernikahanku. “Kau sungguh tak akan menyesalinya? Apapun yang terjadi?” tanyanya lembut. Aku mengangguk tegas. Aku harus meyakinkannya segera sebelum keberanianku hilang. “Jadi kau rela dan tulus hati memberikan hartamu yang paling berharga untukku?” Aku mengangguk lagi, kemudian aku menyadari sesuatu. “Apa?! Jadi kita….kita tak pernah…begituan??” mendadak aku jadi salting dengan suamiku sendiri. “Yupp. Kita baru saja menikah, baru akan honeymoon lalu kecelakaan itu terjadi. Kau koma. Setelah itu kau sadar dan tahu sendiri kan kelanjutannya.” Al pasti menderita! Sejak kami menikah dia tak pernah mendapatkan haknya dan dia tak pernah menuntutnya padaku! Sepertinya aku ini istri yang durhaka. Bukannya menunaikan kewajibanku, aku justru asik memikirkan pria lain! Rasa bersalahku semakin menebal. “Lakukan sekarang, Al. Aku rela,” kataku malu-malu. Mata Alvaro berbinar-binar mendengar permintaanku. Tanpa membuang waktu, ia menggendongku ala bridal dan membawaku ke kamar. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD