EDISI 2

1128 Words
Tivana pov Alvaro menggendongku hingga ke tempat tidurku, ia merebahkanku dengan perlahan lalu menyelimutiku hingga membuatku merasa hangat dan nyaman. “Good night, My Love.” Ia mencium keningku lembut kemudian beranjak hendak meninggalkanku. Aku menahan tangannya. “Mau kemana, Al?” “Aku mau tidur di sofa.” Kulirik sofa di kamarku yang rasanya ukurannya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Pasti tak nyaman baginya tidur disana. “Bagaimana kalau kau tidur di sampingku saja?” Aku bergeser kesamping untuk memberinya ruang agar ia bisa tidur disebelahku. Ia menatapku ragu. “Are you sure?” tanyanya sambil mengerutkan dahinya. “Tentu Alvaro, pasti tak nyaman bagimu tidur di sofa yang kecil itu. Lagipula kau suamiku, kan? Apa salahnya kita tidur seranjang?” “Yah, aku suamimu.” Ia berbaring di sampingku. Kini tempat tidurku terasa penuh dan hangat. Aku memeluknya dan meletakkan kepalaku di dadanya. Ia balas memelukku dan mengelus-elus rambutku dengan lembut. “Mengapa tadi kau berpikir untuk tidur di sofa? Kau tak ingin tidur bersamaku? Kau tak merindukanku setelah aku…ehm koma selama satu bulan?” tanyaku menyelidik sambil menatap manik matanya. Baru kusadari warna manik matanya abu, indah sekali. Dia balas menatapku. Entahlah apa yang dipikirkannya, sorot matanya misterius sekali! “Aku merindukanmu, Tiv. Sangat merindukanmu. Tapi kamu baru saja tersadar setelah koma satu bulan. Aku tak ingin menyakitimu.” “Mengapa kau bisa menyakitiku? Aku tak paham.” Dia tertawa terkekeh. “Istriku yang polos, apa kau tak tahu bagaimana perilaku pria yang telah memendam hasrat kerinduan selama satu bulan? Khawatirnya, secara tak sadar aku dapat menyakitimu.” Pipiku memanas mendengar penjelasannya. Oh, apa ia mengira aku telah memancingnya untuk melakukan ‘itu’? Alvaro mengelus pipiku lalu bibirnya mendekati bibirku. “Sementara ini kurasa kita harus puas dengan ini saja…” Ia mencium bibirku dengan hati-hati lalu melumatnya penuh gairah. Aku tersentak bagai tersengat listrik! Mengapa aku seakan baru merasakan ini bersamanya? Apa kami jarang berciuman? Atau bahkan belum pernah! Sepertinya tak pernah, firasatku mengatakan itu. Tapi, tapi, kami kan telah menikah! Bagaimana bisa melakukan ‘itu’ tanpa berciuman? Apa ia tak suka berciuman? Karena kalau aku, sepertinya aku sangat menikmati ciuman kami. Kubalas ciumannya dengan gairah yang sama hingga kami kehabisan pasokan oksigen. Ia melepaskan ciuman kami. “Enough, Darling. Kamu nakal sekali! Jangan membangunkan macan tidur. Apa kamu bisa tanggung jawab kalau si junior bangun dan kelaparan?” Matanya berkilat menahan nafsu, membuatku makin malu dan malu. “Maaf Al, aku tak terpikir kearah sana.” “Baiklah, mari kita tidur. Have a nice dream, My Love.” Sekali lagi ia menutup salam pengantar tidurnya dengan mengecup keningku lembut. “Night, My Love,” balasku mesra. Kurasakan tubuhnya sedikit menegang mendengar ucapanku. Kemudian ia mendesah pelan. *** Seminggu kemudian kami pindah ke rumah Alvaro. Kurasa itu bukan rumah, lebih mirip istana. Besar dan megah sekali! Jujur, aku tak menyangka suamiku sekaya ini. Apa pekerjaannya? Siapa saja keluarganya? Kini kusadari aku tak mengerti apapun tentang dirinya! Yang kutahu hanya ia mencintaiku dan tergila-gila padaku. Hampir dalam setiap kesempatan yang ada ia memeluk dan menciumku dengan mesra. Yah hanya begitu aja sih, karena ia merasa fisikku belum terlalu fit untuk melakukan ‘itu’. Tapi aku jelas merasakan gairah tersembunyi setiap ia menciumku. Aku tahu ia menginginkanku, hanya saja mungkin ia sengaja menekan hasratnya karena kesehatanku belum pulih. Betapa ia sangat memperhatikan kepentinganku kan? “Inilah kamar kita, Sayang.” Alvaro menunjukkan kamar yang akan kami tempati. Kamar kami sangat luas, mewah dan interiornya sangat maskulin. Banyak didominasi warna hitam dan putih. Pasti bukan seleraku hingga aku merasa asing dengan kamar ini. “Al, sepertinya kau tak pernah membawaku kemari.” “Yupp. Setelah menikah kita langsung pergi bulan madu dan kita dalam perjalanan bulan madu saat kau mengalami kecelakaan mobil itu. Jadi aku belum sempat membawamu kemari.” “Lalu sebelum kita menikah…ehm, apakah kau tak pernah membawaku kemari?” Dia terkekeh mendengar pertanyaanku. “Apakah kau tak mengenal dirimu sendiri, My love? Kau itu kan kolot sekali! Kau tak mau melakukan hubungan seks sebelum kita menikah. Makanya aku tak pernah membawamu kemari.” Ya itulah aku, meski lupa ingatan aku tahu pasti diriku seperti yang digambarkannya. “Al, bagaimana kita bertemu? Aku tak dapat mengingatnya sama sekali.” Alvaro termenung, ia seperti mencoba membayangkan pertemuan kami lagi. “Pertama kali aku melihatmu….kurasa aku langsung jatuh cinta padamu. Kau begitu polos, ramah dan lembut, bagaikan malaikat. Tiv, kau membuatku tersentuh, membuatku merasakan arti dibutuhkan seseorang yang kita cintai. Dan semakin hari aku semakin mencintaimu.” Perasaanku bergetar saat Al mengungkapkan perasaannya. Sedalam itukah cintanya padaku? “Setelah itu kita menikah?” “Ya setelah itu kita menikah, dalam waktu yang sangat singkat!” *** Siang ini aku membawa Bik Yem, pembantu kami, berbelanja di supermarket. Sebenarnya Alvaro melarangku berbelanja di supermarket, tapi aku memaksa ikut karena aku sudah jenuh sekali berada di rumah sepanjang hari! Akhirnya setelah kurayu, Al mengijinkanku ikut berbelanja bersama Bik Yem dan Pak Kimas supir kami. Aku sedang asik memilah-milah belanjaan ketika menyadari ada seseorang yang menatapku dengan pandangan aneh. Dan saat menoleh kesamping, aku melihatnya. Kak Ardian, ia teman dekat kakakku yang sudah meninggal kan? Aku tersenyum ramah padanya. “Hallo, Tiv. Belanja sendirian?” sapa Kak Ardian. “Hai, Kak. Aku belanja dengan Bik Yem. Dia lagi memilih sayuran disana.” “Ehm suami…mu ikut?” tanyanya dengan nada aneh. “Enggaklah, Kak. Dia kan sedang kerja sekarang. Mana ada waktu nemenin istri belanja?” “Dia tak takut istrinya diculik orang?” goda Kak Ardian, “Ah, Kakak! Siapa sih yang mau menculik orang jelek begini,” balasku manja. Olala, mengapa aku merasa sudah terbiasa bermanja ria dengan Kak Ardian? Masa iya dulu aku tipe cewek centil yang suka godain cowok? Rasanya bukan! Tapi mengapa dengan Kak Ardian aku merasa dekat sekali? Mungkin karena ia sahabat kakakku atau aku sudah menganggap ia pengganti kakakku yang telah meninggal. Mungkin itu alasannya. “Bagaimana kalau aku yang menculikmu? Bagiku kau adalah wanita tercantik dari semua yang ada disini,” Kak Ardian menggodaku lagi. “Ada-ada aja, Kak.” Kucubit pinggangnya gemas. Deg! Aku terkejut menyadari sikap agresifku. Ingat, Tiv. Kamu sudah bersuami, batinku mengingatkan. “Tiv, boleh aku meminta nomor hapemu? Mamamu tak berani memberikannya padaku, katanya suamimu melarangnya.” Hah?! Masa Alvaro begitu protektifnya terhadapku? Ngapain juga dia cemburu sama kak Ardian? Tanpa ragu kuberikan nomor hapeku pada Kak Ardian dan ia berjanji akan menghubungiku lagi. Ia harus pergi karena kliennya sudah menunggunya. Kak Ardian memang tak suka membiarkan orang menunggunya. Nah, bagimana bisa aku mengetahui pasti fakta ini? Heran, mengapa aku lebih mengenal pribadi pria lain daripada suamiku sendiri? Aku jadi bingung dan mencoba mencari jawaban pertanyaanku. Namun kepalaku jadi pening memikirkan hal ini. Stop Tiv, jangan mencoba mencari ingatanmu lagi! Kamu belum siap, benakku mengingatkan. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD