YM ~ Dilara Violetta Pahlevi

1505 Words
Senja sudah lama usai. Berganti dengan lantunan ayat ayat Kitab suci dari rumah rumah Ibadah. Menciptakan suasana syahdu dengan kegelapan malam yang membentang dari ujung ke ujung. Dilara segera membuka pintu setelah mendengar ketukan dari luar. Lalu tersenyum kala melihat Zaine berdiri di depan pintu rumahnya dengan rambut berantakan dan sedikit basah. Sesuai kesepakatan. Zaine datang lima menit sebelum gemericik hujan kian deras. Membuat tampilan rapinya sedikit kusut karena harus berlari dari halaman menuju kediaman mewah rumah Dilara. Meski berjarak cukup dekat, namun itu mampu membuat tetesan hujan membasahi rambutnya. Dilara mengangkat tangannya, merapikan rambut Zaine penuh perhatian hingga tanpa sadar mampu menampakan senyum yang mengembang dari bibir Zaine. Merasa di perhatikan, Dilara buru buru menarik tangannya kembali dengan kecepatan cahaya. "Kenapa?" Dilara bertanya lirih, dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Menutupi rasa gugup saat wajahnya memerah kala Zaine menatapnya tanpa berkedip. Zaine menggelengkan kepala. "Apa aku belum mengatakan jika kamu.. sangat cantik?" "Kamu.." Dilara menghentikan kalimatnya. Membuat Zaine mengerutkan kening, menunggu kata selanjutnya yang akan gadisnya katakan. Dilara menggigit bibirnya, "kamu.. basah." Ucapnya seraya menarik tangan Zaine agar mengikutinya. Malu malu. Zaine menghembuskan nafas panjang. Gadisnya sangat pemalu dan mudah tersipu saat dia mengucapkan kata kata manis. Membuatnya kian gemas saat di hadapkan wajah memerah gadis kesayangannya. Namun, di balik keluguan Dilara, juga menyimpan rasa hangat kala Dilara acapkali berinisiatif untuk menciumnya lebih dulu. Zaine mengikuti gadis itu dengan patuh. Seperti anjing yang mendapatkan tulang, seperti itulah dia kala bersama Dilara. Tidak bisa menolak ataupun berkata tidak. Dilara meminta Zaine untuk duduk di atas sofa dengan isyarat mata. Zaine mengangguk. Setelah merasa puas karena Zaine menurutinya, dia berbalik dan hendak melangkah pergi sebelum tangan Zaine meraih pergelangan tangannya. Dilara menoleh dan menatap wajah tampan Zaine yang menepuk sofa, meminta agar Dilara duduk saja. "Aku nggak apa apa." Ucapan Zaine membuat Dilara tersenyum. Dia tau jika maksud Zaine adalah agar dia tidak perlu repot melakukan apapun. Dia hanya perlu duduk di samping Zaine, dan itu sudah cukup. "Aku datang ke sini, nggak untuk membuatmu repot, aku cuma.. merindukanmu." Zaine berucap santai setelah mendapati Dilara duduk dengan anggun di sampingnya. "Kamu.." Dilara menjeda kalimatnya. "Berhenti menggodaku. Kamu membuat aku malu." Ucapnya seraya menyembunyikan wajahnya pada lengan Zaine. Hanya mereka berdua yang duduk di ruang tamu. Sangat mesra hingga mampu membuat orang lain yang melihatnya akan iri. Dilara sangat bahagia saat bersama Zaine. Bersama seorang pria tampan yang telah menjalin kasih dengannya sejak SMA. Bersenda gurau dengan alasan belajar adalah alasan yang selalu Dilara gunakan untuk membuat Mama dan Papa berhenti mengkhawatirkannya. Lagi pula, dia juga sudah dewasa. Dia sudah bisa membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta tampan dan jelek. Setidaknya.. Zaine adalah pria berwajah tampan yang kaya raya. Jadi sudah seharusnya, Zaine menjadi calon ME-NAN-TU IDA-MAN untuk Mama yang selalu menginginkan pria yang baik untuknya. Tentu saja, tampan dan kaya adalah bonus. Dia sangat mengerti jika Mama selalu ingin dia mendapatkan pasangan yang terbaik. Tampan, mapan, baik, bertanggung jawab, dan kaya. Sederet kriteria ideal di mata Mama dan Papanya. Mungkin bukan hanya orang tuannya yang menginginkan menantu seperti itu, tapi.. semua orang tua juga demikian. Tapi, inti dari semuanya adalah Mama ingin dia lebih berhati hati dalam memilih pasangan. Memilih pasangan tidak semudah memasukan kue ke dalam oven, tapi lebih dari itu. Seperti membeli kucing dalam karung. Kita tidak benar benar tau watak seseorang meski sudah bertahun tahun mengenalnya. Dilara menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang sangat indah dan mahal. Adalah pemberian Zaine sebagai tanda jika mereka saling mencintai dan saling mengasihi satu sama lain. Meski Dilara sendiri bukanlah gadis yang materialistis, bukan juga gadis yang mengatas namakan uang di atas segalanya, namun, dia tidak memungkiri jika mempunyai pacar kaya adalah hal yang luar biasa. Saat dia menginginkan sesuatu, dan Zaine selalu mengabulkannya, maka itu adalah kebahagian sederhana yang akan membuatnya berdiri di atas tebing untuk meneriakkan 'l love you, Zaine' sekeras kerasnya. Kebahagiaannya semakin lengkap saat semua orang mengatakan jika dia dan Zaine adalah pasangan yang serasi. Bukan hanya secara rupa, secara watak dan secara financial mereka juga sangat cocok. Ibarat sepasang sepatu yang orang orang kenakan. Jika dia sepatu untuk kaki sebelah kanan, maka Zaine adalah sepatu untuk kaki sebelah kiri. Membuat bunga bunga bermekaran di dalam hatinya. "Sayang.." Zaine membelai kepala Dilara. Membuat Dilara terkejut saat mendengar suara Zaine kala memanggilnya sayang. Membuyarkan lamunan panjang dengan seribu bayangan tentang cinta yang menghantuinya. Perasaan cintanya benar benar dalam kepada Zaine. Tidak akan goyah dan tidak akan berubah sampai kapanpun. Dilara melepaskan pelukannya, tersenyum canggung. Entah sudah berapa lama dia memeluk Zaine, dia bahkan tidak menyadarinya. Mencoba tidak peduli, Dilara memutar bola matanya. Lalu melihat jam yang sudah menunjukan pukul tujuh malam. Adalah waktu yang tepat untuk para Iblis datang dan mengacaukan segalanya. Dilara menghembuskan nafas panjang. Mencoba menenangkan dirinya. Merapalkan beberapa doa yang sekiranya bisa menangkal kesialan saat para Iblis menerobos masuk ke dalam rumah. "Stt..." Dilara yang mendengar sayup sayup suara mobil dari arah halaman, segera meminta Zaine untuk diam dan meminta pria itu untuk membaca doa sebagai gantinya melalui telepati sebagai kode. Jika memungkinkan, rapalan doa harus di lakukan dengan khusuk. Zaine mengangguk seraya mengulas sebuah senyum saat melihat tampang menggemaskan Dilara yang memintanya untuk diam. Dia tau jika Dilara mungkin tidak suka saat kebersamaan mereka di ganggu oleh makhluk jadi jadian sejenis siluman. "Ra.." Teriakan nyaring itu membuat Dilara dan Zaine menoleh ke arah sumber suara dengan kompak. Dimana Leo dan beberapa teman temannya memasuki rumah dengan gaya preman berwajah b******n. Dilara tersenyum simpul. "Tuhkan, apa aku bilang. Setannya nongol juga." Bisiknya pelan kepada Zaine. Tentu saja dia tidak berani mengatakan ini di depan Leo. Meskipun Leo adalah Kakak kandungnya, namun Leo adalah anak Mama yang sesungguhnya. Bajingan itu akan mengadukan banyak hal kepada Mama jika dia sampai mengatakan kata kata tidak berakhlak kepada pria menyebalkan itu. "Ada apa, Kak??" Setelah sekian detik, Dilara menyahut juga. Itupun dengan nada malas dan suara tidak ikhlas. Dia benar benar tidak suka di ganggu, namun.. tidak tau apa dosanya hingga Leo masih bersikeras mengganggu tanpa ada niat untuk menghentikannya. "Lo berdua naik dulu, nanti gue nyusul." Perkataan Leo membuat Brian dan Bayu melenggang pergi menuju lantai dua. Kemudian Leo mendudukkan dirinya di tengah di antara Dilara dan Zaine. Membuat Dilara mendengus kesal. "Mama mana?" Tanya Leo setelah siluet kedua sahabat baiknya benar benar tidak tampak lagi. "Mama sama Papa berangkat ke Medan." Dilara menjawab cepat. "Hah!!" Leo menaikan sebelah alisnya, "kapan? Kok gue gak tau??" "Berangkat tadi sore." Dilara menoleh ke arah Leo. "Serius Kakak gak tau??" Leo mengangguk, lalu mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V. "Suer di samber gledek, gue kagak boong." Dilara menggelengkan kepala dengan prihatin. "Aish.. wajar aja kalo Kakak nggak tau, soalnya.. kerjaan Kakak ngelayap mulu sih, jadi.. nggak tau kabar apapun tentang situasi Rumah." "Yee.." Leo memberikan sentilan anti kebodohan pada dahi Dilara, membuat Dilara meringis kesakitan. "Apaan sih, Ra? Siapa juga yang kelayapan?" Leo menambahkan. "Iya, Kakak gak kelayapan, cuma main aja, iya kan?" Dilara berujar pasrah. Dia enggan berdebat dengan Leo di depan Zaine. Itu bisa menurunkan kredibilitasnya sebagai gadis baik baik. "Sialan!" Leo mengumpat. Namun, sedetik kemudian ekspresinya kembali seperti semula. "Mama perginya berapa lama?" "Paling lama tiga hari." Dilara merapatkan dirinya pada tubuh Leo. "Kak.." Panggilnya dengan suara kemayu nan manja. Leo tercengang. "Kenapa??" Jika Dilara sudah bertingkah seperti ini. Pasti ada udang di balik batu. "Aku mohon, Kakak pergi kemana gitu? Nginep di Rumah Kak Brian, Ke rumah Bibi di Bandung, atau kemana aja.. boleh. Semakin jauh semakin baik." Dilara meminta Leo untuk pergi secara paksa. "Maaf, pengajuan pengusiran lo gue tolak!!" Leo beranjak. "Kalo Angga datang, suruh dia naik ke atas!!" Ujarnya ketus seraya melenggang pergi menaiki anak tangga ke lantai dua. "Dih, dasar." Dilara merapatkan dirinya pada tubuh Zaine. "Nggak usah di pikirin ya, Yang. Leo emang gitu. Suka nindas aku, huh.. bikin aku sebel." Tambahnya seraya mengerucutkan bibir. "Biar nggak sebel, mau aku cium??" Tawaran Zaine membuat Dilara tersipu malu. Apa Zaine tidak bisa berinisiatif untuk menciumnya secara langsung tanpa bertanya lebih dulu? Membuatnya semakin malu saja. "Sini!" Melihat wajah Dilara memerah, Zaine segera menarik Dilara ke dalam pelukannya. "Peluk aja." "Tapi, aku maunya di cium." "Ya udah, sini aku cium." Cup.. Zaine mengecup dahi Dilara. "Bukan di situ, tapi di sini!!" Dilara menyentuh bibirnya sendiri. Meminta agar Zaine tidak mengecup dahinya, melainkan mencium bibirnya. Zaine memegang tengkuk Dilara, lalu menanamkan ciuman pada bibir gadis itu. Membuat Dilara terkejut, namun beberapa saat kemudian, gadis itu membalas ciumannya. Ciuman lembut yang semakin lama semakin intens. Membangkitkan semangat mereka untuk berbuat lebih. Apa lagi saat Dilara melingkarkan tangannya pada leher Zaine, membuat suasana panas kian menggairahkan. Tangan nakal Zaine bahkan mulai meraba paha Dilara, membelai dan mengusapnya secara perlahan. "DILARA!!" Suara keras itu sontak menghentikan kegiatan pertukaran saliva yang terjadi antara dia dan Zaine. Sembari menahan kecanggungan, Dilara menggaruk tengkuknya dan menoleh ke arah sumber suara. Sesaat kemudian, Dilara menarik nafas lega. Dia bersyukur karena itu hanya Angga. Bukan Leo yang tiba tiba turun, atau Papa yang tiba tiba pulang. Setidaknya.. kecanggungan itu tidak benar benar canggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD