11| Scientist I The Crimson Charm

1191 Words
Warnanya merah tua pekat bagaikan darah, pemandangan ini tidak bisa mengalihkan perhatian mata Firio. Rambut itu— sungguh menggoda, membakar sisi buas dalam dirinya, benar-benar cocok bersanding dengannya, membara seperti api. Hingga sampai di reruntuhan tumpukan elektronik, dia masih betah melihat itu, rasanya tak bisa menahan diri lagi. Namun sayang, wajah si pemilik rambut itu masih ingin dia peluk sekaligus cabik. Kade sengaja menjatuhkan Theresa tepat di depan pintu. Dia menggeram pada wanita itu seperti sedang menggerutu. “Jangan menurunkanku seenakmu!” Theresa membersihkan diri dari debu. Dia mulai terbiasa dengan tingkah hewan Firio ini. Firio langsung memarahinya, “jangan memerintah saudaraku. Kalaupun dia ingin melemparmu, itu haknya, kau terlalu berisik, banyak bertingkah dan mencengkram bulu lehernya terlalu kasar.” “Haknya kau bilang?” Theresa melotot. “Manusia macam kau ini?” “Manusia dari distrik buas,” bisik Firio sambil membuka pintu bangunan rusak itu, lalu masuk ke dalam tanpa peduli pada omelan si rambut merah itu. Theresa masih menggerutu di belakangnya. “Aku heran mengapa bisa menyukaimu—” “Kau menyukaiku?” tanya Firio berbalik cepat, kaget sekaligus penasaran sampai-sampai mengerutkan dahi. “Ti—dak, maksudku diriku yang lain— yang memang pada dasarnya aku, tapi bukan aku,” bantah Theresa terbata-bata, tak berani menatap langsung mata Firio. Dia tak ingin terjebak di lingkaran pupil hitam yang berbahaya lagi. Matanya berputar ke semua arah, meja usang, alat-alat elektronik usang, dan kerangka robot-robot terbengkalai yang pernah ia lihat, intinya jangan sampai ke wajah pria serigala ini. Firio meliriknya. “Oh iya?” Theresa malah menhinidr, “kenapa? Kau berharap aku mengukaimu? Mana mungkin—” “Teori multisemesta mengatakan, kau akan bertemu dan jatuh hati pada orang yang sama, hanya saja jalannya berbeda—” “Konyol, siapa yang bilang?” “Aku.” “Mimpi.” “Kau benar, mana mungkin diriku yang lain yang melakukan perjalanan waktu  di semestamu, menyukaimu—” kata Firio berpikir sejenak, “karena aku tidak suka wanita banyak bicara, otak lebih dibutuhkan ketimbang mulut.” “Bagus, aku juga tidak suka pria kasar dan b******k. Di masaku, aku paling suka mengungkap skandal orang sepertimu agar tidak terlalu arogan di depan orang.” “Kau rupanya asyik buat diajak berdebat.” “Oh tentu, apalagi yang ngaku otak ilmuan padahal kerjanya cuma berada di sekumpulan serigala gila— lalu melolong sepanjang malam.” “Apa kau bilang? Serigala gila? Siapa yang kau maksud?” “Tentu saja kalian, kau dan kawanan serigala hitam dan bahkan putih di depan itu—” Theresa menuding Kye dan Kade yang berjaga di luar. “Kalian gila, buas, dan kerjaannya melolong di malam hari! Menakut-nakuti orang saja!” “Kau bilang mereka gila?” “Ya!” Firio murka lagi, kali ini tampak serius. Hinaan barusan terlalu kasar. Apapun yang berhubungan dengan sanak keluarganya selalu membuat amarah aslinya muncul. Dia lantas mencengkram dagu wanita itu, memutar wajahnya, mendongakkannya agar bisa sejajar dengan wajahnya. Mereka bertatap pandang beberapa detik, dekat sekali hingga napas mereka saling menyembur dan kulit terasa hangat. Firio berbisik serius, “Dengar, Tomat, jangan menghina keluargaku, aku sudah bertahan denganmu—” Gigi taringnya cukup membuat bulu tengkuk Theresa berdiri. Entah mengapa, ketakutan malam itu muncul kembali. Sosok mengerikan ini— benar-benar serius mengintimidasi. “Aku bisa saja melakukan sesuatu padamu— dan kau harus menurutinya, tapi aku baik padamu'kan?” lanjut Firio memperhatikan lekuk tubuh Theresa. “Dan kau tidak bisa mencelaku sedang melakukan pelecehan— karena di distrik ini, tawanan artinya kepemilikan, kau milikku, budakku, aku bebas melakukan apapun padamu.” “Firio—” Theresa kaku, tak bisa berpikir jernih. Ia tak sanggup menatap mata yang mengalirkan energi mematikan itu. “Aku sudah bersabar denganmu, harusnya kau bertekuk lutut di kakiku dan memohon-mohon agar aku tak merantaimu di kaki ranjang.” Theresa berusaha mengalihkan pandangan sambil berkata, “aku—aku minta maaf.” “Aku tidak mendengarnya.” Firio menyeringai, dia memaksakan wajah wanita ini menatapnya lagi, lalu mengelus helai demi helai rambut merah itu, menghirup aroma lavender yang kini melekat pada sekujur tubuhnya. Theresa ingin melepaskan diri, tapi cengkraman tangan di dagunya terlalu kasar, bahkan rambutnya mulai jadi sasaran pula. “Firio—” Ia waspada, takut hendak dibunuh. Akan tetapi bukan niat membunuh yang sedang dikeluarkan Firio. Dari pagi tadi, dia sudah menikmati pemandangan merah menyala ini, pesonanya tak henti-henti menaklukkannya. Mengapa membenci wanita ini terasa sulit sekali? Padahal sudah jelas perbuatannya hanya memanfaatkannya saja, segala macam cinta dari bibir manisnya itu hanyalah dusta. “Kenapa kau sangat menggoda?” tanya Firio mulai melepaskan cengkraman di dagu Theresa, tapi malah beralih ke pinggangnya. Dia menipiskan jarak di antara mereka. Theresa tersadar, ini bukan niat jahat, melainkan niat mencium. Bau tubuh Firio seperti bunga Lavender, sama sepertinya. “Hei, sadarlah— maafkan aku,” bisiknya berusaha menjauhkan tubuh mereka, walau gagal, malahan tangan Firio meremas punggungnya. “Sekarang, jika kau menghina kami lagi, aku akan berbuat lebih jauh dari ini—” Firio mendekatkan bibirnya ke Theresa. “Paham?” “Ya— ya, aku bersumpah.” “Kau tidak perlu setegang itu, jantungmu sudah mau meledak saja—” Firio melepaskan tubuh Theresa, lalu berbalik badan, menjauh darinya. Theresa menenangkan debaran dadanya, belum sanggup mengatakan apapun. Firio menahan tawa. “Aku tidak sekejam itu, aku hanya bercanda, kaku sekali, kau tidak punya kekasih ya?” “Punya—” sergah Theresa agak sebal.“—dan aku sangat ingin kembali karena itu juga.” Firio menyeringai. “Kau bisa membodohi orang lain, tapi aku bisa mencium mana yang belum tersentuh, mana yang sudah.” “Hah!” Theresa makin marah. “Lalu kenapa saat itu kau ingin membunuhku hah? Sudah jelas aku bukan istrimu!” “Ya, kalau aku sudah marah, aku lupa daratan— kau berbau Theresa, bertubuh Theresa, jadi ingin kuhabisi saja, mana peduli hal lain.” “Memuakkan.” Firio malah tersenyum. Sebuah senyuman yang menyalurkan kekaguman serta rasa cinta lagi. Senyum itu membuat Theresa mundur perlahan, waspada kembali. Ia bertanya pelan, “Firio, aku harus memastikan barusan memang cuma bergurau'kan? Ini bukan masa kawinmu'kan?” “Masa kawin? Hentikan menggunakan kosa kata semacam itu— bagaimana pun aku manusia, masa kawinku bisa setiap saat,” sahut Firio tertawa pelan. Ini bukanlah tawa yang menyenangkan, suaranya berat dan terdengar ada maksud tertentu. Berselang beberapa detik, dia menegaskan, “tapi jangan takut begitu, aku bukan p**************l yang sering kau temui di masamu, aku tidak sembarangan memasukkan diri ke tubuh orang lain.” Theresa memalingkan wajah. “Aku bisa gila dua minggu denganmu.” “Jadwal kita masih padat, Tomat, semoga kau bahagia menjadi budakku—” kata Firio mulai mengintari tembok-tembok yang telah retak dan mengelupas itu, mencari sesuatu. “—Sekarang aku tanya, kau mau tidak kembali?” “Tentu saja!” “Kalau begitu bantu aku mencari benda bulat berwarna perak yang menancap di dinding seperti laba-laba, itu LYNX.” “Menempel?” “Ya—” Theresa berbalik ke arah sebaliknya, dan matanya langsung menemukan sesuatu yang menempel di tembok, sesuai dengan deskripsi LYNX. “Well, kurasa aku menemukannya.” Firio menoleh, lalu mengangguk. “Oke.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD