Chapter 3

1366 Words
Ken menjelaskan semua padaku tentang apa yang terjadi saat berada di basement kelab. Aku pun memaafkannya, karena aku sendiri memiliki tingkat kekhawatiran yang tinggi terhadap sesuatu. dan itu dipicu sejak terjadinya kasus penculikaan yang aku alami dulu. “Maaf karena sudah … kasar sama kamu. Tapi, aku masih kesal karena kamu sudah rebut area parkir itu,” ujarku pada Ken. “Tidak masalah, aku juga minta maaf. Sebenarnya aku sudah lama perhatiin kamu. Tapi, mungkin kamu saja yang tidak sadar.” “Hm? Bukannya kamu anak baru di sekolah?” “Ra, ini Ken yang biasa di bully sama geng-nya Chiko,” ungkap Laura. “Eh? Serius?” tanyaku. “Aku berubah banyak setelah kasus itu, aku belajar untuk bisa jadi percaya diri dan juga tidak mudah ditindas.” “Bagus, sih … cuman … kayaknya kamu terlalu over, jadi bikin orang makin kesel aja pas lihat.” Percakapan kami terus berlangsung hingga penjaga kamarku datang dengan menenteng banyak sekali makanan. “Terima kasih.” Aku menyuruhnya untuk meletakkan bungkusan makanan itu di atas meja. Lalu, aku juga turun dari atas ranjang untuk duduk di sofa yang ada di sudut kamar. Bersama Laura dan Ken, kami menikmati hidangan itu. “Ujian sisa satu hari, jangan patah semangat ya, Ra!” ujar Laura mengingatkan. “Emang aku kelihatan kayak orang putus asa?” “Enggak sih.” “Ya udah, jangan ajarin aku masalah kayak gitu, kamu tahu sendiri aku orangnya nggak akan mau nyerah sebelum dapat apa yang aku mau.” “Bagus.” “Ra, mau ambil jurusan apa?” tanya Ken padaku. “Hm? Uhm … Sastra Inggris mungkin,” jawabku sekenanya. “Kenapa nggak ambil bisnis atau dokter?” “Aku takut sama semua hal yang dilakukan dokter, aku lebih suka dengan hal-hal santai tetapi tetap bikin aku bisa belajar banyak.” “Menarik.” Waktu terus berjalan, sampai akhrinya Laura harus pulang, dan meninggalkan aku bersama Ken di rumah sakit. “Nggak pulang sekalian?” tanyaku padanya. “Bukannya sore ini kamu pulang? Aku mau anter kamu pulang.” “Aku ada sopir.” “Udah aku suruh bawa barang kamu pulang.” “Apa?” Ceklek … “Hallo, Nona. Perawat mau lepas alat infus dulu ya, sama pemeriksaan terakhir.” “Iya, Dok.” Setelah selesai, aku bersiap untuk kembali ke rumah. Ya, terpaksa pulang dengan cowok ini. *** Sampai di rumah … Ken ikut masuk ke dalam rumahku, dia mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Hingga akhirnya ada satu pertanyaan keluar dari bibirnya. “Kok sepi? Orang tua kamu kemana, Fir?” “Nggak ada, lagian kamu berharap ketemu sama mereka?” “Iya, siapa tahu aja mereka mau jadiin aku mantu.” “What the! Ngomong apaan kamu?” “Oh, kamu nggak suka sama aku? Gapapa, nanti juga suka.” “Eh buset, si Kangpret pede amit ya?” Ken justru tertawa dengan ucapanku. Entah kenapa saat dia tersenyum lebar, aku merasa ada sesuatu yang membuat hatiku seperti tersengat listrik. Aku menyuruh Ken untuk menunggu di ruang tamu, sementara itu aku pergi ke kamar untuk meletakkan beberapa barang di sana. dan saat aku kembali, Bibi sudah menyediakan minuman dan makanan untuk Ken. “Maaf lama, lagian kamu kenapa enggak pulang aja?” tanya ku. “Aku diusir?” “Enggak juga sih, tapi iya. Lagian kamu sok akrab banget sih sama aku?” “Kan kita Bestie, bener nggak?” “Enggak! Enggak ada namanya cewek dan cowok itu bisa berteman, kamu harus sadar dan tahu itu,” ujarku menjelaskan pada Ken. “Ya udah, kalo gitu kita pacaran aja.” BRUSH … Tanpa sadar aku menyemburkan air yang baru saja masuk ke dalam mulutku, dan tepat mendarat di wajah Ken yang duduk di depanku. “Sorry, lagian kamu ngapain sih ngomong kayak gitu!” omelku pada akhirnya. “Yaelah, gitu aja udah salting, Fir.” “He? Enggak ada aku salting! Dasar!” *Salting = salah tingkah. Tidak lama setelah perdebatan itu, kepala asisten rumah datang dan memberikan telepon padaku. “Tuan telepon.” Aku menerima telepon itu dan berbicara dengan Papa yang ada di seberang sana. “Ada apa, Pa?” “Kamu jadi kuliah di Jogja?” tanya Papa. “Uhm, iya. Kenapa?” “Papa sudah hubungi Om, nanti kamu stay di rumahnya aja ya?” “Enggak mau! Titik nggak pakek koma!” “Jangan bandel!” “Serah! Pokoknya aku enggak mau!” Tut “Sama orang tua kok gitu?” tanya Ken. “Kalo enggak tahu, jangan ikut komentar ya!” “Ya udah, aku pamit ya? Kita ketemu besok di sekolah.” “Ya.” Setelah kepergian Ken, aku pun kembali ke kamar dan merebahkan diri di atas ranjang dengan nyaman. Sayang … kenyamanan itu tidak berlangsung lama. Seseroang menghubungi aku dari ponsel pribadi, dan dengan bodohnya tangan ini menggeser ikon hijau di layar. “Ya, ada apa Mikey?” tanyaku. “Ra, bisa ke kelab malam ini?” “Nggak bisa, aku ada ujian besok.” “Bentar aja, Kay … kelab lagi sepi, tiba-tiba aja dia datang. Padahal hari ini nggak ada pertemuan anggota,” jelas Mikey. “Emang Kay ngapain?” “Dia teller, Ra. Tapi … Kay sama Om-om gitu.” “He? Ngapain dia?” “Kay lagi dipegang-pegang, mabok dia.” “Gila! Apaan sih Kay!” “Ra, bantu aku! Ini aku udah coba kasih minum ke Kay biar dia sadar, tapi tetep aja. Omnya juga kayaknya udah puas, dan mau pergi.” “Haduh … gimana sih!” Aku pun segera beranjak dari kamar meraih tas dan pergi dari rumah. Aku mengemudikan mobil dengan cepat agar bisa sampai di kelab dengan cepat. “Sial! Kenapa kepala ku sakit lagi?” gumamku sembari menahan rasa nyeri di kepala. Beruntung aku bisa sampai di kelab, dan saat masuk ke dalam sana, aku melihat Mikey masih mencoba untuk membuat Kay sadar. “Kay,” panggilku. “Kay! Bangun!” teriakku. “Percuma, Ra. Aku udah berkali-kali nyoba, tapi dia nggak ada respon.” “Ya udah, barang dia mana?” tanyaku. Mikey memberikan tas Kay untuk aku periksa. Di dalam tas itu ada sejumlah uang dan ponsel milik Kay. Aku mencari nomor telepon dari kekasihnya. Namun, ada satu pesan terakhir yang mengatakan jika mereka mengakhiri hubungan. Pantas saja Kay seperti saat ini. “Mikey, kamu tahu apartemennya Kay?” tanyaku. “Tahu, ada di Dharmawangsa.” “Jauh lagi.” “Kay bawa mobil, ini kuncinya dititip ke aku tadi.” “Oh, ya udah. Biar aku antar aja. bantu bawa dia ke mobilku, kamu simpan kunci mobil dan biar aja di sini dulu.” “Oke.” Aku pun mengantarkan Kay pulang ke apartemennya. Daerah Dharmawangsa adalah tempat apartemen elite berada. Saat ini sudah pukul sebelas malam, dan aku masih berada di luar rumah. Entah jam berapa aku akan sampai di rumah. Sampai di parkiran, aku melihat Kay membuka mata dan menatapku dengan sayu. “Eh, udah bangun?” “Ra? Kenapa ada di sini? Lah aku dimana?” “Gebleek! Kamu bikin aku keluar malam-malam, sekarang kamu nanya, kamu dimana?” “Serius, Ra. Aku lagi ngefly tadi.” “Ini udah sampai di apartemen. Ayok aku anter ke kamar.” “Iya.” Aku mengantarkan Kay sampai di unitnya. Lelah setelah membantu Kay, aku duduk untuk beberapa menit di sana. “Minum apa, Ra?” “Air biasa aja, aku nyetir mau balik, takut kalo nanti mabok.” “Oke.” Kay memberikan segelas air padaku, setelah air itu habis aku minum. Kay tersenyum kecil sembari duduk di depanku. “Kay, kamu kenapa ketawa?” “Gapapa, lucu aja liat kamu langsung merah gitu habis minum.” “What? Kamu kasih aku apa itu?” Kepalaku terasa berputar, entah apa yang diberikan Kay padaku tadi. Aku berdiri, dan mencoba berjalan keluar dari apartemen itu. “Ra, temenin aku aja di sini!” Suara Kay membuat aku takut. “Maaf, aku ada ujian besok.” Kembali melangkah hingga akhirnya aku berdiri di depan pintu lift. Saat pintu itu terbuka, aku melihat wajah yang sangat aku kenal. “Fira? Kok kamu ada di sini?” “Kamu … kamu, tolong ak –“ Brugh …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD