Chapter 2

1422 Words
Selesai berbelanja, aku pergi ke sebuah kelab malam untuk menenangkan pikiran. Tidak hanya itu, di sana aku juga memiliki teman yang berasal dari beberapa sekolah berbeda, dan memiliki kesamaan. Sama-sama anak orang kaya di Surabaya. Banyak yang tidak tahu, meski aku anak orang kaya. Aku tidak pernah menggunakan uang orang tua. Itu karena aku memiliki bisnis secara diam-diam. Meski belum sebesar milik Papa, pendapatan dari bisnis itu sangat cukup untuk kehidupan glamor yang aku miliki. Ceklek Brak! Aku berada di basement kelab, di sana sudah terlihat ada banyak sekali mobil sport yang berjajar rapi. Dan hanya mobil milikku yang terlihat paling murah. Ya … aku tidak seperti anak orang kaya pada umumnya, mengendarai mobil mahal untuk pergi kemanapun. Aku cukup menggunakan Honda Jazz berwarna kuning, dengan interior mewah yang aku desain sendiri. “Ra, baru dateng?” sapa seorang cewek dengan mata sipit dan sedang bersama kekasihnya. “Iya, kalian juga baru dateng?” tanyaku balik. “Yoi, kita dateng juga karena ada anggota baru.” “Hm? Baru? Siapa?” tanyaku penasaran. “Belum tahu, makannya kita dateng. Kalo udah tau, ngapain repot-repot kesini? Ya gak? Lagian, kalau dia nggak sekelas kita, pasti bakal dikucilin.” “Hum, iya juga. Ya udah, kalian duluan aja. aku nyusul.” Setelah kepergian keduanya, aku masih berada di samping mobil dan berpikir. Sembari mengedarkan pandangan ke semua mobil yang ada di sana. Tentu aku sangat mengenal semua mobil yang ada di sini, dan siapa pemiliknya. Tetapi, ada satu mobil yang terasa asing, mobil itu bermerek Porsche hitam. “Mobil ini … pasti kaya banget nih anak.” Aku melangkah masuk ke dalam kelab, dan langsung menuju ke meja bar. “Hi, Mikey!” sapaku pada bartender. “Hallo, cantik! Baru dateng? Nggak mau gabung dulu sama Kay dan yang lain?” tanya Mikey padaku. “Iya, bentar lagi, aku mau satu gelas dulu.” “Oke.” Setelah mendapatkan apa yang aku mau, aku tidak langsung pergi begitu saja dari sana. Aku meraih kursi dan duduk di depan Mikey. “Ada apa? Pasti lagi marahan sama Laura?” tanya Mikey yang sudah tahu siapa aku. “Ya gitu lah.” “Kenapa?” “Dia belain cowok di sekolah, yang jelas-jelas salah.” “Hum … susah juga, padahal biasanya Laura kan bela kamu.” “Nah itu … apa dia suka kali ya sama cowok itu?” “Mungkin. Dan … apa kamu udah ketemu sama anak baru?” “Belum, katanya kaya banget, palingan juga bisnis ortu.” “Enggak ih … dia beneran kaya dari bisnis sendiri. Pernah jadi model majalah remaja, terus juga … pernah ikutan catwalk di Landmark.” “Hmm.” “Namanya … siapa ya tadi, Ke … Kenzou.” “Uhuk! Uhuk! Siapa?” “Kenapa sih, Ra! Duh, jadi kesembur nih.” “Maaf, habisnya kamu ngagetin sih.” Di saat itu juga, seseorang menepuk bahuku dan membuat tubuhku secara otomatis berputar ke arahnya. “Ken?” ucapku. “Ternyata kamu juga salah satu penghuni kelab ini?” tanya Ken padaku. “Iya, kenapa?” “Kenalin, aku Ken.” “Udah tau!” Melihat wajahnya saja membuatku kesal, kenapa dia harus ada di sini sekarang? “Fira! Udah ketemu Ken ternyata, eh iya … kalian satu sekolah kan?” tanya Kay padaku. “Iya.” “Kay, Fira siapa bestienya?” tanya Ken. “Apa urusannya sama kamu?” tanyaku. `“Kay, Fira siapa bestienya?” tanya Ken. “Apa urusannya sama kamu?” tanyaku. “Kamu mau jadi bestie Fira? Masalahnya belum ada yang bisa jadi bestie dia nih, langka banget ada yang mau sama Fira.” “Kay, jangan kompor! Aku nggak mau kalo sama dia.” “Kenapa?” sahut Ken. “Kalian bikin aku jadi males,” ucapku yang mengambil langkah pergi dari sana. Belum sampai di pintu keluar, Ken menarik tanganku. Sontak membuat aku mendorong tubuhnya dengan keras, dan dia pun terjatuh. “Akh! Cewek gila!” maki Ken. “Makannya, jangan mau milih cewek gila buat jadi bestie!” omelku padanya. Aku kembali berjalan hingga sampai lagi di basement. Di sana ada seorang cewek yang tak lain adalah pemilik kelab. Dia juga termasuk temanku, hanya saja … hubungan kami tidak sedekat itu. “Loh, Fira mau kemana?” tanyanya. “Ra!” seru Ken dari pintu keluar. “Aku mau balik. Besok masih ada ujian,” ujarku beralasan. “Oke, kamu udah kenal sama Ken?” “Udah.” “Ra, mau kemana?” tanya Ken. “Oke, kayaknya kalian ada urusan, aku mau masuk dulu.” Setelah kepergian pemilik kelab, aku berdiri di depan Ken dan menatapnya dengan malas. “Aku udah cukup sabar sama kamu! Ada apa sih sampai kamu kayak gini?” tanya Ken yang jelas-jelas sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu. “Kamu pura-pura nggak tau, atau cuman alasan aja nanya begitu ke aku? Aku tuh kesel sama orang modelan kayak kamu ini!” jelasku. Ken menarik tanganku dan menghentikan langkah kaki yang akan aku ambil untuk masuk ke dalam mobil. “Lepas! Aku lagi nggak mau ribut sama orang baru.” “Ikut aku!” ucap Ken sembari menarik tanganku untuk masuk ke dalam mobilnya. “Apaan sih! aku nggak suka di paksa!” “Dan aku nggak suka ditolak!” Masuk ke dalam mobil itu, tiba-tiba saja Ken mengikat tangan dan membungkam mulutku. Tidak, aku tidak bisa bergerak, dan aku tidak bisa meminta tolong pada siapapun. Jantungku berdetak cukup kencang, tiba-tiba saja aku mendapatkan serangan panic. Pandangan mataku mulai berkunang-kunang, tiba-tiba saja kesadaranku menghilang. “Ra –“ *** “Uhm … aku dimana?” tanyaku yang baru saja sadar. “Rumah sakit,” jawab seorang pria yang sangat aku kenal suaranya. “Pa-papa?” “Kamu kenapa susah sekali menurut?” “Hm? Menurut?” “Untung saja Ken menemukan kamu pingsan di depan kelab malam. Bukannya Papa sudah sering bilang jangan datang lagi ke sana? Kamu masih dalam masa ujian, dan hari ini justru terbangun di rumah sakit karena pingsan.” “Apa? Aku? Pingsan di kelab?” Aku masih sangat bingung dengan perkataan Papa. Bagaimana bisa Papa ada di sini? Bukankah seharusnya Papa ada di Jakarta? Kepalaku berdenyut dan terasa sangat sakit. Seorang dokter mendekat lalu memeriksa kondisi tubuhku sekali lagi. Ceklek “Tuan, ada seorang pengajar dari sekolah Non Fira datang.” Aku mendengar suara dari Ajudan Papa. “Ya, tunggu sebentar.” “Nona Fira mengalami serangan panic. Sepertinya kejadian sebelumnya membuat dia terlalu takut dan resah.” Dokter menjelaskan menganai kondisiku pada Papa. “Pa … Fira kenapa sih?” tanyaku. “Kamu tanya saja sama temenmu yang sudah bawa kamu ke sini.” “Siapa?” “Ra, kamu gapapa kan?” tanya Laura. “Laura? Kenapa kamu bisa ada di sini?” “Ra, aku yang udah bawa kamu ke sini, dan aku juga yang hubungi Papa-mu.” “Apa? Tapi –“ “Fira, hari ini kamu akan menjalani ujian bersama Laura di ruangan ini, ada dua pengawas yang siap mengawasi jalannya ujian. Papa tidak mau tahu, kamu harus sudah siap dalam beberapa menit.” Setelah mengatakan hal itu, Papa berjalan keluar dan meninggalkan aku bersama Laura di dalam kamar. “Ra, Ken panic lihat kamu pingsan. Dia telepon aku dan suruh aku bawa kamu ke sini. Ken minta maaf karena bikin kamu pingsan.” “Apa?” Ceklek “Selamat siang, Fira … Laura. Saya akan menjadi pengawas untuk kalian menjalani ujian, karena ujian ini yang terakhir untuk kelulusan. Jadi, tidak ada esok untuk menyusul.” “Baik, Bu.” Akhirnya kami menjalani ujian di kamar. Dengan waktu yang sama seperti di sekolah. Dan … seperti biasa, aku menyelesaikan semua dengan cepat. Setelah selesai, aku dan Laura masih berada di dalam kamar itu untuk berbicara. Ini adalah kesempatan, karena Papa sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya. “Ra, nanti Ken ke sini. Tapi, ada penjaga di depan,” ujar Laura. “Hm? Ada penjaga? Ganteng?” tanyaku. “Iya.” “Oh, itu  sih gampang.” Aku menyuruh Laura untuk memanggil penjaga yang ada di depan kamar. “Mas, bisa beliin makanan?” “Makanan apa, Non?” “Belinya di Cocari, aku lagi pengen makan all you can eat, tapi di dalam sini, dan makanan harus siap di makan.” “Baik.” “Ini kartunya buat bayar, nanti kalau ada yang lain, aku telepon aja ya?” “Baik, Non.” Setelah kepergian penjaga itu, tidak lama kemudian Laura memanggil Ken yang sudah ada di luar. “Ra,” sapanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD