Part 2

1420 Words
Kirana terbangun dengan sakit kepala yang menyiksa. Segala ingatan kebodohannya kemarin malam menyerang bagai mimpi buruk. Bukti nyata semua itu bukanlah mimpi masih ada di sampingnya. Dinar yang tidur dengan pulas setelah berhasil menjatuhkannya. Kirana menghela napas panjang, menyesal percaya dengan rekomendasi Dinar. Lain kali dia tak akan mau dibawa ke tempat terkutuk itu lagi. Cukup sekali pengalaman buruknya. “Bangun, sana pulang.” Kirana mengguncang bahu Dinar, ingin segera mengusir pria itu pulang. Dia terlalu kesal untuk membiarkan orang yang merusak segala pertahanan dirinya berlama-lama di kamarnya seolah-olah mereka memiliki hubungan spesial. Dinar terbangun dengan kaget. Langsung duduk menatap Kirana takut-takut. Sudah siap bakal diteriaki dan diperlakukan seperti penjahat. “Sana pergi mandi, lalu pulang,” kata Kirana pelan. Tak ada tanda-tanda kemarahan sama sekali. Dinar merasa sedikit senang. Dia tak mendengarkan perintah Kirana dan malah dengan lancang menyadarkan d**a di punggung Kirana. “Kamu nggak marah?” tanya Dinar hati-hati. Kirana menggelengkan kepalanya. “Marah kenapa?” Tak ada alasan untuk marah pada Dinar. Ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam klub itu, di sanalah letak kesalahannya dimulai. Kirana sudah dewasa, dia tak akan menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri. “Ya ... itu ... kali saja kamu pikir aku menjebakmu.” Dinar garuk kepala bingung. Sudah biasa diwaspadai oleh Kirana. Rasanya malah aneh kalau diperlakukan baik-baik. “Aku nggak sejahat itu. Aku sendiri yang mau ikut sama kamu, gimana akhirnya ya tanggung jawabku sendiri.” Ketegaran dan ketegasan Kirana membuat Dinar merasa tertarik. Semakin ia mencoba mendekati Kirana, semakin banyak juga dia menemukan sisi lain cewek itu yang dia sukai. “Kamu yang baik begini bikin gemas deh!” Dinar lupa diri, main peluk dari belakang seakan pacar seorang. “Apaan sih, lepaskan!” Kirana berbalik ingin menempelengnya, tapi malah berakhir dipeluk makin erat. Dinar menciumi lehernya, tersenyum menikmati momen yang menurutnya menyenangkan. Pas itu, pintu kamar Kirana terbuka dari luar. “Kirana, sudah bapak bilang pintunya harus selalu dikunci. Bahaya dibiarkan terbuka – ” Bapaknya Kirana yang kadang datang menjenguk putri bungsunya itu yang membuka pintu. Tas oleh-oleh yang dibawa jatuh ke lantai, nasihat pendamping ketika datang tak sempat diselesaikan. Pria tua itu terpaku dengan wajah pucat. Mendapati putrinya tengah berpelukan dengan seorang laki-laki yang tak dikenal dan pastinya bukan pacar anaknya. Setengah telanjang di atas tempat tidur, pagi-pagi buta. “Ki-Kirana ... kamu – ugh!” Semua yang ia lihat terlalu mengejutkan, membuat jantungnya yang sudah lemah tak kuat menerima kenyataan. “Bapak!” Kirana langsung panik, tarik selimut lari ke depan pintu. Bapaknya sudah nyaris tak sadarkan diri, memegangi dadanya dengan tangan gemetaran. Setelah itu semuanya menjadi buram. Mental Kirana benar-benar terpukul, tak tahu harus bereaksi seperti apa melihat keadaan bapaknya. Untungnya ada Dinar yang sigap. Dokter itu segera melakukan pertolongan pertama, menghubungi ambulans dan mengurus semuanya untuk Kirana. Beberapa jam setelahnya, keadaan sudah lebih baik. Kondisi bapaknya sudah stabil, tapi belum sadarkan diri di ruang inap. Kirana tak berani masuk ke dalam, dia berdiri di depan pintu dipenuhi oleh penyesalan. Semua ini tak akan terjadi jika dia lebih berhati-hati dalam bertindak. Kepercayaan yang diberikan padanya hancur begitu saja hanya karena satu kesalahan terbodoh yang pernah dia lakukan. Hati Kirana begitu hancur saat mengintip dari jendela kecil di pintu. Air matanya mati-matian dia tahan melihat keadaan bapaknya. Beliau sudah sangat tua, nyaris menginjak usia delapan puluh tahun. Ibunya juga sudah berpulang duluan, makanya sakit sedikit saja Kirana sudah cemas. Apalagi ketika melihat beliau terbaring lemah dengan alat bantu untuk menyokong hidupnya. “Kirana, kamu nggak masuk?” Dinar jadi serba salah. Dia berdiri di samping Kirana menemani dari tadi. Kalau saja Kirana marah dan menangis menyalahkannya, hatinya akan lebih tenang. Namun karena Kirana begitu diam menahan semuanya sendiri, Dinar jadi tak bisa melepaskan pandangannya dari Kirana. Dia merasa cewek ini akan menyalahkan semuanya pada diri sendiri, menangis sendirian di tempat yang tak terlihat oleh siapa pun. Dinar tak mau itu terjadi. Dia ingin sedikit saja diandalkan, apalagi ajakannya yang memulai semua kekacauan ini. “Mana aku punya muka.” Suara Kirana begitu serak, sirat akan penyesalan yang mendalam. Dinar jadi ikut sedih. Dia ingin memeluk tubuh mungil itu, menghiburnya dengan segala yang ia bisa. Akan tetapi, Kirana tak membiarkannya. Cewek itu bahkan berdirinya agak jauhan, seakan-akan dosanya akan bertambah jika berdekatan dengan Dinar. Dinar ingin bilang kalau keadaan bapaknya Kirana akan segera membaik, tapi sebagai dokter dia tak mau berbohong. Dia tak menanganinya sendiri, tapi tadi Dinar menemani Kirana bicara dengan rekan kerjanya yang menangani. Dia cukup paham hanya dengan mendengar penjelasan rekan kerjanya. Bila beliau bisa saja tak akan bertahan jika mendapat serangan susulan. Usia yang sudah tua dan banyaknya riwayat penyakit membuat keadaan fisik ayah Kirana mengkhawatirkan. Tentu saja Kirana juga paham benar keadaannya. Itulah yang membuat semua ini semakin sulit untuk mereka. Tak tahan lagi, Dinar memberanikan diri mendekati Kirana. Dia berhenti di depan cewek itu, mencoba mengambil tangan Kirana berniat memberi dukungan. Namun, Kirana segera menarik tangannya saat tangan Dinar mendekat. Ia menoleh ke samping, segera berlari menghampiri saudara-saudaranya yang telah tiba. “Kirana, keadaan Bapak gimana?” Kakak Kirana yang paling tua bertanya, memeluk Kirana saat menyadari betapa sedihnya adiknya itu. “Nggak bagus, Mbak.” Akhirnya suara manja Kirana bisa Dinar dengar, tapi tidak ditujukan padanya. Saudara Kirana ada dua. Satu perempuan dan satu laki-laki. Yang paling tua tinggal dengan suami dan bapaknya. Dan yang laki-laki tinggal satu kota, tapi beda rumah dengan bapaknya. Hanya Kirana yang tinggal jauh karena tak suka suasana sunyi di kampung. Pada akhirnya Dinar tak berkata apa-apa. Dia hanya berdiri di belakang Kirana, menunggu dengan sabar obrolan tiga bersaudara itu. Saudara-saudara Kirana yang sudah jauh lebih dewasa tak terlalu terpukul seperti Kirana, mereka sudah tahu kalau situasi seperti ini tak bisa dihindari dan sudah siap akan kemungkinan terburuk. Tak ada yang menyalahkan Kirana, mereka mencoba menghiburnya dengan sabar. Mengajak Kirana masuk tak peduli seberapa keras Kirana berkata itu salahnya. Pemandangan kedekatan keluarga yang seperti ini terasa asing bagi Dinar, tapi dia jadi tahu kalau gadis yang disukainya dibesarkan dengan baik. Kirana memang bilang Dinar tak bersalah, tapi sekarang Dinar mulai merasa bersalah. Dia merasa seakan telah menghancurkan kebahagiaan Kirana. Membawa gadis polos begitu ke tempat yang buruk dan memberinya pelajaran yang menyakitkan. “Udah, Kir. Masuk. Kita temani Bapak sama-sama.” Akhirnya Kirana masuk dengan saudara yang laki-laki. Si anak sulung masih di luar, mendorong bahu Kirana yang mencoba menolak. Di saat itulah, keberadaan Dinar baru disadari. Mata Dinar dan Amira – kakak Kirana bertemu padang secara tak disengaja. “Temannya Kirana?” tanya Amira. Dinar tak memakai jas putih karena memang belum shift kerjanya. Jadi satu-satunya dugaan adalah pria itu datang bersama dengan Kirana. Mendengar pertanyaan Amira, mata Kirana melotot kaget. Baru ingat akan keberadaan Dinar yang sempat dia lupakan. Kirana takut Dinar bicara macam-macam, tak ingin memperkeruh suasana. “Iya, kebetulan aku kerja di sini.” Tentu saja Dinar nggak akan mencuri kesempatan dalam situasi seperti ini. Dia tak berniat mempersulit Kirana. Kirana bernapas lega. Bersyukur Dinar punya sifat yang baik. Dia juga merasa sedikit malu, terlalu mencurigai Dinar sebelum mencoba mengenalnya lebih dulu. “Kalau begitu masuk sini. Nggak perlu terlalu sungkan. Makasih ya, udah temani Kirana dari pagi.” Oh ya, Kirana lupa berterima kasih sudah ditolong Dinar tadi pagi. Kalau cowok itu tak ada, mungkin dia hanya akan panik sendiri tanpa bisa melakukan apa-apa. “Nggak usah dipaksa, Mbak. Sebentar lagi jam kerja Dinar dimulai.” Kirana membawa Dinar keluar, tangannya yang mencengkeram tangan Dinar begitu lemah. Kepalanya tertunduk lunglai membuat Dinar begitu frustrasi ingin memeluk dan menopangnya. “Dinar, makasih ya udah menolong Bapak. Setelah ini kamu pulang aja, aku sudah nggak apa-apa.” Perhatian Kirana adalah hal yang paling tidak Dinar butuhkan saat ini. Karena sikap itu membuat seakan mereka seperti orang yang benar-benar asing. “Kirana, Bapak udah bangun. Kamu dipanggil!” Belum sempat Dinar berucap, Amira sudah keluar lagi memanggil Kirana. Kirana segera melepaskan Dinar, lari masuk bersujud di depan bapaknya. Tangannya menggenggam erat tangan renta itu. “Iya, Pak. Kirana di sini.” Kirana sudah siap menerima kemarahan dalam bentuk apa pun. Namun, dari semua kemungkinan yang terbayang di benaknya. Handoko, bapaknya Kirana malah mengucapkan sesuatu yang mengejutkan. “Kamu harus menikah dengan laki-laki itu.” Saat mengucapkannya, arah pandangan Handoko tertuju pada Dinar. Tak akan dia lupakan wajah itu, wajah pria yang telah m*****i anak gadisnya. “Bapak bicara apa sih? Kok tiba-tiba?” Amira yang bertanya. Karena Kirana terlalu kaget, terpaku sampai tak harus bagaimana bereaksi. Sedangkan saudara laki-lakinya segera menangkap Dinar, memastikan cowok itu tak bisa kabur. Dia kenal pasti seperti apa sifat bapaknya. Tak mungkin Kirana disuruh menikah tanpa alasan. Apalagi dengan laki-laki yang tak mereka kenal. “Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi.” Tak ada basa-basi. Dinar langsung diserang dengan pertanyaan penuh tuntut. Dinar terdiam, menatap Kirana mencoba membaca situasi. Dia tak berani menjawab, tak ingin mengucapkan sesuatu yang salah di depan keluarga Kirana.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD