Part 1

1659 Words
Malam sudah begitu larut ketika mereka tiba ke tempat rekomendasi Dinar. Sebuah klub malam di pusat kota yang baru pertama kali dikunjungi oleh Kirana. Cewek itu menggeleng, tak mau keluar dari mobil merasa ini bukan tempat yang seharusnya dikunjungi olehnya. Dinar sebenarnya paham hanya dengan melihat reaksi Kirana, tapi dia ingin menunjukkan kesenangan berbeda yang belum pernah dirasakan oleh Kirana. “Takut? Kok nggak mau keluar?” Dinar sengaja memancing Kirana. Dia tahu gengsi Kirana cukup besar, itulah yang membuat cewek itu mudah untuk dia permainkan. “Siapa bilang! Aku cuma nggak suka pergi ke tempat seperti ini!” “Memangnya kenapa? Belum pernah masuk mana tahu suka atau nggak.” Dinar sudah keluar dari mobil. Dia membukakan pintu untuk Kirana, menunggu si nona cerewet selesai galau dan segera keluar. Pastinya sambil mencoba menghasut, membelokkan pola pikir Kirana yang kaku itu. “Tempat kayak gini nggak aman. Kalau ada apa-apa gimana?” Terlalu banyak isu buruk seputar gadis-gadis yang suka main ke klub malam dan Kirana tak pernah ingin menjadi salah satu dari mereka. Dia cukup belajar dengan melihat teman-temannya. Mereka yang terpengaruh hal buruk, bertemu dengan orang-orang tak benar hingga merusak hidup mereka sendiri. “Aman kok, kan datangnya sama aku. Selama ada aku, nggak ada yang bakal ganggui kamu.” Dinar mengulurkan tangannya, pasang tampang super meyakinkan seakan dia bisa menjamin keamanan Kirana sepenuhnya. Sebenarnya itu klub privat yang tergolong aman. Dinar sudah jadi member selama bertahun-tahun, jadi dia berani berjanji seperti itu pada Kirana. Kebanyakan pengunjungnya juga Dinar kenal. Tak ada yang perlu dia cemaskan, itulah yang coba ia yakinkan pada Kirana. Kirana sudah terlihat bimbang. Tangannya bergerak mencoba menerima uluran tangan Dinar. Sebelum jari-jari mereka bertemu, Dinar telah lebih dulu meraih tangan Kirana. Dia menariknya dengan kuat, memastikan Kirana keluar dari mobilnya dan kemudian segera dia kunci. “Kamu udah dewasa Kirana, mainnya juga harus sesuai umur dong. Ayo masuk. Om janji pasti seru.” Kirana melotot, tapi jadi penasaran. Dipikir-pikir iya juga. Dia sudah jadi bagian dari masyarakat. Sekali saja mungkin nggak apa-apa. Anggap saja untuk pengalaman. Toh, dirinya bukan Seira. Bisa jaga diri kok. “Tapi kalau aku nggak suka, kita langsung pulang!” Tentu saja Kirana bakal tegas dulu di awal, memastikan kalau Dinar paham bila dia yang memutuskan tujuan kencan mereka. “Siap! Apa sih yang nggak buat kamu.” Dinar jadi gemas deh. Colek dagu Kirana, tersenyum memesona waktu dipelototi dengan sinis. “Gombal aja bisanya,” balas Kirana ketus. Mereka akhirnya masuk bersama. Suara musik keras dan ramainya lampu-lampu di tempat itu ternyata tidak seburuk yang Kirana bayangkan. Musiknya enak, membuat badannya merasa lebih segar. Ruangan yang luas, dipenuhi oleh meja-meja dan sofa yang nyaman. Kemudian sebuah meja bartender panjang, menyediakan berbagai minuman yang begitu asing baginya. Jadinya jiwa bebas Kirana seperti terpanggil. “Mereka jual apa saja?” “Mau coba? Kita bisa pesan minum dulu.” Dinar senang sekali melihat Kirana tampak antusias. Dia membawa Kirana ke depan meja bartender, membiarkan cewek itu memilih minuman sendiri. Dan pastinya, kalau cewek yang pilih selalu mementingkan bentuk dan warna yang cantik. Dinar senyum-senyum saja, tahu minuman pilihan Kirana kadar alkoholnya tinggi. Kan Kirana nggak menyetir, jadi aman. Aman buat dia maksudnya. Dinar pastinya pesan yang kadar alkoholnya rendah dong, jadi dia bisa mengendalikan keadaan saat Kirana mabuk nanti. “Enak?” Dinar makin senang saat Kirana menghabiskan satu gelas dalam sekali tegukan. Tenggorokkan Kirana terasa terbakar. Rasa pahit bercampur dengan manis dalam satu gelas itu membuatnya tertakjub. Awalnya terasa aneh, tapi perlahan Kirana bisa menikmati rasanya. “Mau lagi?” Dinar sodorkan gelasnya yang belum tersentuh dari tadi dan langsung diterima oleh Kirana. “Ada yang nggak buat tenggorokkan terbakar?” Kirana tanyanya setelah habis meneguk minuman Dinar. “Semua nggak kok. Asal minumnya benar. Pelan-pelan, jangan langsung teguk. Itu cara minum terlalu macho,” canda Dinar. Kirana putar bola mata, terus tertawa mengacak rambut Dinar. “Apaan sih, aku suka yang macho kok. Emang kamu. Genit melulu bisanya.” Gelas kosong di tangannya diguncang-guncang, terlihat mulai kehilangan kejernihan pikiran. “Kalau aku nggak genit, kamu bakal suka?” Dinar mendadak serius, menarik tangan Kirana sembari bertanya. “Aku suka yang ini. Pesan dua gelas lagi!” Eh, jawaban Kirana tak nyambung. Mendadak terlalu ceria, pesan semau hati. “Ya sudahlah. Biar om traktir. Silakan pesan semaunya, tapi kalau mabuk bukan salah om, salah Kirana yang ceroboh.” Dinar bicaranya asal, membuat tawa Kirana lepas lagi. Kali ini Kirana meraup wajah Dinar. Mendekatkan wajahnya hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Dinar jadi deg-degan, berharap bakal dicium. Dia memajukan mulutnya, tapi Kirana malah mundur lagi. “Bukan om-om kok, masih ganteng begini,” ujar Kirana kemudian. Diciumnya gagal, tapi hati Dinar tetap berdenyut. Biasanya Kirana mulutnya pedas, tak tahunya bisa mendadak pandai memuji. Dinar, kan jadi salting. “Ini, satu orang satu.” Minuman pesanannya sudah diantarkan, jadi Kirana paksa Dinar untuk meminumnya. Tak apa, hanya segelas kok. Dinar masih bisa tahan. Setelah minum seteguk, Dinar terkejut. Entah apa yang Kirana pesan, rasanya kuat sekali. Dia segera menoleh ke samping, berniat menghentikan Kirana menghabiskannya, tapi telat. Kirana minumnya selalu kilat. “Punyamu nggak habis? Sini buatku!” Punya Dinar juga dirampas, tapi Dinar ikhlas. Kebetulan iblis datang berbisik. Kirana yang mabuk terlalu seksi. Jaket yang membungkus tubuhnya sudah dilepas. Tinggal sebuah blouse tanpa lengan dan sepotong celana pendek. Dinar meneguk ludah melihat lekuk leher Kirana yang indah. Matanya turun perlahan, berhenti pada bongkahan d**a yang penuh. Terlihat menonjol bahkan di balik kain. “Dinar, aku juga mau menari. Temani ya!” Mendengar manisnya Kirana memanggil namanya dengan suara manja, membuat pikiran Dinar terhempas ke udara. Tubuhnya takluk seketika. Berdiri mengikuti Kirana ke dance floor. Kirana menari dengan lepas. Tiap lenggokkan tubuhnya begitu elok. Bibir penuh seksi itu terus bergerak bersenandung mengikuti irama musik. Dinar cari kesempatan untuk melingkarkan tangannya di pinggang Kirana. Dia tersenyum puas kala Kirana membiarkannya. Lengan Kirana kini telah berpindah ke leher Dinar, merangkul dengan mesra. Tinggi badan mereka yang hanya selisih sepuluh sentimeter membuat jarak pandang mereka begitu pas. Ketika Dinar sadar kalau Kirana tak marah tangannya meraba ke sana dan ke sini, Dinar memberanikan diri menggoda bibir Kirana. Dia mencium cewek itu perlahan, makin dalam ketika menerima balasan. Mereka berpelukan, saling menyentuh mengimbangi gerakan lidah yang kini telah ikut menari bersama. Mata mereka bertemu sekali lagi. Kali ini, panas membara dengan hasrat duniawi telah mengisinya. Perasaan asing yang masuk secara perlahan di antara mereka terasa manis, bagai godaan yang sulit untuk ditolak. Setelahnya, ciuman kedua yang lebih s*****l menemani gerakan tubuh mereka. Suara musik yang keras seakan tak lagi terdengar. Tempat yang ramai seakan hanya milik berdua. Jari-jari yang nakal semakin berani menyelip ke balik pakaian, penasaran ingin menyapa kulit halus yang tersembunyi di dalamnya. Dinar tersentak kaget. Segera menyingkirkan tangannya ketika Kirana mendorongnya secara tiba-tiba. Dia pikir, pengaruh alkoholnya mungkin sudah hilang. Biarpun rasanya itu mustahil terjadi. “Ehehe, jangan marah ya. Aku nggak pegang-pegang lagi kok.” Pokoknya ngeles dulu deh. Kan cowok selalu salah di mata cewek semacam Kirana. “Aku haus, ada minuman segar nggak?” Fuih ... Dinar lega. Kirana hanya linglung nggak jelas. Dia mengikuti Kirana jalan kembali ke meja bartender, tapi bukan untuk membuatnya memesan minuman lagi. Dinar hanya mengambil jaket Kirana dan membayar pesanan sebelumnya. Lalu bawa Kirana pulang sebelum pikirannya hilang lagi tergoda bisikan iblis. “Nggak ada di sini. Yuk pergi, nanti kubelikan di jalan.” “Iya deh.” Untung sekali, Kirana jinak sekali malam ini. Jadi mudah bagi Dinar untuk membawanya kembali ke kamar kost. Dinar letakkan Kirana di atas tempat tidur. Dia sendiri berniat langsung pulang, tak siap diteriaki kayak orang c***l besok pagi. “Kuncimu ada dua. Aku ambil satu ya, besok baru kukembalikan. Kamu tidur aja langsung.” Yang begini baru pendekatan yang benar. Pastinya kalau sudah jadi pacar tingkah Dinar bakal berbeda. Kirana menggeleng, tarik tangan Dinar. “Nggak mau tidur sendiri, temani ya!” Mendadak dia jadi manja, berasa sedang bersama dengan Seira. Mungkin karena kamarnya gelap, jadi muka Dinar kurang jelas atau pikirannya yang sudah kacau tersiram terlalu banyak alkohol. Tiga gelas bagi peminum hanya pembuka, tapi bagi pemula yang tak pernah mencicip sekalipun, cukup untuk mengacaukan kerja otaknya. Dan inilah yang sedang terjadi pada Kirana. Dinar tahu pasti akan kondisi saat ini, dia hanya terlalu sulit menahan godaan. Cewek taksiran yang selalu waspada, kini begitu terbuka di depannya. Memohon untuk ditemani tidur sambil menggenggam tangannya dengan erat. Siapa yang bisa mengendalikan diri. Cowok alim mungkin bisa, tapi Dinar tak bisa. “Jangan nyesal ya, tidur sama aku nggak aman lho.” Dinar menunduk, berbisik di telinga Kirana. “Aku nggak takut.” Jawaban tegas dengan tatapan tajam yang dia terima membuat Dinar merasa diberi izin. Detik berikutnya, tangannya mulai bergerak melanjutkan apa yang dia lakukan tadi. Bibir mereka kembali saling menyapa. Saling melumat dengan rakusnya. Satu per satu pakaian mereka ditanggalkan. Entah tangan siapa yang bergerak, tak ada lagi yang peduli. Rasa panas yang ditinggalkan dari sentuhan intens tangan Dinar telah melelehkan Kirana. Kirana menatap mata Dinar, tangannya perlahan mencengkeram lengan Dinar. Dalam hitungan detik, dia mendorong Dinar hingga jatuh terlentang di bawahnya. Gadis itu tersenyum dengan nakal, meraba perut Dinar yang dia duduki. Dinar mengerjap karena kaget, tapi dengan segera dia bisa mengendalikan keadaan. Tangannya kembali bergerak dengan berani, meraup pinggang Kirana mendekat padanya. Dia mengangkat tubuhnya sedikit, menjadikan sikunya sebagai tumpuan. Remasan Dinar pada b****g Kirana membuatnya mengerang, merasa bersemangat ingin lebih. Reaksi ini begitu segar, membuat Dinar merasa tertarik ingin mencoba. “Kamu mau di atas? Kalau begitu coba masukkan sendiri.” Sesekali di posisi begini mungkin asyik. Ya kali Kirana mau, kalau nggak ya udah. Tinggal ubah posisi lagi. “Kamu menantang aku?” Kirana mau ternyata. Nggak suka ditantang. Dinar didorong lagi hingga terlentang, dadanya ditahan dengan telapak tangan agar tak bisa bangun. “Diam sebentar.” Setelahnya Kirana memasukkan milik Dinar ke dalamnya. Dinar berani sumpah! Pemandangan dari bawah begini begitu seksi. Seluruh lekuk tubuh Kirana terlihat jelas, menggodanya dengan pemandangan indah dan gerakan yang alih. Mana mungkin Dinar bisa diam saja dan melihat. Dia ingin menyentuh, ingin mengacak-acak tubuh elok itu hingga tak berbentuk. Detik berikutnya, Dinar menarik kedua tangan Kirana. Melingkarkannya ke lehernya. Tubuh mereka dia dekatkan, kemudian tangannya berpindah ke pinggang Kirana. Gesekan tubuh mereka memacu gairah, memanaskan suasana bersama dengan kerasnya dorongan di bawah sana. Tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka setelah itu. Hanya lumatan dan desahan yang menemani permainan mereka sepanjang malam.            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD