Part 1

2089 Words
"Brugh," Dika yang tadinya sedang main game diponsel tersentak kaget, ketika mendengar bantingan tas disebelahnya. "Ngapa lu neng? Jutek amat itu muka. Kek orang kagak dikasih jatah aja." "Bacot." setelah mengatakan kalimat sarkas, Rara langsung meninggalkan kelas tanpa memperdulikan sang sahabat yang memanggil dirinya. Dika yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi. Tanpa membuang waktu lagi, Dika mengikuti langkah sahabatnya. Kemana lagi jika bukan ke rooftop, tempat tongkrongan mereka. Walaupun langkahnya tertinggal jauh. Sesampainya di rooftop, Rara langsung duduk disofa usang. Bersender dan memejamkan matanya. Menenangkan fikirannya yang mulai kacau. Dika yang melihat sahabatnya sedang memejamkan mata, tidak menganggu. Dirinya langsung duduk di sebelah Rara. "Dik, emang salah ya kalau gue tuh benci ama orang tua gue?" tanya Rara. Tanpa membuka matanya pun dia tahu, jika Dika mengikutinya ke rooftop. "Salahlah." Rara langsung membuka matanya, ketika mendengar jawaban dari Dika. "Tau ngga Ra, kalau ngga ada orang tua kita ya, kita tuh ngga akan ada di dunia ini tau. Coba deh lu fikirin mateng mateng sebelum lu mau ngebenci mereka." Rara mencerna baik baik apa yang dikatakan Dika. Walaupun sahabatnya yang satu itu otaknya rada gesrek, tapi terkadang juga bisa benar. "Widih, keponakannya Om Mario Teguh bersabda." canda Rara yang mulai bisa menampilkan raut muka yang mengenakan, tidak seperti tadi pagi. Dika menoleh kesebelahnya, Rara sudah tersenyum semringah. Artinya sudah lewat fase sedihnya. "Nah gini dong. Kan makin cakep kalo lu senyum." ujar Dika seraya mengacak rambut Rara. "Bangke ih, rambut gue berantakan." dumel Rara seraya merapihkan rambutnya kembali. "Eh lu pada disini." Keduanya menolehkan kepala kesumber suara yang baru memasuki rooftop. "Baru dateng Chik?" "Heeh, biasa ada drama pagi." "Ngapa lagi si Beni?" tanya Dika. "Kek cewe dia mah. Padahal yang cewe gue. Diputusin ama doinya aja langsung ngunci kamar. Ya otomatis gue juga ujung ujungnya yang disuruh ama nyokap ngerayu dia." Sudah menjadi hal yang biasa, mereka tahu satu sama lain tentang aib keluarga. Pasalnya dari kecil mereka bertiga memang sudah dekat, bahkan bisa dibilang sudah seperti saudara. "Eh udah bel tuh, kuy masuk." ajak Dika yang sudah bangkit dari sofa. "Lu berdua duluan aja dah." Chika dan Dika saling pandang, "Yakin lu Ra?" tanya Chika ragu meninggalkan sahabatnya. Dia sudah paham dengan watak Rara, akan bertindak nekat tanpa memikirkan resiko yang akan diterimanya. "Apaan sih pake yakin yakinan segala. Santui, gue masih mau idup. Ya kali gue bunuh diri, pahala kagak dosa iya." "Alhamdulillah, pikiran lu lagi sehat." takut ditimpuk dengan barang yang ada, Dika sang pelaku langsung melarikan dirinya setelah berkata demikian. "Setan emang lu Dik." umpat Rara setelah melihat Dika keluar dari pintu rooftop. "Gue tinggal ya beb? Entar tas lu gue bawa balik." "Iyaa entar gue paling ujung ujungnya juga ke rumah lu Chik." Chika langsung undur diri, mungkin sahabatnya memang memerlukan waktu untuk menyendiri. Rara berjalan ke tepi gedung rooftop yang masih ada pembatasnya. Dari atas sini, dia bisa melihat bagaimana macetnya Ibu Kota. Ruwet, seperti jalan fikirannya saat ini. Entah dia harus melakukan apa hingga membuat orang tuanya mau hidup dengannya barang seminggu saja. Bahka di hari weekend pun Mamahnya lebih mementingkan arisan dengan teman teman sosialitanya. Dan Papahnya asik dengan teman golfnya. Sungguh Malang benar nasibnya. Ingin membencipun dia ingat perkataan Dika. Serba salah jadinya. Rara mengambil ponselnya disaku bajunya, berniat untuk menghubungi seseorang. "Halo Ngel, di apart lu?" "Sshh, iya beb." Rara menjauhkan ponselnya dari gendang telinganya. Sungguh, telinganya ternodai oleh suara yang tidak mau dia dengar. Langsung saja, dirinya mematikan ponselnya dan bergegas menuju apart temannya. Walaupun dia yakin, kedatangannya akan mengganggu waktu kesenangan temannya. Tapi dia tidak perduli. Toh sudah biasa dia menggangu Angel. Angel, teman dekatnya. Dia lah yang mengajak Rara untuk mengenal dunia malam. Tapi Rara tidak separah Angel, yang suka melalukan one night stand dengan siapapun itu. Baginya amat menjijikan, ketika dipakai berulang kali tetapi berbeda pria. Baru saja dirinya keluar dari pintu rooftop, sudah di cegat duluan. "Eh bapak ganteng. Kenapa Pak liatin saya begitu banget, saya ada salah ya Pak sama Bapak?" Yang ditanya seperti itu, tidak merasa tersinggung sama sekali. Bagus, guru BK yang sudah sering mengahadapi tingkah laku Rara di sekolah. Entah dia harus apa lagi untuk membuat muridnya yang satu ini jera. Sudah berpuluh kali hukuman yang berbeda dia suruh, tapi tetap saja tidak mengubah perilakunya. "Ngapain kamu dari rooftop di jam pelajaran?" tanya Bagus dengan nada yang tidak terdengar ramah sama sekali. Tapi itu bagi Rara, ocehan yang sudah biasa dia dapatkan dari guru BK dihadapannya ini. "Hehehe, biasa Pak cari udara seger. Pusing Pak saya." "Malah jawab." "Lah Bapakkan ngasih saya pertanyaan. Ya saya jawablah Pak." Sebelum melihat gurunya marah untuk kesekian kali, Rara sudah melarikan dirinya. "Almairaaa." teriakan Bagus menggelegar sepanjang koridor sekolah, tapi yang dipanggil tidak perduli sama sekali. Sebelum Rara masuk kedalam mobilnya, dia membuka ponselnya guna mengabari kedua saha Blangsak    Me Woy gue kerumah Angel yaa Dikacut Awas ye lu ikutin dia Chikantik Hooh, entar langsung Aja kerumah yaa Me @Dikacut iyaa bawel santui @Chikantik siapin madang yaa Setelah mendapat persetujuan kedua sahabatnya, Rara langsung masuk mobil. Dia tidak harus khawatir tentang penjagaan gerbang. Karena satpam disana sudah sangat bersahabat dengannya. Jadi bukan masalah besar baginya. Ketika mobil yang dikendarainya sampai didepan pos satpam, Mang Wendi memberhentikannya. "Pagi menjelang siang Mang." sapa Rara. Dia memang tidak pernah menunjukan raut sedihnya kepada siapapun. Hanya kedua sahabatnya lah yang menjadi tempat sampahnya. Semua aib kedua sahabatnya pun tahu. "Petang Neng." jawab Mang Wendi dengan cengiran khasnya. "Mang biasa yaa, nanti wa aja Mamang mau apa." beginilah Rara, karena dibiasakan hidup mewah jadi apa saja bisa dia perbuat dengan uang. "Siipp atuh Neng." Mang Wendi dengan sigap membukakan pintu gerbang dengan hati hati agar tidak terdengar sampai ke telinga para guru. Karena selama ini, ketika dia membantu Rara tidak pernah ketahuan sama sekali. Jadi dia berani melakukan hal ini. "Hatur nuhun nya Mang." "Sami sami Neng. Ati ati ya di jalan." Setelah keluar dari gerbang sekolah, Rara langsung menancapkan gas mobilnya. Dan tidak lupa dia menyetel lagu dengan volume yang besar. Sampai dia tidak menyadari jika ada lampu merah di depannya. Dan Rara terus melajukan mobilnya, dia baru menyadari jika ada suara sirine polisi yang mengikutinya. "Tuh ngapa dah? Pada ngikutin gue." gumam Rara bertanya kepada dirinya sendiri. Rara mengalah, memberhentikan mobilnya. Dan menurunkan kaca mobilnya. "Selamat siang." "Siang," "Apa anda tidak melihat ada lampu merah di sana?" tanya Polisi tersebut. Rara membalikan badannya. Ada lampu merah? Sejak kapan lampu merah itu ada di sana? Berarti tadi dirinya menerobos lampu merah? Pantas saja mobil polisi mengikutinya. "Hehe, maaf Pak. Tadi saya ngga ngeliat." Polisi itu tidak menghiraukan alasan apapun yang diberikan Rara. Dia tetap menuliskan surat tilang. "Boleh saya lihat surat surat lengkapnya?" Deg, Rara baru ingat, dia tidak membawa tasnya. Dompet beserta isinya ada didalam tas sekolahnya. Untungnya STNK mobilnya ada dikunci mobil, jadi setidaknya dia mempunyai bukti kalau mobil ini miliknya. Rara pun menyerahkan STNK mobilnya. "Mana SIM kamu?" tanya Polisi tersebut setelah melihat STNK milik Rara. "Gini Pak, tas saya ketinggalan. Nah dompet saya ada didalem tasnya Pak." Polisi yang menilang Rara langsung meneliti pakaian Rara, dia baru menyadari jika yang ditilangnya adalah anak sekolah. "Kamu bolos?" tanya Polisi tersebut dengan nada sarkasnya. Rara bingung ingin menjawab apa, "Ngga kok Pak, tadi guru guru saya pada rapat. Jadinya kita dipulangin cepet." semoga Polisi dihadapannya percaya dengan kebohongannya. "Alah alesan klise. Ikuti kami ke kantor." Rara pasrah, tidak mungkin dia mengelak jika apa yang dikatakan Polisi tersebut memang benar adanya. Karena takut dirinya kabur, Polisi yang tadi menilangnyalah yang mengendarai mobilnya. Blangsak Me Cuyyy help mee Chikantik Nape lu? Me Gue di tangkep PakPol Dikancut Polisi maksud lu? Me Hooh (Send a picture) Rara mengirimkan foto Polisi yang mengemudikan mobilnya. Dikancut Ada aje ye ulah lu! Tahan dah lu di sono. Masih 6jam lagi kita balik. Me Yaudah. Akhirnya dengan amat terpaksa dia ditahan di kantor Polisi sampai ada yang menjemputnya. Ketika ditanyai orang tua, dia hanya diam saja. Tidak menjawab apapun. **** Akhirnya Dika dan Chika datang secara bersamaan ke kantor Polisi. "Akhirnya lu pada dateng juga." ujar Rara setelah melihat kedatangan kedua temannya. "Niatnya sih tadi ora mau gue. Tapi kesian entar Pak Polisinya ngasih makan orang rakus, entar jatah makan para tahanan lu abisin." canda Dika. "Dik." tegur Chika. "Mamam lu. Udah lu urusin kan semua Dik?" Tadi sebelum mereka menemui Rara, keduanya memang sudah mengurus surat surat Rara dan memberi bukti bahwa Rara bukan orang jahat. "Hm." Ketiganya melangkah secara bersamaan keluar dari kantor Polisi. Mobilnya Rara dikendarai oleh Dhika sedangkan sang empu lebih memilih untuk ikut dengan mobil Chika. Dia membatalkan janjinya dengan Angel. Yang dia butuhkan saat ini adalah kasur. Nanti jika dia ke Apart Angel, yang ada dia melihat hal yang tak senonoh. "Mau madang apaan Ra?" tanya Chika dengan tatapannya yang tak lepas dari jalanan didepannya. Rara yang tadinya sedang memainkan ponsel guna memberikan kabar kepada Angel jika dirinya tidak jadi main kesana, langsung menolehkan kepalanya. "Junkfood ya kali ini?" tanya Rara berharap dirinya diperbolehkan oleh sang sahabat memakan junkfood. Karena ketika mereka makan bersama, tidak ada yang namanya junkfood. Dika lah yang memasak makanan untuk keduanya. Padahalnya Dika cowo, tapi dia memang hobi dengan memasak. Dan cita citanya pun ingin seperti Chef Juna. Tidak aneh menurut Rara dan Chika dengan impian sahabatnya. Malah mereka beruntung, Dika sangat memperhatikan pola makan mereka. Baik dirumah maupun ketika mereka disekolah. "Telfon noh si kancut." Rara langsung mendial nomor Dika, "Halo, apa benar ini dengan saudara Dika ganteng?" Sedikit basa basilah Rara agar Dika mau menuruti keinginannya. "Nape lo?" Tanya Dika dengan nada yang tidak santai. Dia sudah tahu kebiasan kedua sahabatnya, jika ada maunya pasti akan bersikap manis kepadanya. "Dih jutek amat Bang. Madang apaan ini kita?" "Gue mau masak cumi saus tiram sama tumis capcay." Rara menghembuskan nafasnya, lagi lagi Dika memberikan makanan sayuran. Padahal dirinya sangat anti dengn yang namanya sayuran. Tapi Dika akan terus memaksa untuk dimakan. Bahkan pernah sampai dirinya menangis tidak mau makan sayur bayam. "Dik, sekali ini aja yaa. Junkfood, pleaseeeeee..." Chika dibalik kemudi hanya meringis mendengar permohonan sang sahabat. Dia merasa tidak yakin jika Dika mau mengabulkan permintaan Rara. "Apaan?" "YESSSS!! gue mau McD!" "Yaudah. Lu pesen sama Chika. Gue samain aja kayak lu berdua, gue duluan ke sononya." "Okayy beb. See you." Tut, Chika hanya bisa menggelengkan kepalanya ketika mendengar seruan senang dari Rara. Mereka memang jarang sekali memakan makanan seperti itu. Karena Dika, memang memiliki riwayat yang menakutkan tentang makanan junkfood. Adik sepupunya Dika, yang dekat sekali dengannya meninggal. Karena setiap hari memakan makanan siap saji atau junkfood. Jadi Dika tidak mau hal tersebut terulang kembali kepada orang yang dia sayangi. Itu lah salah satu alasan mengapa dirinya juga bercita cita sebagai seorang chef. Dia ingin orang tersayangnya terutama memakan makanan yang sehat. "Tumbenan Ra, si Dika ngebolehin kita junkfood. Biasanyakan sampe lu nangis sekalipun dia ora bakal ngasih." "Au itu bocah. Lagi gesrek kali otaknya mangkannya ngebolehin kita makan junkfood." Chika membelokan mobilnya ke tempat makan yang diinginkan Rara. Dan memesan lewat jalur pemesanan drivethru. Baru saja Chika ingin mengutarakan pesanannya, Rara sudah menyerobot terlebih dahulu. Supaya dirinya saja yang memesan. "Selamat siang, dengan saya Rio. Bisa sebutkan Kakak pesanannya?" tanya petugas tersebut. "Paket chicken wingsnya satu box sama minumnya fanta float satu, matcha late satu, cola floatnya satu, chicken & nasi special with chese nya 3, chicken finger 2, banana choco pie nya 2, choco pie nya satu, chicken and chese muffin 2, chiken muffinnya satu. Oh iya Mas, sama ice cream sunday yang matcha ya satu." Rara memang sudah hafal kesukaan temannya masing masing. Biarkan dirinya khilaf kali ini memesan semua pesanan yang dia inginkan dari lama. Toh nanti pasti ada Bang Beni, Abang nya Chika yang bantu menghabiskan. "Oke Kakak. Silakan kedepan untuk mengambil pesanannya ya." Baru saja Chika mau menjalankan mobilnya, Rara mencegahnya. "Mas," panggil Rara ke sumber suara yang tadi menanyainya. "Iya Kak?" "Semangat kerjanya ya Mas." ujar Rara dengan semangat diringi dengan gaya kepalan tangannya seperti menyemangati seseorang. Padahal orang yang disemangatinya tidak bisa melihat gayanya. Chika yang melihat tingkah absurd sahabatnya seperti itu hanya menggelengkan kepalanya. Sudah biasa baginya. Jangankan petugas McD, bahkan tukang parkir yang dilihat Rara bening pun dia semangati seperti itu. Itulah salah satu hal positif yang didapatkan Chika dan Dika dari Rara. Rara tidak akan menampakan kesedihannya kepada orang orang, bahkan dia dan Dika tidak pernah menagih cerita kepada Rara. Rara lah yang datang menceritakan masalahnya. Bukannya tidak perduli, ada kala nya orang memang membutuhkan waktu untuk berani menceritakan masalah hidupnya. Setelah menerima pesanannya, Chika langsung mengemudikan mobilnya menuju kediamannya. Pasti Dika sudah uring uringan menunggu kedatangan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD