Part 2

1394 Words
"Samlekommm.." teriak Rara kedalam rumah Chika. Sang empu hanya bisa geleng geleng kepala melihat tingkah absurd sahabatnya. "Assalamu'alaikum Ra yang bener." ujar Beni membenarkan salam yang diucapkan sahabat adiknya. "Eh ada Babang ganteng. Belum berangkat kul Bang?" "Belom. Nungguin mobilnya Chika." "Lah lu ngapa nungguin gue? Mobil lu kemana?" tanya Chika tidak terima mobilnya mau dipakai Abangnya. Pernah dia meminjamkan mobilnya, ketika sudah balik ke tangannya dan Chika melihat kondisi mobilnya. Dari luar memang tidak kenapa kenapa, tetapi sewaktu dibuka, bungkus sampah ada dimana mana. Entah apa yang diperbuat Abangnya sampai meninggalkan sampah menggunung di mobilnya. Untung Beni mau bertanggung jawab memberinya uang untuk membawa mobilnya ke tempat pencucian mobil. "Mobil gue dibengkel Dek. Baru bener lusa, mau naik motor belom ngisi bensin." Tak urung Chika memberikan juga kunci mobilnya, "Awas ye mobil gue kayak lagitu. Sampah dimana mana udah kayak pelbak sampah mobil gue." peringat Chika tidak mau kejadian waktu itu terulang kembali. "Yupss, santui. Mau dibawain apa entat balik lu pada?" sudah menjadi kebiasaan Beni, ketika sahabat sahabat adiknya bermain pasti dia membawakan sesuatu dari luar. "Gue mau.." baru saja Rara ingin mengutarakan keinginannya, Dika sudah menyerobot ucapannya. "Ngga ada. Udah Bang, gidah lu caw. Cukup junkfood nya hari ini." tegas Dika. Rara yang mendengar ucapan sahabatnya hanya bisa memberengut sebal. "Wih lu abis kalap Ra? Borong McD ampe segitu banyaknya?" tanya Beni melihat bungkusan yang di bawa adiknya dan Rara. "Nih gue beliin lu chicken muffin Bang. Kedemenan lu kan?" tanya Rara seraya menyodorkan satu bungkus yang berisikan makanan kesukaan Beni. "Cakep dah adek gue yang satu ini." Setelah menerima chicken muffinnya,  Beni segera berlalu menuju kampusnya. Karena setengah jam lagi dirinya ada matkul. Untung jarak dari rumahnya kekampus tidak sampai satu jam, 15 menit bisa lah dia tempuh. Dika yang melihat banyaknya bungkusan yang dibawa Rara dan Chika hanya menggelengkan kepalanya. "Chik, itu lu ikutan milih?" tanya Dika seperti gumaman ke Chika. Chika mendengar pertanyaan Dika, langsung menggelengkan kepalanya. "Kagak. Dia sendiri yang milih, dia juga yang bayar. Gue cuman ngasih ceban." Sedangkan yang dibicarakan masih asik memilih makanannya. Dia memisahkan mana yang mereka makan dan mana yang akan dia berikan kepada anak jalanan yang bisa dia kunjungi. "Lu mau ke yayasan Ra?" tanya Dika seraya mencomot chicken finger kesukaannya. "Hooh. Paling entar gue tambahin lagi, masih kurang ini mah." Dika mengeluarkan dompetnya, menyerahkan uang tiga lembar berwarna merah. "Nih tambahin ya buat mereka. Bebas dah lu mau beli apa." ujar Dika sambil menyerahkan uangnya. "Tengkyuu sayang." Chika dari tadi hanya menatap kedua sahabatnya, "Lu ngga ada niatan buat diriin panti aja gitu Ra?" tanya Chika. Salah satu kegiatan yang berfaedah di Rara. Rara orangnya tipikal yang ringan tangan, dalam artian suka sekali membantu. Maka tidak salah, jika dia memiliki kenalan anak anak jalanan. Bahkan ketika Chika pernah, sewaktu dirinya dan Rara di dalam mobil dalam posisi lampu merah. Ada anak kecil yang mengamen sambil menggendong adiknya. Rara langsung memberikan selembar uang berwarna merah dan menawarkan untuk mengantarnya pulang. Chika pun tidak bisa menolak. Dia juga merasa kasihan dengan anak laki laki itu. Ternyata setelah mereka mengantarkan kerumah anak laki-laki tadi kurang lebih jarak rumahnya dari lampu merah sekitar 1KM dan itu dia tempuh dengan menggendong adiknya untuk mencari sesuap nasi. Semenjak itulah, Rara sering datang berkunjung kerumah Bimo-nama anak lakilaki itu- dan teman teman pengamen Bimo yang lain ikut datang. Bukan masalah bagi Rara, malah dia terlihat bahagia ketika melihat anak yang seharusnya masih mengenyam bangku sekolah tapi harus mengais rezeki. Tidak seperti dirinya yang tinggal sebut nominal pasti Mamah Papahnya akan mengirimkan uang. Bahkan orang tua Bimo, tidak tahu dimana. Jadi dialah yang mengurus sang adik, tidak tega jika Bimo meninggalkan adik perempuannya di rumah. Bukan, bagi Rara itu tidak bisa layak disebut dengan rumah. Atap bocor tidur hanya beralaskan karpet tipis. "Woy Ra, bengong aja lu." tegur Chika melihat sahabatnya sehabis dia memberi pertanyaan, Rara langsung bengong. Seperti memikirkan sesuatu. "Ada sih gue kepikiran buat begitu. Tapi kan ya, harus ada izin ini itu. Gue males ngurusin izin yang ribet begitu." "Coba entar gue tanyain sama Bang Beni. Dia kan anak hukum tuh, kali aja ngerti tentang hukum bangun bangun panti begitu." usul Chika. "Oke. Tabungan gue cukup kok kalo buat bangun panti mah." ujar Rara mengingt tabungannya yang cukup, toh jika kurang dia juga memiliki usaha kafe yang kedua sahabatnya tidak tahu. Masih di rahasiakan Rara. Dia mau mandiri tanpa perlu orang terdekatnya tahu. Biar saja dia dan Tuhan lah yang tahu. "Ehh enak aja. Kita juga ikutan lah. Ya ngga Chik?" "Oya dong pasti. Masa lu doang sendirian Ra, kita lu anggep apaan ini cuy." Rara merasa terenyuh dengan kedua sahabatnya, "Tolong, gue ngga mau mewekkk." gurau Rara pura pura menyeka air mata yang seakan keluar dari kelopak matanya. "Alay lu. Udah ayo makan, mana ini yang buat kita?" tanya Dika, dia takut salah mana yang akan mereka makan dan mana yang akan diberikan ke anak asuh Rara. "Nih, ini punya kita. Ini punya mereka." ujar Rara seraya menujukan mana makanan yang akan mereka makan. "Oh jadi tadi lu beli paket chicken wings tuh buat mereka?" tanya Chika. Dia merasa aneh, sudah memesan paket nasi tapi kenapa harus membeli paket box an. "Yupss. Yuk ah madang." akhirnya mereka bertiga menikmati makan siang yang sebenarnya tidak bisa disebut makan siang lagi. Makan sore yang ada. Karena waktu sudah menujukan pukul setengah tiga. **** Tok.. Tok.. Aldo yang dari tadi asik berkutat dengan laptop dihadapannya, mempersilakan sang sekertaris masuk. "Masuk," "Misi Pak," sekertaris yang tadi mengetuk pintu langsung masuk kedalam setelah di persilakan untuk masuk. "Ada apa?" tanya Aldo tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. "Ini Pak, mau menyerahkan berkas yang tadi Bapak minta." "Taro di meja." "Bapak mau makan siang apa? Biar saya suruh OB untuk membeli makanan untuk Bapak." "Saya mau sashimi sama dimsum." "Baik Pak, ada lagi Pak?" "Tidak." Setelah izin pamit, sang sekertaris sudah menghilang dari pandangannya. Baru saja konsentrasinya ke laptop lagi, sudah terganggu dengan bunyi ponselnya. Aldo melirik sekilas ke tampilan layar ponselnya. Nyonya besar is calling you Panggilan dari Nyonya Besar tidak bisa dia abaikan, jika dia mengabaikan berarti sama saja dirinya tidak sayang dengan gendang telinganya. "Halo, kenapa Mah?" "Pulang kerumah hari ini! Mamah ngga mau denger alesan ngga bermutu kamu." Aldo menghembuskan nafasnya secara kasar, dia memang paling susah jika disuruh pulang kerumahnya sendiri. Pasti ujung ujungnya sang Mamah akan menanyakan "KAPAN MAMA GENDONG CUCU?" Jika saja kawin itu diperbolehkan, maka dia akan mengawini wanita manapun dan jika wanita itu hamil dia ambil anaknya, tidak perlu repot untuk bertanggung jawab. "Aldo Frenklin! Jawab Mamah." Jika Mamahnya sudah memanggil dengan nama lengkapnya, itu berarti Mamahnya sudah amat marah. "Iya Mah, nanti Aldo pulang." "Awas kamu ngga pulang. Mamah coret nama kamu dari kartu keluarga." "Hm." Tut, Mamahnya langsung mematikan sambungan telfon saat putra bungsunya sudah menjawab keinginannya. Mungkin malam ini dia membutuhkan hiburan. Hiburan yang bisa dia dapatkan kapan saja. Aldo langsung mendial nomor yang biasa dia hubungi ketika ingin hiburan. "Siapkan sweet room untuk saya malam ini." "Baik tuan." Tut, Setelah mematikan sambungannya, Aldo kembali menekuni pekerjaannya sampai pintunya terketuk dari luar. Ternyata sekretarisnya lah yang membawakan dirinya makan siang. Aldo langsung menyantap makanan kesukaannya dan meninggalkan sejenak pekerjaannya. Aldo memang bisa dibilang seorang workaholic. Sampai Mamahnya sudah lelah untuk menceramahi. Mungkin bisa dibilang sifat Aldo seperti itu menurun dari Papahnya. Papah Aldo juga seorang workaholic sampai menikahpun terkadang masih lebih mementingkan pekerjaannya ketimbang istrinya sendiri. Dan Mamah Aldo sudah lelah dengan tingkah laku kedua lelaki tersayangnya. Untungnya Kakak Aldo, tinggal sementara dirumahnya. Karena suami putrinya itu sedang bertugas diluar kota. Dan tidak memungkinkan putri sulungnya untuk ikut dalam keadaan perut buncit. Dan dia bisa bersenang senang dengan cucu pertama nya. Jadi dia tidak merasa kesepian. Aldo memang sudah mandiri semenjak sekolah menengah. Dan ketika dirinya baru masuk di jenjang perkuliahan semester 4, dirinya langsung diserahkan salah satu  perusahaan Papahnya di Jakarta. Bukan masalah bagi Aldo, karena dirinya suka tantangan. Jadi dia menjadikan ini sebuah tantangan yang diberikan Papahnya. Berkat tekadnya dan keberaniannya, di usia 28 tahun dirinya sudah mendapat gelar anak muda yang suskses mengembangkan perusahaannya dan bersaing dengan perusahaan yang dipimpin oleh orang yang seumuran dengan Papahnya. Suatu kebanggan memang bagi keluarga Frenklin. Tapi ada satu hal yang belum bisa diwujudkan Aldo, memberikan rengekan Mamahnya. Seorang cucu. Padahal Kakaknya sudah memberikan Mamahnya cucu, mau dua malah. Tapi kata Mamahnya,  beliau mau menggendong cucu dari Aldo bukan dari Rani-Kakak Aldo-. Biarlah takdir yang menjawab kapan Aldo akan mengabulkan permintaan Mamahnya. Toh selama ini dia bermain aman juga, jadi wanita yang dipakainya tidak sampai hamil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD