Ep. 8 Terjebak di Kuil Rahasia

3001 Words
Seperti biasanya, saat kafe baru buka, Kaili berpose bersama menu spesial hari itu untuk diposting di akun sosmednya. Zhuo membuat Chinese pumpkin cake dengan hiasan kekinian, dalam wadah mangkok kertas diberi siraman cokelat masak dan taburan mutiara edible. Kaili bahkan memakan kue itu sebagai sarapannya. Kue labu tersebut terbuat dari bahan utama labu kuning yang kaya vitamin A dan beta-karoten. Kedua zat tersebut sangat bagus untuk kulit, paru-paru, ginjal, dan tulang supaya tetap sehat. Labu juga berguna sebagai sumber protein yang dibutuhkan mata agar berfungsi baik. Beta-karoten yang memberikan warna oranye pada labu adalah antioksidan yang sangat kuat. Bisa memicu tubuh kita melepaskan sel NK (natural killer) yang melawan dan memusnahkan radikal bebas penyebab kanker. Hari itu pekerjaannya berjalan lancar. Pengunjung kafe cukup ramai efek kunjungan Han Junjie, sehingga menu laris dan buku-buku koleksi kafe jadi banyak dibaca orang. Di sela-sela waktu, Kaili bisa membaca buku sebagai hiburan dan menambah wawasannya. Malamnya, Manajer He menjemputnya untuk main game di apartemen Han Junjie. Kaili hati-hati mengemukakan usulnya pada Manajer He. "Pak He, karena mesin game itu sudah terdaftar atas akunku, bagaimana kalau mesin itu dipindah ke kafe saja? Jadi aku tidak perlu pulang pergi malam-malam seperti ini." Manajer He menjawab sambil mengetik di ponsel. "Kita pikirkan itu nanti, Kaili. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi, yaitu kamu harus latihan dance yang intensif. Tidak ada tempat terbaik untuk melakukan itu selain di studio Han Junjie." "Aku cuma main game, kemampuan menariku rasanya tidak akan berpengaruh terhadap hal itu," gumam Kaili, tetapi lekas disela Manajer He. "Begini, yang akan kau lakukan nanti bukan sekadar main game. Kau akan ikut kompetisi Dancing With The Star." Kaili terperangah. "Kenapa bisa begitu? Kakak Zhuo tidak memberitahu apa pun soal itu." "Itu baru saja diputuskan," kilah Manajer He. Kening Kaili mengernyit. "Jadi, aku akan tampil di televisi?" Ini akan jadi debutnya di pertelevisian. Tapi kenapa mesti dia? "Apakah ini ulah Han Junjie?" "Iya. Ia ingin kau ikut acara itu, karena nanti dia bintang tamunya." Kaili meringis. "Jadi, Han Junjie benar-benar memberdayagunakan aku, hah?" Manajer He malas menjelaskan situasi sebenarnya. "Ikuti saja keinginannya. Anggap ini kesempatan emas untukmu, tapi syaratnya kau harus menang. Kalau tidak, Junjie akan menuntutmu mengembalikan uangnya 10 juta $HK, plus bunga dan biaya operasional selama ini." Kaili terbelalak. "Apa? Han Junjie benar-benar lintah darat! Juga diktator! Memangnya dia siapa? Kim Jong Un?" "Ia investormu, jadi biasakan menyenangkannya." "Apa??" "Dan berhenti memanggilnya seolah kau teman akrabnya. Junjie, Junjie, Han Junjie. Ia seniormu dan sekarang bisa dikatakan dia bosmu. Panggil dia Tuan atau Tuan Muda." "Apa??" Kaili terjungkal dari kursinya. Ia bangkit lagi duduk seperti semula sambil meringis, "Memangnya Han Junjie punya teman? Dan ia mengharapkan aku bersikap hormat padanya? Ia saja tidak pernah memperlakukanku dengan hormat." "Kapan ia memperlakukanmu tidak hormat?" Waktu di Kuil Dewi Labu! Namun, Kaili tidak jadi mengatakannya, menyebabkan dia termangap sesaat, kemudian mingkem dan membuang muka ke jendela. Manajer He berusaha menentramkan perasaan Kaili. "Han Junjie memang suka bicara sesuka hatinya dan kadang kala sikapnya kasar. Itu karena kejenuhannya menjadi idol yang dituntut menyenangkan fans. Ia bahkan trauma karena sering kali mereka menyentuhnya berlebihan sampai mengabaikan keselamatan diri mereka sendiri dan keselamatannya. Bukan hanya menyakiti, ada yang sampai memegang bagian privat tubuhnya. Belum lagi hadiah-hadiah aneh dan pesan-pesan aneh berbau seksual yang diterimanya. Tidak mudah menjadi Han Junjie. Di puncak kesuksesannya, ia tidak punya kehidupan pribadi. Sementara jika ia jatuh, ada banyak hiu-hiu kelaparan yang siap menerkamnya." Muka Kaili seketika berubah datar. "Jadi, maksud Anda, Pak He, semua itu menjadikan Han Junjie boleh bertindak semena-mena pada orang yang bisa dikendalikannya?" Tanpa ragu Manajer He menyahut, "Iya. Ia ibarat anak milyuner yang manja luar biasa dan semua keinginannya harus dituruti. Kita bekerja padanya. Kita butuh uangnya, kita harus menyenangkannya. Dan sadari satu hal, Wang Kaili...," gadis itu menatapnya, mendengarkan dengan serius, "ada banyak gadis di luar sana yang ingin berada di posisimu. Jadi, bersyukurlah Han Junjie membuka peluang untukmu. Walaupun caranya tidak menyenangkan, kau tetap diuntungkan dari semua ini." Ucapan Manajer He membuat Kaili merenungkan sikapnya. Begitu sampai di apartemen Han Junjie dan berhadapan dengan pria itu, Kaili member salam dengan membungkuk hormat. "Selamat malam, Tuan Han Junjie." Muka Han Junjie malah meringis. Ia buru-buru bicara melalui ponselnya. "Apa kau mengalami benturan selama di perjalanan ke sini?" Kaili spontan menyahut, "Berengsek! Aku mencoba menunjukkan rasa hormatku, tapi kau malah mengolok-olokku!" "Karena itu aneh. Tiba-tiba saja. Memangnya kenapa kau memutuskan bersikap seperti ini? Karena aku kaya? Karena aku seniormu? Karena kau dalam kekuasaanku?" "Ya, sudah jelas 'kan? Apalagi yang kau pertanyakan?" "Kau munafik kalau begitu," tuding Han Junjie. "Hei, setidaknya aku jujur. Pak He yang menasihatiku. Aku hanya melaksanakan anjurannya karena ia orang tua, oke? Aku tidak ingin dikatakan tidak menghargai orang tua." Han Junjie manyun, lekas mengalihkan perihal. "Ya sudah! Ayo cepat ke mesin game-mu. Kita lanjutkan yang kemarin. Aku sudah jenuh di gua itu!" Ia berjalan ke ruang game lebih dulu. Kaili mengekornya sambil bergumam, "Kau selalu mengeluhkan banyak hal, tapi malah menyepelekan hal-hal kecil. Aku rasa hilangnya suaramu adalah hukuman karena kau terlalu banyak bicara kasar menyakiti orang lain." "Diamlah dan lakukan tugasmu saja. Tidak usah banyak komentar!" balas Junjie dengan muka jutek, melirik ke langit-langit. Ia ingin segera log in agar bisa bicara lebih leluasa melalui mesin game. Keduanya hadir kembali di kuil rahasia itu dengan keadaan bu.gil seperti terakhir mereka tinggalkan. "Oh, astaga!" Kaili lekas menyedekap tubuhnya lalu meraih kelopak bunga labu raksasa dan menjadikannya penutup tubuhnya untuk sementara. Han Junjie berdiri tegap berkacak pinggang memandangi mulut gua yang tertimbun reruntuhan. Kaili menegurnya sambil memejamkan mata. "Junjie, kenakan sesuatu! Apa kau akan telanjang sepanjang waktu?" "Carikan sesuatu untuk kukenakan!" Han Junjie malah balik menuntut. Kaili menggerutu, "Hhhh..! Benar kata Pak He. Laki-laki ini anak milyuner yang manja luar biasa!" Ia ambil sehelai kelopak bunga dan menyerahkannya pada Han Junjie sambil berpaling. "Nah, ini! Cepat kenakan ini dulu!" Han Junjie menerima kelopak besar itu dan mencoba mematut di bagian pinggangnya. "Bagaimana cara memakainya?" Ia bergumam sendiri. Kaili tercenung melihat tingkah lugu pria itu. Han Junjie tidak pernah hidup di pedesaan bermain di alam terbuka dan menjadikan dedaunan sebagai bagian dari fesyen. Kaili menyatukan beberapa helai kelopak menggunakan bilah lidi sebagai jarum, membentuk gaun pas di badannya. Kemudian ia mengambil kelopak di tangan Han Junjie dan menyatukannya membentuk celana pendek. Ia melakukannya sambil berusaha keras mengabaikan anggota badan khas pria itu. "Benar-benar! Ini seperti kembali ke zaman prasejarah saja. Apa tidak ada yang lebih baik bisa kau sediakan? Katanya kau Dewi Labu," gerutu Han Junjie. Kaili jadi sebal mendengarnya. "Heh, ini yang terbaik yang bisa kita temukan. Lagi pula, siapa yang melucuti semua harta bendaku sejak awal? Aku tidak punya apa pun kecuali pakaian yang melekat di badan ulah kamu dan anak buahmu! Sekembalinya ke desa nanti, aku minta kembalikan semua barang milikku! Dasar Han Junjie perampok!" "Hei, jangan sebut-sebut namaku segampang itu di sini! Kalau ada yang mendengar, bagaimana? Aku tidak mau ada yang menangkap basah aku dalam keadaan seperti sekarang!" kecam Han Junjie. "Ah, ya, Han Junjie yang anti kemunafikan, justru paling munafik. Aku tidak peduli. Selama kau masih main game ini, lambat laun semua orang akan tahu siapa Kaisar Han sebenarnya." Kaili berucap sambil berjalan menjauhi Han Junjie. Namun, mulutnya tiba-tiba dibekap dan Han Junjie mengancamnya. "Kau tidak peduli? Bagaimana kalau begini: jika identitasku terbongkar karena ulahmu, aku buat kafe Zhuo dirating bintang 1!" Kaili berontak dengan memukul tangan Han Junjie dan lekas berbalik menatapnya terperangah. "Tega sekali kau, Han Junjie!" "Apa yang kurasakan kalau identitasku terbongkar sama dengan situasi itu. Jadi, jangan mempersulitku atau aku akan membalas dengan cara yang sama!" Kaili terdiam mendengkus kembang kempis. Rahangnya merapat, ingin sekali memaki, tetapi tidak tahu makian apa lagi yang pantas untuk Han Junjie. Kaili berbalik seraya mendesis sendiri. "Sialan!" Han Junjie berujar lantang, "Mulai sekarang panggil aku Grizz!" Kaili tidak menyahut. Han Junjie terus mencecarnya, "Atau Kaisar Han. Atau Yang Mulia. Kau pilih yang mana asalkan bukan nama asliku." Kaili memutuskan tidak menggubrisnya. Ia melihat jalan keluar satu-satunya tertutup reruntuhan, sehingga mengeluarkan jurus tinjunya menghantam bebatuan tersebut, tetapi malah membuat langit-langit dan dinding kuil bergetar. Kaili terpekik, buru-buru ke tepi ruangan sambil melindungi kepalanya. Han Junjie meneriakinya. "Heh, go.blok! Kalau cara itu bisa berguna, sudah dari kemarin aku menghancurkannya! Kita berada di dalam. Apa kau ingin kita mati terkubur di kuil ini?" Kaili balas berteriak, "Mana aku tahu? Aku bukan ahli geologi. Kalau begitu kau saja yang pikirkan bagaimana cara keluar dari sini." "Satu hal yang aku tahu, dalam kuil rahasia pasti ada jalan rahasia. Ayo kita periksa dinding dan lantai, pasti ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk." Han Junjie mulai memeriksa dinding dan lantai, mengetuk-ngetuk dan menempelkan telinga merasakan getaran serta bunyi-bunyian. Kaili berjalan-jalan sambil melihat-lihat sekeliling. Dinding terdapat ukiran sudah aus berupa jalinan tanaman merambat dan buah-buahan jenis labu aneka bentuk. Lalu ada gambar simbolis sungai, gunung, manusia yang memanggul labu raksasa yang memiliki pintu dan jendela. Juga kereta kuda berbentuk labu mirip punya Cinderella. Han Junjie mendengarkan sesuatu. Ia bergerak cepat merapat dari dinding lalu merangkak ke lantai. Ia agak lama mendengar saksama bunyi di bawah lantai yang pernah menjadi alas Kaili saat disetubuhinya. Ia sapu permukaan lantai tanah itu dengan kedua tangannya lalu tampaklah lantai itu berupa ubin besar berlukisan liuk-liuk tanaman rambat dan warnanya pun sudah sangat pudar hingga sama seperti tanah. Han Junjie berlutut memandangi lantai itu untuk beberapa waktu. Kaili keheranan dan bertanya, "Kenapa ... ehm, Yang Mulia? Ada apa dengan lantai ini?" Suara Han Junjie menjadi sangat serius dan berwibawa. "Aku mendengar suara aliran air di bawahnya. Aku yakin di bawah gua ini ada sungai. Itu bisa jadi jalan keluar kita." Ia menoleh ke sekitar mencari sesuatu yang bisa jadi pengungkit atau tombol pembuka jalan rahasia, tetapi tidak tampak satu pun. Tidak ada tuas obor, batu atau besi yang mencurigakan. "Bagaimana cara kita membukanya?" tanya Kaili. Han Junjie memperhatikan saksama lagi sekitarnya. Petunjuk yang menonjol adalah tanaman labu yang tumbuh merambat. "Sulur-sulur yang memenuhi ruangan ini menghilang seperti cara mereka muncul, yaitu dari dalam tubuhmu. Aku rasa artinya kau bisa menumbuhkan tanaman labu dan menggerakkan mereka sesuai keinginanmu." "Benarkah?" Han Junjie berdiri dan menghadap Kaili dengan da.da dibusungkan mengintimidasi gadis itu. "Kau melempariku dengan labu. Tidakkah kau ingat cara mengeluarkannya?" "Itu ... itu ... terjadi begitu saja." "Kalau begitu, coba sekarang juga. Tumbuhkan tanaman labu di bawah lantai supaya ubin itu terangkat." "Aku ... aku ...." Kaili gelagapan karena Han Junjie tiba-tiba saja mendekatinya. Ia melangkah mundur sebagai antisipasi. "Kenapa? Tidak yakin kau bisa melakukannya? Tidak yakin cara itu akan berhasil?" "I-iya. Apa tanaman bisa sekuat itu mengangkat ubin berat?" "Aku kira kau cukup pintar, ternyata kau terlalu banyak berpikir hal yang tak berguna. Jika aku menyuruhmu tumbuhkan, maka tumbuhkan!" ucap Han Junjie lebih tegas dan nyaring. Kaili tersentak karena Han Junjie sangat dekat memepetnya, suara pria itu membuat telinganya pengang. "Cepat tumbuhkan!" "Aku tidak bisa!" Saaat... Han Junjie mengangkat kedua tangannya dan meremas kuat gundukan buah dara Kaili. "Kyaaah!" Pekikan Kaili melengking. Bersamaan dengan itu, sulur-sulur labu meluncur dari belakangnya beserta buah-buah labu besar menghantam wajah Han Junjie. Satu dua labu mengenai wajahnya membuat Han Junjie terhuyung mundur kemudian ia bergulung menghindar. Sisa-sisa tanaman labu berserakan di lantai. Kaili terengah-engah sambil memegangi dadanya yang berdenyut. Jika tidak sedang terpukau dengan jurus labu tadi, mungkin ia menghajar Han Junjie karena sudah berbuat tak senonoh. Han Junjie bangkit sambil menyengir. "Hehehe. Sepertinya kau butuh sentuhanku untuk bisa mengeluarkan jurus saktimu." Muka Kaili merah padam. "Tidak perlu! Aku tidak sudi kau sentuh!" bentaknya. Han Junjie memandang merendahkannya. "Oh ya? Kalau begitu, cepat tumbuhkan labu di bawah lantai itu!" Lalu ia bersedekap menunggu. Kaili menarik napas dalam beberapa kali, kemudian mengangkat kedua tangan seolah menyihir sesuatu. Ia berusaha mengeluarkan sulur labu sekuat tenaga sampai-sampai muka merah dan peluh bercucuran seperti mengejan buang air besar yang keras membatu, tetapi yang diharapkan tidak tumbuh juga. Sampai tiba-tiba sepasang tangan meremas gundukan pantatnya. Mata Kaili terbelalak. Han Junjie berbisik dari belakang Kaili. "Ba!" "Kyaaah! Dasar me.sum!" pekik Kaili. Namun, mendadak ia termangap karena sulur labu tumbuh dalam hitungan detik dari sela ubin dan kepingan batu itu terangkat bersamaan munculnya buah labu yang cukup besar hingga Han Junjie bisa mengangkat ubin dan mengesampingkannya. "Nah, 'kan! Apa kubilang?" olok Han Junjie. Sebuah labu kuning bercokol di muara lubang segi empat bekas ubin tadi. Terlihat ada undakan jalan rahasia turun ke bawah lantai dan suara aliran air terdengar jelas. Kaili tidak punya waktu marah-marah. Ia dan Han Junjie segera menuruni jalan rahasia itu dan mereka berhadapan dengan aliran sungai yang cukup dalam. "Tampaknya ini aliran anak sungai di luar gua. Sepertinya kita harus menyelam untuk sampai ke permukaan sungai," gumam Han Junjie. "Pertanyaannya, berapa lama kita harus menyelam?" Kaili jadi gugup. "Apakah kita menyelam bersama-sama?" "Tidak. Kau tunggu di sini. Aku akan pergi lebih dulu untuk memastikan arah kita benar. Setelahnya aku akan kembali menjemputmu." Han Junjie turun ke dalam air tanpa mengindahkan Kaili yang terpaku di pinggir sungai. Gadis itu merisik cemas. "Junjie, kau yakin? Kau tidak akan membohongiku, 'kan?" "Jika kau memanggilku Junjie lagi, aku bersumpah tidak akan kembali ke sini," gumam Han Junjie lalu ia menyelam. "Yang Mulia!" panggil Kaili ingin menangis, tetapi Han Junjie tidak terlihat lagi, tenggelam dalam kegelapan air dalam. Detik demi detik berlalu begitu lama. Kaili mondar mandir tak tenang. Kalau berhenti, ia menatap permukaan air berharap Han Junjie muncul, tetapi tidak muncul juga. Suara-suara aneh mulai terdengar dalam jalur rahasia itu, menambah ketakutan Kaili kalau-kalau ada siluman yang akan menyerangnya. Kaili meremas-remas kepalan jemarinya sambil bergumam, "Han Junjie ... cepat kembali. Aku berjanji tidak akan menyebut nama aslimu lagi. Mulai saat ini aku akan menyebutmu Yang Mulia." Kersak. Kersak! Suara sesuatu bergemeresak membuat Kaili terjengkit. Ia terpojok di bebatuan. Takut sesuatu akan muncul dari air atau dari sisi gua. "Fuahhh!" Han Junjie tiba-tiba muncul dari dalam air dan menarik napas dahulu. Sontak Kaili masuk ke air dan berpegangan ke lengan Han Junjie. "Cepat kita pergi dari sini, Yang Mulia! Sepertinya ada sesuatu di sana," katanya. Han Junjie tercenung sesaat oleh pegangan erat Kaili padanya dan kecemasan di wajah gadis itu. Han Junjie menggenggam tangan Kaili sambil memberitahunya. "Tarik napas dalam-dalam. Perjalanannya agak jauh. Kau mungkin akan kehabisan napas kalau tidak terbiasa." Selesai berkata demikian, ia langsung menarik napas lalu menyelam. Kaili bergegas melakukan hal yang sama. Penglihatannya dalam air terhalang pundak Han Junjie. Kaili kalut, tetapi merasa aman selama Han Junjie memegang tangannya. Untuk semenit, penyelaman mereka lancar, sampai ketika Kaili melihat di sudut matanya, sesuatu yang hitam pekat bergerak di belakangnya. Spontan Kaili menoleh dan terbelalak melihat kepala besar salamander raksasa menuju ke arahnya. Kaili kelabakan. Han Junjie merasakan gerakan tak karuan, menoleh pada Kaili dan melihat apa di belakang mereka, ia pun turut terbelalak. Bersama-sama mereka mempercepat gerakan kaki. Terang mulai terlihat di depan sana. Sedikit lagi mereka sampai di permukaan sungai. Han Junjie punya stamina yang sangat bagus karena itu napasnya bisa tahan lama. Namun, Kaili yang lebih lemah, serta panik, membuatnya cepat kehabisan napas. Kaili kehilangan kesadarannya dan tak bergerak lagi. Han Junjie menyadari Kaili lemas dan lepas dari tangannya. Ia tersentak gadis itu melayang. Ia menggapai meraih Kaili. Untungnya tidak terlalu jauh. Ia genggam tangan Kaili dan menariknya lalu ia berenang sambil mendorong Kaili agar sampai ke permukaan lebih dulu. Tiba di permukaan sungai, segera ia dekap erat dan menyeret tubuh Kaili ke tepi sungai. Ia rebahkan sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu. "Kaili! Kaili, bangun!" bentaknya, tetapi gadis itu bergeming. Brussshhh! Siluman salamander muncul dari dalam air melompat tinggi ke udara. Han Junjie mendongak mengawasi makhluk serupa kadal tersebut. Level siluman tersebut jauh lebih rendah, hanya mungkin merepotkan kalau dalam air. Di luar air, sepertinya tidak akan merepotkan. Salamander menyerang Han Junjie dengan pecutan lidahnya. Han Junjie menangkisnya sehingga lengannya berbaret merah karena ia tidak bisa menghindar bersama Kaili. Pecutan berikutnya, ia tangkap lidah salamander itu, ia tarik sekuat tenaga lalu ia putar-putar dan ia lempar ke tebing untuk mengakhiri hidup siluman tersebut. Jasadnya terkapar di tebing menjadi makanan burung-burung dan serangga di sekitar sungai. Han Junjie kembali pada Kaili yang masih pingsan. Ia menyalurkan napas buatan ke mulut gadis itu, kemudian menekan dadanya beberapa kali. Air keluar dari mulut dan hidung Kaili. Gadis itu terbatuk-batuk, tetapi tidak serta merta sadar sepenuhnya. Kaili terbaring tak berdaya. Sepasang matanya berkedip lemah. Tangannya gemulai meraba-raba badan padat pria penolongnya. Sayup-sayup terdengar perkataan Han Junjie mengomel, "Makanya kau harus olah raga ketat! Permainan game ini sama seperti pertarungan hidup dan mati. Ingat, aku membayarmu 10 juta $HK. Kau berhutang padaku jika gagal dalam game ini." Kaili tidak mengerti apa yang diucapkan Han Junjie. Ia tersenyum tipis lalu berucap lirih, "Yang Mulia ... terima kasih ...." Lalu matanya terpejam rapat. Han Junjie panik. Ia tepuk-tepuk wajah Kaili. "Hei! Hei! Jangan mati, hei! Lili Kecil, buka matamu! Jangan mati! Kita baru mulai main level baru, masa kau mati begitu saja? Heiiii!" Han Junjie segera memberikan napas buatan lagi sebanyak dua set. Namun, kemudian ia berhenti karena menyadari gadis itu tidak dalam kondisi bahaya lagi. Kaili tidur dengan wajah lembut tersenyum tipis. Sekitarnya tumbuh sulur-sulur merambat dengan daun-daun terbuka lebar. Kuncup-kuncup bunga kecil berwarna kuning bermekaran, menyerap energi sinar matahari. Han Junjie menggerutu, "Sungguh, Lili kecil? Kau tidur di saat-saat seperti ini?" Gadis itu tidak menjawab, yang mana membuat Han Junjie merasakan sekitarnya sangat hening. Ia tatap Kaili dan terenyuh pada wajah tenangnya. Tidak mungkin ia meninggalkan selirnya tanpa pertahanan seperti saat itu. Perlahan ia berbaring di sisi Kaili dan mengusap pipinya. Hanya di dunia virtual ia bisa bersentuhan dengan seseorang tanpa beban karena tahu mereka semu belaka. Bibir Kaili merona merah alami berkilau tampak sangat manis bak ada tetesan madu di sana. Han Junjie mencondongkan wajahnya mengecup lembut tetesan itu. Hasratnya bangkit dengan cepat, sehingga ia sesap lebih banyak lagi manis madunya. Ia bergumam parau seraya merangkak mengungkung tubuh gadis itu. "Lili Kecil, aku harus menyentuhmu agar tenagamu cepat terkumpul. Jangan salahkan aku, manis. Aku tidak ingin berlama-lama di sini. Perjalanan kita masih panjang." Ia sibak pakaian kelopak bunga Kaili dan menemukan jalan masuk surganya. Muara itu pun segera penuh sesak dijejali keperkasaannya. *** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD