Part 3

2282 Words
Handle pintu terbuka dan sosok Kal melangkah masuk ke dalam rumah. Seharusnya dia bisa pulang lebih cepat hari ini, tetapi dia terhambat karena perbaikan jalan menyebabkannya harus memutar arah yang jauh "Jam setengah satu, bagus sekali," gumamnya saat melihat jam di tangan. Tatapannya terarah pada ruang tengah yang lampunya masih menyala, sayup-sayup terdengar suara televisi. "Liu?" panggilnya ketika menemukan kekasihnya duduk di sofa memeluk bantal. Begitu melihat Liu tengah tertidur, dia bergegas menghampiri. "Liu, bangun." Tak perlu waktu lama untuk membuat mata Liu terbuka. "Hng ... Kal?" "Kau belum tidur?" Liu menggeleng sembari mengusap matanya yang lengket. "Aku menunggumu." "Kau sudah makan?" "Sudah." Kal mengangguk. Dia beralih melepas sepatu dan jam tangan yang melingkar di tangannya, disusul melepas jaket dan melipat lengan kemeja sampai ke siku. Malam ini agak gerah. "Kau belum makan?" tanya Liu saat Kal sudah selesai dengan kegiatannya. "Belum." Kal menjawab saat sudah bangkit dari tempat duduknya. "Aku akan makan mie instan, masih ada, 'kan?" Liu buru-buru menegakkan tubuhnya. "Tadi pagi kau sudah makan itu. Aku sudah masak tumis daging, kau hanya harus menghangatkannya di microwave." Saat tak ada jawaban dari Kal, Liu berdiri sambil berujar, "Kalau kau tidak mau biar aku yang melakukannya untukmu." Liu melangkah ke dapur dan menarik tangan Kal hingga membuatnya terhenti. "Aku mau makan mie," kata Kal. "Tidak, Kal! Jangan sia-siakan masakanku lagi kali ini." Akhirnya Kal mengalah dan beringsut duduk di sofa dengan nyaman. Liu mulai mengambil tumisan daging yang ada di lemari kaca dan mulai menghangatkannya. Liu termenung, kalau sudah larut seperti ini dia tidak berani bertanya macam-macam pada Kal. Kekasihnya itu pasti lelah karena pekerjaan. Padahal Liu sudah sering kali melarang untuk mengambil kerja tengah malam seperti itu, tapi Kal selalu bersikeras. Beberapa menit kemudian tumis daging itu sudah hangat kembali. Liu mengambilkan nasi dalam mangkuk kecil, sendok dan juga air putih. Begitu dia kembali ke ruang tengah, Kal sudah terlelap dengan indah di atas sofa. Satu tangannya menjuntai ke bawah menyentuh lantai. Mendesah, Liu terpaksa menaruh lagi baki itu di meja dapur dan menghampiri Kal. "Padahal kau belum makan," katanya dengan sangat pelan, mengusap pipi Ka dengan lembut. Liu bergegas masuk ke dalam kamar untuk mengambil selimut. Dibenahinya posisi tidur Kal sepelan mungkin sembari membentangkan selimut. Wajah pria itu terlihat sangat lucu ketika sedang tidur. Mulutnya sedikit terbuka. "Selamat tidur, Kal." Saat pagi akhirnya tiba, Liu tergesa-gesa membuat sarapan di dapur. Rupanya dia bangun kesiangan dan lupa menyetel alarm. Padahal malam ini terasa begitu dingin tanpa Kal di sampingnya. Pria itu seharusnya tidak ketiduran di sofa semalam. Empat lembar roti tawar panggang dengan beberapa selai sudah tersaji di meja. Liu juga membuat satu gelas s**u cokelat untuk Kal dan satu kopi untuk dirinya. Saat melihat jam di ruang tengah, saat itu pula dia melihat Kal berjalan masih dengan mata terpejam. Liu tersenyum kecil. Dulu saat awal mereka tinggal bersama, Liu pikir Kal punya kebiasaan sleepwalking. Tetapi nyatanya tidak, pria itu sudah bangun dan ... hanya mengantuk. "Awwuhh!" Kal mengaduh tiba-tiba dan terdengar benda keras yang jatuh, Liu bergegas melihat apa yang terjadi. Di sana, Kal duduk di depan tembok dekat kamar mandi. Liu langsung menghampirinya. "Aduh! Mataku ... mataku buta, hidungku penyok, kepalaku terbentur! Aku amnesia! Aku di mana? Aku siapa?" "Kau hanya memar, Kal." Liu mendesah. "Lain kali hati-hati." Kal membalasnya dengan mengaduh sambil mengusap-usap dahinya. Lalu dia terkejut sendiri saat melihat pakaiannya masih sama dengan yang kemarin dipakainya saat bekerja. "Kenapa aku tidak ganti baju?" gumamnya. Ternyata Liu mendengar walau kini dia tengah berada di dekat bufet untuk mengambil salep memar. "Kau tidak ingat? Kau ketiduran di sofa saat aku menghangatkan makanan. Dan aku tak cukup berani untuk mengganggumu tidur." "Oh," Kal menjawab singkat. Tangan Liu meraba dahinya untuk mengoleskan salep di sana. Rasanya sedikit nyeri, mungkin dahinya memerah. Lalu pandangannya beralih pada tubuh Liu yang sudah berpakaian rapi. "Kau sudah mau berangkat? Jam berapa ini?" "Jam delapan," sahut Liu dengan asal. "Hari ini aku pulang malam jadi jangan menungguku." "Baiklah." Tiba-tiba saja ponsel Kal berdering di saku celana. "Lihatlah kau bahkan tidak mengeluarkan ponselku dari kantung." Liu membalasnya dengan kekeh ringan, lalu kembali ke bufet meletakkan salep obat itu di sana. Saat kembali ke dapur, dia membawa roti panggang dan s**u coklat hangat ke meja ruang tengah. Di sana, dia melihat Kal terkekeh sembari mengetik sesuatu di ponsel. "Pesan dari siapa?" Kal mendongak, tapi hanya sebentar. "Dari temanku," tangannya menerima roti bakar dari Liu dan memakannya. "Ah, aku lupa sikat gigi." Sepertinya Liu tidak mendengar, pria itu justru memberi pertanyaan lain, "Kenapa temanmu mengirim pesan sepagi ini?" tanyanya bingung. Liu sudah hafal bagaimana Kal di pagi hari, dan dia yakin bahwa teman-teman Kal juga tahu bahwa kekasihnya itu bukan morning person. Percaya diri sekali mengirim pesan sepagi ini. "Ada urusan apa?" "Bukan apa-apa." Kal menjawab dengan ringan, meskipun ada nada menyelidik dari pertanyaan Liu. Lalu tersenyum misterius. "Kalau ternyata ini selingkuhanku, bagaimana?" Tak ada jawaban dari Liu, pandangannya teralih dari wajah Kal. Dia tahu bahwa Liu adalah tipe pencemburu, namun pria itu sering kali bersikap denial untuk mengungkapkan kecemburuannya. Melihat wajah Liu tidak membaik, Kal mendesah. "Dia hanya teman kuliahku." "Hm? Siapa?" "Yang mengirimiku pesan." Liu hanya mengangguk, terlihat pikirannya sedang tidak berada di tempat. Pada akhirnya sisa sarapan pagi itu mereka habiskan dalam diam. Namun Kal secara sembunyi-sembunyi melirik fitur wajah Liu yang sedang melamun. "Aku pulang malam hari ini, jadi jangan—" "Kau sudah mengatakannya tadi, ingat?" potong Kal saat Liu tiba-tiba menginterupsi kegiatan mereka. Lalu dia tertawa ketika menyadari sesuatu. "Mukamu—pfft—" "Ada apa?" tanya Liu polos. Kal mengusapkan ibu jarinya ke sudut bibir Liu. Ada selai stroberi yang menempel di sudut bibirnya. "Padahal aku sudah menahan diri untuk tidak menyentuh bibirmu." Suara erangan kesal adalah yang didengar Kal selanjutnya. Dia melihat Liu berdiri dan hendak membereskan peralatan makan mereka, tapi Kal segera melarangnya dan menyuruhnya cepat-cepat. "Aku pergi." Kal memegang pipi kiri Liu, tersenyum. "Hati-hatilah." Piring-piring kotor sisa sarapan mereka telah Kal bawa untuk dicuci. Dengan sadar, dia mengambil alat pel dan membersihkan lantai. Melihat ada debu, Kal juga membersihkannya dengan kain. Kegiatan itu berlangsung satu jam saja tapi Kal sudah berkeringat dan kelelahan. Bagaimana dengan Liu? Kenapa pria itu tidak pernah terlihat lelah mengurusi rumah dan bayi besar yang bisanya menyusahkan? Apa Kal masih tega melukai pria itu sembunyi-sembunyi? Pesan yang diterima Kal pagi tadi sebenarnya dari Jia. Akhirnya tanpa menunggu lama, gadis itu benar-benar memberikannya pekerjaan dengan mudah dan memintanya hadir untuk wawancara kerja. Kal menaruh harapan besar pada pekerjaan ini, maka dia belum memberitahu Liu dan bermaksud meringankan beban bersalahnya dengan memberikan kejutan pekerjaan ini. Pada jam sepuluh kurang dua puluh menit, dia sudah menyisir rambut rapi dan memakai parfum. Letak kantor Jia dekat dengan kampusnya dulu, tetapi Kal tetap menggunakan peta sebagai penunjuk bangunan. Gedung itu tinggi dan menjulang, kaca-kaca bangunan merefleksikan cahaya matahari pagi. Papan besar gedung periklanan itu terpajang sangat lebar dan Kal tahu dia ada di tempat yang benar. "JIA!" Langkah Kal terhenti saat nyaris melewati ambang pintu kaca lobi kantor itu. Teriakan melengking disusul suara langkah kaki yang beradu membuat pagi di kantor tersebut nampak hidup. Kal melangkah menuju meja front office dan tidak menemukan satu pria yang berjaga. "Sedang apa orang-orang itu?" Kal bergumam pada dirinya sendiri. Rupanya seorang pria pucat di balik meja counter mendengarnya. "Mengejar Jia," kata pria itu, mengejutkan Kal. Jia? Jia yang itu? "Ada apa dengan gadis barbar itu?" tanya Kal, dia tersadar dan meralat secepatnya, "Maksudku Jia. Apakah dia kabur karena membuat ulah?" Lawan bicaranya tersenyum. "Kurasa bukan itu masalahnya, uhm, entahlah." Kal mengangguk-angguk, kemudian menatap pria itu. "Maaf aku lupa memperkenalkan diri. Aku Kal, dan aku ada panggilan wawancara kerja hari ini." "Aku Rua," jawab pria pucat itu tanpa mengurangi kadar senyumnya. "Aku editor di sini. Aku sudah tahu tentangmu dari Jia." Kal mengulurkan tangan kanannya untuk dijabat. "Salam kenal, Rua. Bisa kau tunjukkan padaku di mana tempat wawancaranya?" Rua menerima uluran tangan Kal. "Aku akan menunjukkannya saat waktunya tiba." "Terima kasih, Rua." Ketika Kal hendak menyudahi jabatan itu, entah kenapa Rua justru mengencangkan genggaman pada tangannya. Kali ini Kal balas mengernyit. Ekspresi Rua berubah lagi, tampak hanya wajah datar dengan bibir yang tipis. "Bisa tolong lepaskan tanganku?" Rua mendadak kikuk. "Maaf .... Aku hanya heran, tanganmu sangat besar dan hangat," katanya. "Oh, ya? Menurutku kau terlalu kurus." "Benarkah?" tanya Rua dengan nada terkejut. Kal kembali mengerutkan dahinya akan sikap aneh pria itu. "Padahal aku sudah makan banyak." "Makan banyak saja tidak akan cukup." Kal menjawab enggan. Dia melirik jam di tangannya, berharap basa-basi ini akan berakhir. "Mungkin kau benar," balas Rua tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Kal yang sibuk berpaling ke arah lain. "Jadi Kal, apakah kau ini gay?" Kedua mata Kal membelalak karena pertanyaan itu. Dia menoleh pada Rua sebelum melayangkan lirikan tajam. Namun pria itu malah tersenyum seolah pertanyaannya tidak ada yang salah sama sekali. Dugaan sementara yang bisa Kal tangkap adalah; mungkin pria pucat ini juga termasuk kaum minor—seperti dirinya—lebih tepatnya seperti Liu. Kal mengakui kalau dia baru saja masuk ke dunia pelangi ini—barangkali itu yang menyebabkan gay radar kasat mata di kepala Rua bereaksi terhadapnya. Apa itu artinya Rua adalah gay? Kal menggeleng. Tidak. Itu bukan urusannya. Lagipula kaum gay adalah yang tersisihkan dari sosial, mereka pasti punya segudang cerita memilukan tentang orientasi seksualnya. "Ha? Tentu saja bukan. Apa maksudmu?" Sebuah seringai tipis terbentuk di bibir Rua, yang sama sekali tidak disadari Kal. "Sudah hampir jam sepuluh, apakah wawancaraku akan dimulai?" Kal mengalihkan topik saat Rua terlihat akan mengeluarkan suara lagi. Dia sama sekali tidak berminat melanjutkan pembahasan tadi. Kal memang tidak ingin menutupi bahwa dia gay—tetapi dia sudah pernah membungkam mulut Jia untuk merahasiakan hal ini. "Sebentar lagi. Aku akan mengantarmu." Rua tersenyum, membereskan beberapa koran yang mungkin baru saja dibacanya sebelum Kal datang. Lalu keduanya bergegas menuju ke ruangan personalia. Ruangan itu agak pengap karena AC mati. Rua secara otomatis menggerakkan tangannya meraih remote AC. Setelah menyetel suhu dua puluh lima derajat di bagian temperatur, dia membalikkan tubuhnya hanya untuk memastikan bahwa junior barunya ada di sana. "Kudengar kau teman kampus Jia?" Rua menginterupsi keheningan keduanya. Dari sudut matanya, dia melihat Kal mengangguk. "Ya, kami teman dekat." Saat itu Rua sedang membereskan meja utama dan menyuruh Kal duduk. Editor muda itu punya perawakan yang mirip dengan Liu di berbagai aspek, seperti tubuhnya yang kurus, kulit pucat, nada yang lemah lembut. Bedanya adalah Liu tidak terlalu murah senyum seperti Rua. "Maaf, mungkin kau tidak akan nyaman dengan cara bicaraku. Aku sebenarnya berasal dari distrik Troft," kata Rua tiba-tiba. Troft adalah distrik perdagangan yang ada di pinggiran kota Valmore. Kal tahu distrik itu karena pernah mendengar namanya beberapa kali dari Liu. Orang-orang di distrik itu, terkadang memakai dialek yang berbeda. "Kekasihku juga berasal dari Troft," Kal bergumam tanpa sadar, Rua mengernyit ketika mendengarnya. "Benarkah? Troft cukup luas, di mana tepatnya kekasihmu tinggal? Mungkin saja aku mengenalnya." Kal menggaruk kepalanya spontan. Sadar bahwa dia baru saja mengangkat topik tentang sang kekasih yang ingin dihindarinya dalam obrolan. Kal memang mengenal Liu hampir empat tahun dan tinggal bersama hampir dua tahun. Akan tetapi, dia sama sekali tidak pernah mengetahuinya—atau dia tidak pernah sekalipun bertanya. Kal hanya tahu bahwa kekasihnya itu lahir dan besar di Troft dan pindah ke Valmore untuk kuliah, itu saja. "Uhm, entahlah ..." Kal menjawab sekenanya. "Kau tidak tahu?" "Tidak." Keheningan yang melingkupi ruangan itu cukup berlangsung beberapa detik, karena setelahnya Rua masih memiliki pertanyaan lain untuk dilontarkan. "Apakah kalian pasangan baru?" Gestur tubuh Kal mulai menandakan ketidaknyamanan. "Kami sudah berpacaran hampir dua tahun," jawabnya. Komputer yang menyala sedikit mengalihkan pandangan Rua. Dia masih belum mau pembicaraan ini berakhir. "Oh, ya, ampun. Kalian berpacaran hampir dua tahun dan kau tidak tahu persis di mana alamat kekasihmu tinggal?" Rua terkekeh ringan. "Jangan-jangan dia juga tidak tahu di mana kau tinggal. Ya, Tuhan, kalian lucu sekali." Alis Kal menukik tajam. "Apakah itu lucu?" "Sangat lucu. Kau tahu, kalian seperti orang yang baru saling mengenal." Kal tidak sadar sejak kapan tangannya sudah mengepal erat di atas pahanya. Pembicaraan itu sedikit banyak membuatnya tersinggung. Entah kenapa fakta bahwa dirinya tidak mengetahui apa pun tentang Liu bisa menjadi lelucon semacam itu. Menggelikan. "Bagaimana dengan orang tuanya? Kau tahu nama ayahnya mungkin?" Lagi-lagi terdengar pertanyaan bibir Rua. "Yang pasti dia memiliki seorang kakak." Rua mulai menaruh berkas kerja milik Kal dengan rapi di tengah-tengah meja, sekalian merapikan posisi kursi beroda sesuai posisi yang simetris. Pria ini benar-benar perfeksionis seperti Liu. "Kau juga tidak tahu nama ayahnya? Kau pasti bercanda, 'kan?" Kal hanya tahu bahwa Liu sudah tidak memiliki orang tua dan hanya memiliki satu orang kakak, itu saja. Tetapi rasanya dia malas mengungkapkan keminiman informasinya itu. Jadi dia hanya mengangkat bahu dengan tak acuh. "Kapan atasan yang akan mewawancaraiku datang?" Kal mencoba mengalihkan topik. Awalnya Kal menangkap ekspresi kebingungan yang samar dari wajah editor itu, namun kemudian ekspresinya berubah menjadi agak tenang. "Tenang saja, kau masuk lewat jalur khusus. Wawancara hanya formalitas, dan aku sudah ditunjuk atasan untuk tugas itu." Oh, sial! Apa ini maksudnya, basa-basi mereka tidak akan berakhir? Kal menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Lalu diminta untuk tenang tanpa gugup, padahal Kal tidak gugup sama sekali, tapi sangat kesal terbakar api. Sepertinya dia harus memesan satu gelas choco late setelah ini untuk meredakan rasa kesalnya dari makhluk yang akan menjadi seniornya ini. Kesan pertamanya benar-benar sangat buruk. "Aku keluar sebentar." Rua membuka handle pintu cepat-cepat. "Kau mau ke mana?" Rua menoleh. "Mengambil minuman untukmu sekalian melapor, kau ingin titip sesuatu?" Kal menggeleng. Rua tersenyum sangat manis dan undur diri. Mungkin yang dimaksud adalah melapor sidik jari di mesin presensi sebagai absen kehadiran. Kal sama sekali tidak peduli. Semoga saja dia ditempatkan pada divisi berbeda dengan makhluk misterius menjengkelkan itu nantinya. Atau mungkin dia bisa minta bantuan Jia lagi? tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD