Part 2

2603 Words
Sampai saat ini, kalimat Sed begitu membekas di benak Liu. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih dua puluh empat menit. Liu tidak sadar jika waktu telah banyak berlalu sejak dia duduk dan memikirkan banyak hal. Sebenarnya Liu ingin menganggap ucapan Sed hanya angin lalu.  Karena sebenarnya tidak ada dampak buruk seperti kata Sed. Semenjak bersama Kal, Liu justru menjadi pribadi yang lebih sering tersenyum. Dia tidak akan menyembunyikan perasaannya jika merasa emosional. Liu bahkan tidak pernah mengeluh dan selalu melakukan apa pun yang Kal inginkan. Apalagi? Ini sudah sempurna. Liu pernah bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya? Kenapa dia terlalu mencintai Kal? Tetapi, apa cinta butuh alasan? "Liu, maaf, aku terlambat." Suara entak kaki yang keras disusul teriakan masuk ke indera pendengaran Liu. Sosok Kal datang menghambur di dekatnya. "Kau menungguku, ya?" Liu hanya menatapnya. "Jam berapa ini?" Kal melirik jam dinding. "Astaga, kau sudah makan?" Liu menggeleng. "Seharusnya kau tidak usah menungguku, kau bisa makan duluan." Kal mengeluarkan isi paperbag dari resto ternama. "Aku hanya membawa waffle, dan aku sudah makan siang karena aku lapar sekali." "Kau—" "Hm?" Tiba-tiba semuanya terasa mengambang. Selama beberapa detik lamanya mereka saling menatap satu sama lain. Liu yang pertama kali merasa bahwa ada rasa asam di perutnya. Sementara Kal menatapnya tanpa rasa bersalah sedikit pun; mengingkari janji makan siang bersama bahkan membawa makanan dengan rasa yang tidak disukai Liu. Ini aneh, rasanya sedikit banyak dirinya terpengaruh ucapan Sed. "Ah, benar juga, kau tidak suka manis." Kal bergumam, lalu berdiri dari posisinya setelah menaruh waffle vanilla itu di meja yang ada di hadapan mereka. "Mau kubuatkan sesuatu?" Dahi Liu berkerut. "Kau tidak memaksaku memakan ini?" Kal terdiam. Heran. "Kau tidak mungkin makan ini, 'kan? Aku tidak mau kau memaksakan diri lalu mati setelahnya." Lihatlah, ini adalah fakta bahwa Kal tidak sepenuhnya memaksakan kehendaknya di sini, Liu yang acap kali memaksakan dirinya untuk mengimbangi Kal. Liu sama sekali tidak diubah, tetapi dia yang memilih berubah. Liu harus memberi Sed kabar baik ini secepatnya. "Liu? Liu?!" Liu terkesiap. "Kau melamun." Entah sejak kapan Kal memakai apron merahnya. "Kau mau aku buatkan apa?" Liu menggeleng sambil tersenyum, memang apa yang bisa dibuatkan Kal untuknya? Kemungkinan terburuk adalah telur goreng gosong, kemungkinan terbaik—tetap yang terburuk—adalah mie instan. "Waffle saja sudah cukup," katanya. "Heee, kau bisa mati nanti." "Tidak mungkin. Karena kau akan membuatku tetap hidup, 'kan?" Tawa Kal meledak bahkan sampai-sampai dia mengalami kram perut kronis. Kal kembali duduk di sebelah Liu dan menatap kekasihnya yang menampilkan ekspresi heran yang menggemaskan. Setelah yakin air mata yang menggenang di pelupuk mata sudah diusap, Kal lalu menatap Liu dengan pandangan geli. "Memang bagaimana caranya membuatmu hidup lagi setelah mati?"  Liu melipat tangannya di d**a, berpikir. "Mungkin memberi napas buatan?" "Aku melakukannya setiap hari, membosankan tahu!" Tangan Liu meremas dadanya kuat. Pura-pura sakit. "Kau menyakiti hatiku. Padahal itu yang selalu kutunggu setiap hari." Kal terkikik. "Mau melakukannya sekarang?" Selanjutnya tidak ada jawaban dari Liu, dia terlalu larut dengan basah yang tiba-tiba terasa di leher kirinya. Lalu rasa manis mengecap bibirnya dengan lenguhan yang tajam di antara mereka. Posisinya digiring terlentang. Mereka bertahan selama beberapa menit sampai Liu kehabisan napas dan telah melihat bintang-bintang. Dengan lemah dia meminta lepas, tapi Kal menjambak rambutnya.  "Kau agak kasar," komentar Liu. "Apa ada yang mengganggumu?" Liu menutup kelopak mata kiri Kal dengan jarinya. Ada kerutan di sekitar sana, juga kantung menghitam di bawah mata Kal. Pria itu terlihat lelah, namun tetap memukau dan tampan. Kal bangun untuk melepaskan perangkapnya pada tubuh Liu. "Bagaimana dengan wawancaramu?" tanya Liu dengan wajah yang agak cemas. "Aku belum bisa berkata bahwa itu berhasil. Pengumumannya besok." Liu menyandarkan kepalanya di bahu Kal. "Tidak masalah apa pun hasilnya, Kal. Aku akan mendukungmu." "Jelas kau akan melakukan itu." Wajah Kal lebih buruk dari sebelumnya. Kal tidak tahu apa Liu menyadarinya tapi sejak awal Kal memang memanfaatkannya untuk sebuah tempat tinggal. Meskipun lama kelamaan tindakan itu terlalu jelas dan Liu tidak terlihat keberatan sama sekali. Tetapi Kal jelas keberatan. Harga dirinya telah hilang. "Kal, aku tidak bermaksud menyinggung—" Kal memotongnya cepat-cepat. "Aku tahu. Maaf, mungkin aku lelah." Rupanya kalimat itu tidak membuat Liu tenang. Ekspresinya begitu rumit, justru pada akhirnya Kal merasa bersalah. Selama ini Kal memperlakukan penolongnya sebagai orang asing, sepasang kekasih hanya sebutan. Itu seolah-olah tidak nyata. Kal sangat sadar kalau hubungan mereka palsu. "Buka mulutmu," Kal menyendok sepotong waffle untuk Liu dan pria itu menerimanya. Kegiatan itu terjadi berulang-ulang sampai habis beberapa suapan. "Kau seperti anak kecil." "Huh?" Kal mengambil tangan Liu untuk menaruh sendok kecil itu di tangannya. "Bagaimana rasanya?" "Lumayan." "Kau harus jujur!" Liu tampak sangat keras berpikir. Wajahnya telah memerah. "Terlalu manis dan membuatku mual." Ada krim yang menempel di sudut bibir Liu, Kal secara aktif menjilat krim itu dengan lidahnya. Perubahan wajah Liu bukannya membaik malah semakin memerah panas. Tengkuknya ditarik ke depan oleh kekuatan lembut namun tegas, bibirnya dikulum lagi. "Aku akan menyembuhkanmu dengan ciuman mautku." Kal mengerling. Pria itu benar-benar rubah penggoda. Meskipun begitu, Liu tahu betapa dia mencintai Kal. Bahkan di hadapan dunia, Liu akan menyerahkan hidupnya pada Kal. Seberapa kali kecupan menghangatkan mulutnya, rasa panas juga menjalar dan menimbulkan candu. Jika ini adalah mimpi, jika mencintai Kal adalah mimpi, Liu tidak akan mau bangun. Liu akan membuktikan bahwa Sed salah dengan prasangkanya. Pria itu, Kal, Liu mencintainya. Liu bahkan tidak peduli pada apa yang akan membuat Sed begitu terpukul karena telah gagal membuat hubungan mereka hancur. Sekarang di dalam rumahnya, Sed bahkan sudah memasang tampang yang sangat masam. Bulu kuduknya berdiri seperti ada seseorang yang mengawasinya dari jauh. Namun ada perasaan yang lebih besar dari rasa takutnya hari ini. Dia membiarkan ponsel di tangannya remuk. Ekspresi wajahnya bahkan terlihat sangat buruk karena marah. Liu baru saja mengirimkan sebuah pesan aneh padanya. Pesan yang membuat darahnya mendidih. "Sampai kapan kau akan mengganggu hubungan mereka?" tanya Teo pada akhirnya. Sed memperlihatkan ponselnya pada Teo. "Lihat apa yang dia katakan padaku!" From: Liu Aku sudah meyakinkan diriku, Sed, bahwa aku semakin mencintai Kal. Urat-urat kemarahan Sed hampir putus dibuatnya. Ini pertama kalinya dia mendengar kalimat cinta datang dari seorang pria dingin seperti Liu.  Teo menghela napas. "Berhentilah menyudutkan Kal, dia pria yang baik." "Astaga! Apakah dia juga meracunimu?" Sed menggelengkan kepala dramatis. "Pria itu memang malapetaka." Teo segera meraih kedua bahu Sed, membuat pria itu menatapnya. "Dengar, mereka sudah pacaran selama lebih dari satu tahun. Sampai kapan kau akan bersikap seperti ini?" "Tapi, dia itu bermulut besar, berandal, urakan, bodoh dan—" "Apa cinta memandang semua itu?" potong Teo. "Yang menjalani hubungan itu adalah Liu, bukan kau." "Tapi—" "Kau terlalu berlebihan, Sed," potong Teo lagi. "Kau mengintimidasi Kal terus menerus, tapi lihat, dia bahkan tidak pernah gentar sedikit pun. Kau pasti salah dengan prasangkamu terhadapnya selama ini." "Itu karena dia bodoh." "Atau karena cinta? Kalau Kal tidak mencintai Liu, dia tidak akan bertahan, 'kan?" Sed menunduk, menepis tangan Teo yang kini berada di bahunya. "Kau memang tidak peduli pada Liu." Teo tidak bisa membalas. Hal-hal seperti ini sering terjadi bahkan membuat Teo tak mengerti lagi kenapa Sed sangat paranoid. Ini selalu menjadi topik yang sangat sensitif untuk sahabatnya itu.  "Aku tidak mau kejadian terdahulu terulang." Melirik sekilas, Teo melihat tangan Sed mengepal. Mungkin ini memang topik yang seharusnya tidak pernah mereka bahas. Terus terang saja, Teo selalu merasa bersalah jika Sed menjadi orang yang begitu rapuh karena membahas hal ini. Dia sudah tahu betul bagaimana hubungan antara Sed dan Liu, mereka sangat dekat bahkan ketika keduanya masih sangat kecil. Sed menyayangi Liu sebagai sepupu dan begitu juga sebaliknya. Ikatan mereka terlalu kuat. Teo merangkul bahu Sed dengan sebelah tangan. "Maafkan aku." Setidaknya itu yang bisa dia katakan untuk sekarang. Teo mungkin terlihat tidak mempedulikan Liu, tapi seharusnya Sed yang paling tahu bagaimana pria itu sangat menyanyangi mereka semua. Teo tidak ingin Sed bersedih. Dan keesokan paginya, Liu bangun pagi-pagi sekali untuk membersihkan rumah. Liu adalah orang yang mencintai kesehatan. Itu sebabnya dia selalu membersihkan debu dan kotoran apa pun yang hinggap di setiap inci perabotan rumahnya. Alasan lain, tentu saja karena Kal adalah orang yang mudah sakit. Pekerjaan Kal yang mengharuskan lembur tengah malam terkadang membuat staminanya turun, mau tak mau membuat Liu mengawasi kebersihan rumah agar tak memperburuk keadaan. Setelah mereka sepakat tinggal bersama setahun lalu, banyak kebiasaan buruk Kal yang akhirnya terungkap. Mulai dari sering minum alkohol, merokok dan makan-makanan instan. Liu berulang kali memperingatkan kekasihnya. Namun, Kal tidak bisa dilarang. Terdengar suara derit pintu, Liu melihat Kal keluar dari kamar dengan langkah terseret dan mata setengah terpejam menuju dapur.  Mendesah, Liu kembali melanjutkan kegiatannya mengepel lantai, sampai suara Kal terdengar, "Liu, kau belum membuat sarapan? Apa perlu aku yang membuatnya?" Liu tahu apa yang dimaksud 'membuat' versi Kal, yaitu membuka cup mie instan dan menuang air panas di dalamnya. "Tidak usah, aku akan menyelesaikan ini sepuluh menit lagi." Kal mengerang. "Kau terlalu lama, aku sudah lapar." Liu mulai menggosok-gosok lantai dengan cepat. "Aku janji lima menit lagi selesai," katanya. Kal mengibaskan tangannya sebelum berbalik. "Jangan khawatir, aku bisa membuat sarapan sendiri." "Tiga menit selesai!" "Lama!" "Satu menit! Aku sudah selesai." Liu akhirnya membuang alat pel itu asal dan berlari ke arah dapur menyusul Kal. Belum terlambat untuk mencegahnya memakan makanan instan. Akan tetapi Liu menyadari bahwa kali ini dia sudah lalai. "Kau lupa belanja bulanan."  Asap yang mengepul dari mie cup tidak membuat Kal berhenti menguap. Sepuluh menit yang lalu Liu mencegahnya untuk makan ini, tapi isi bufet ternyata membuat dahi Liu mengerut pedih. Tidak ada sayuran atau daging yang tersisa, hanya mie instan. "Aku lupa." Liu mendesah. Kal menepuk-nepuk bahunya. "Tidak apa-apa, aku juga lupa." Lalu tangannya mulai mengambil sumpit dan langsung mendapat pukulan dari Liu. "Aw, kenapa kau memukulku?" "Kau belum cuci muka dan gosok gigi!" Kal tidak peduli dan tetap melanjutkan aksinya. Kali ini Liu sampai harus bangkit berdiri hanya untuk menyeret Kal yang malas-malasan menuju ke kamar mandi. "Kau tidak kerja?" tanya Kal sambil mengulum sikat giginya. "Hari ini rapat bulanan, jadi hanya acara makan di luar bersama pegawai lain sambil membahas permasalahan kantor. Mungkin sekitar tiga jam." Liu memperhatikan Kal yang sedang menggosok giginya. "Kau masuk jam lima?" Kal menoleh dan mengangguk. "Aku pulang jam dua, kita bisa belanja bersama nanti." "Baiklah, birku juga sudah habis." "Tidak ada bir, Kal." "Bukan bir, tapi minuman kaleng beralkohol." Kal tertawa puas melihat ekspresi masam di wajah Liu. "Cepat pergi, Liu, kenapa kau masih menungguku di kamar mandi? Mau mengintip?" "Dasar m***m!" Liu akhirnya memilih untuk memanaskan mobilnya. Rupanya Kal sudah selesai dan bergabung untuk mengantar kepergiannya. Keduanya berdiri di samping bagasi dan sebuah mobil hitam tampak bergetar karena mesin mobil menyala. Kal mengusap matanya yang masih mengantuk. "Lain kali aku tidak akan mau nonton film horor." "Kau pasti ketakutan." Liu mencibir. "Bukan takut, tapi kita tidur terlalu pagi sampai aku tidak bisa tidur lagi," kilahnya. Liu mengangguk sembari melipat kemejanya sampai siku. "Ya, kau tidak takut. Tetapi kau memelukku erat sekali tadi malam." "Bukankah aku selalu melakukan itu?" "Tidak juga," jawab Liu enteng. Rangkulan di bahu adalah yang diterima Liu setelahnya. Disusul kekehan Kal. "Teman-temanku ingin datang ke rumah. Apa kau mengizinkan?" tanya Kal kemudian. "Mereka mengambil libur di hari Senin, jadi aku ajak kemari." "Temanmu juga temanku, ajak saja asal mereka tidak mengacau." Kal mengibaskan tangannya. "Ayolah, mereka hidup untuk mengacau, jangan hiraukan mereka. Aku akan membereskan kekacauan mereka nanti." Liu memandang Kal dengan ragu. "Kau tidak pernah membereskan kekacauan apa pun." Kal terkekeh.  "Aku jalan dulu." Liu membuka pintu mobilnya dan masuk. Dia menyempatkan diri untuk melihat Kal dari dalam. "Jangan tidur lagi, kau bisa sakit." Kal mendekat dan mencium bibir Liu sekilas. "Ya, hati-hati." Liu melambaikan tangan sesaat sebelum mencapai gerbang. Senyum Kal mengembang lebar. Balas melambai. Akan tetapi, ketika mobil menghilang dari padangan, senyumnya meluntur. Kal mengusap bibirnya yang baru saja mencium Liu. Rasanya masih aneh. Setelah sekian lama, sikap lembut Liu sama sekali belum meluluhkan hatinya. Kal tidak tahu untuk apa dirinya bertahan dengan hubungan ini. Apa dia memang sejahat itu hanya memanfaatkan kebaikan Liu demi keuntungannya sendiri? Sehari-harinya Kal hanya bekerja sebagai penjaga tiket di sebuah stasiun kereta. Part time. Baginya pekerjaan ini tidak sulit dan dia sangat menyukainya. Karena pekerjaan itu tidak harus membuatnya berpikir terlalu keras. Risikonya hanya pada gaji yang kecil dan gaji itu tidak sebesar milik Liu. Hal lain yang menyebalkan mungkin pada jam kerjanya; setiap hari Kal dituntut kerja seperti kelelawar. Siang tidur, malam bekerja. Berbeda dengan Liu, saat berada di universitas, Kal dan Liu berada di jurusan yang berbeda. Liu mengambil kuliah bisnis dan sekarang telah menjadi seorang manager di salah satu perusahaan besar. Bahkan untuk urusan keuangan, kekasihnya mendapatkan gaji yang lebih besar darinya setiap bulan. Sampai detik ini Kal tidak habis pikir kenapa dia bisa bertahan dengan Liu. Segala kepura-puraan ini membuatnya muak. Mereka resmi berpacaran karena Liu menyatakan cinta padanya. Bukannya dia tidak tahu bahwa Liu sangat mencintainya, tapi dia hanya berusaha menulikan telinganya dari realita itu. Dulu pernah satu kali dia mencoba menjauhi Liu dan mengatakan ingin putus, tetapi pada akhirnya dia bisa luluh pada penderitaan Liu setelah ditinggalkan olehnya. "Kal!" "Eh, ya?" "Sudah kuduga kau melamun." Senyum Kal tersungging melihat siapa yang datang. "Hai, kau cantik hari ini." Kal mengerling pada Jia, salah satu teman kampusnya dulu. Gadis itu tampak terburu-buru memesan tiket di antrean yang kosong. "Kau baru pulang?" Jia mengangguk. "Pekerjaan akan menumpuk setiap awal bulan, jadi aku lembur. Ada banyak design iklan yang harus siap dikirim ke setiap pelanggan." Kal tahu bahwa Jia bekerja di sebuah perusahaan jasa periklanan. Gadis itu begitu giat mendapatkan pekerjaan itu meskipun ranahnya berbeda dengan jurusan yang dia ambil saat kuliah. Gadis berambut merah muda itu sungguh pekerja keras. "Kau harus punya pacar untuk menjemputmu pulang, Jia. Malam hari sangat berbahaya untuk seorang gadis." Jia tersenyum. Meskipun suka menggodanya, sebenarnya Kal pria yang perhatian. Itu sebabnya Jia menyukai pria itu, walau perasaan itu hanya sepihak saja karena Kal sudah punya kekasih. "Kau sendiri, kerja lembur lagi?" Jia memilih untuk duduk sejenak mengobrol sambil menunggu keretanya tiba. Karena antrean sudah kosong, Kal keluar dari loket untuk duduk bersama Jia. "Aku selalu lembur. Aku part time di sini." Fakta itu membuat Jia terkejut. Bukan salahnya juga, selama ini dia tidak bertanya apa-apa tentang pekerjaan Kal. Jia mengira pria itu karyawan tetap. Jia tiba-tiba ingat sesuatu. "Kantorku sedang membuat kategori baru untuk iklan, dan sedang membutuhkan tambahan karyawan. Kalau kau mau, kau bisa ... yah, maksudku, jangan tersinggung, Kal, aku hanya—" Kalimat Jia tertahan begitu melihat mata Kal telah berbinar-binar. Detik berikutnya, tangan Kal sudah ada di bahunya. "Kau serius? Kau menawarkan pekerjaan ini padaku?" Jia memalingkan wajah karena gugup. "Hm, yeah. Kalau kau tak keberatan." "Tentu tidak, Jia. Kau benar-benar malaikatku." Kal memeluknya erat-erat. "Aku benar-benar butuh pekerjaan." Perlu waktu lama untuk Jia menstabilkan degupan jantungnya. Kal tidak berubah sejak dulu, selalu bertindak tidak adil pada jantung Jia. "Aku akan membantumu masuk, jadi kau akan diterima bekerja atas namaku." Jia mendorong tubuh Kal menjauh dengan mencubitnya terlebih dahulu. "Dan jangan memelukku sembarangan, bodoh!" Kal mengusap lengannya yang sakit secara dramatis. "Tidak ada yang pernah menolak dipeluk oleh pria tampan sepertiku selama ini." "Siapa yang bilang kau tampan?!" Kal menatap Jia dengan kesal. "Dulu kau menyukaiku. Kau bilang aku tampan." Wajah Jia memerah hebat. "Itu dulu, bodoh!" Jia memalingkan wajah. "Sekarang aku tidak menyukaimu lagi!" Tawa Kal meledak. Fakta mengenai Jia yang menyukainya memang benar. Bahkan gadis itu pernah terang-terangan menyatakan cinta padanya, yang langsung ditolak karena Kal mengaku sudah pacaran dengan Liu. Lagipula Jia bukan tipenya, meski gadis itu cantik, tapi postur tubuhnya belum menyokong sebagaimana tipe gadis idaman Kal. Mungkin saja sekarang rasa suka Jia terhadapnya memang sudah tidak ada lagi. Kal juga tidak masalah dengan itu. tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD