Part 1

2032 Words
"Kau ingin makan apa?" Liu memasang apron bunga-bunga berwarna merah. Di depannya adalah Kal, kekasihnya. Kal tampak terburu-buru dengan kemeja yang tak terkancing rapi, dasinya tersampir di bahu. Pemandangan itu membuat Liu tertawa kecil, di sisi lain merasa ikut cemas karena hari ini adalah hari di mana Kal harus interview kerja. Kal menyambar s**u hangat dan menenggaknya. "Aku minum ini saja. Dah." Belum sempat Liu protes, Kal melintasi meja makan dan mengambil sepotong roti tawar. "Ini juga." "Jangan makan sambil berlari. Kau bisa tersedak," tegur Liu, tapi Kal sudah pergi ke depan dengan sebelah sepatu saja yang terpasang. Mereka berdua adalah sepasang kekasih yang tinggal bersama. Hal itu diputuskan bersama sejak keduanya menjalin hubungan yang telah berlangsung selama hampir dua tahun. Pada awalnya, Liu tidak pernah menyangka bahwa Kal akan menerima cintanya. Karena faktanya Kal merupakan pria yang lurus. Dan, ya, Liu itu gay. Hubungan mereka seperti romansa remaja kebanyakan. Mereka merasa membutuhkan satu sama lain; sentuhan, ciuman dan saling perhatian adalah hal yang biasa terjadi pada interaksi keduanya. Meskipun Kal berulang kali berkata bahwa dia bersedia menjalani hubungan ini, tapi Kal tidak bisa berjanji untuk membahagiakannya. Karena ... Kal belum benar-benar mencintai Liu. "Liu, tolong dasiku." Kal kembali ke dalam lagi. Liu membantunya memakai dasi tanpa berkomentar lebih. Dia bahkan membenahi kerahnya dan memastikan penampilan Kal secara menyeluruh. Pria itu sangat tampan dengan rambut hitam yang tertata rapi. "Apa kau akan bekerja di sebuah perusahaan?" tanya Liu. Ada jeda sebentar seolah-olah Kal harus berpikir untuk menjawab, "Ini mungkin bukan perusahan besar, tapi aku janji akan mengumpulkan uang yang banyak untuk kita berdua hidup." Kalimat itu punya arti mendalam untuk Liu. Sementara Kal hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan terus menerus menjadi beban karena tak berpenghasilan di rumah ini. Sudah hampir setahun Kal hidup menumpang di rumah Liu tanpa uang sepeser pun. Kal cukup tahu malu. Sebenarnya, saat ini Liu sudah bekerja sebagai manager di sebuah perusahaan besar. Dia mendapatkan pekerjaan itu dari rekomendasi sang kakak. Setelah lulus kuliah setahun lalu, Liu segera mendaftarkan diri dan masuk dengan mudah di perusahaan itu. Meskipun Liu bekerja seorang diri untuk biaya sehari-hari mereka berdua, Liu tidak keberatan. Liu tidak mempermasalahkan jika Kal belum mendapat kerja tetap. Justru seringkali Liu menawari Kal untuk bekerja di perusahaan itu, tapi Kal terus menolak. "Ah, tunggu sebentar." Liu merogoh kantung celananya dan mengeluarkan sebuah jepit untuk dasi Kal. "Aku sudah menyiapkan ini, kupikir akan cocok untukmu." Jepit dasi itu berbentuk ramping memanjang dan terdapat ukiran daun semanggi pada ujungnya. Secara keseluruhan, hingga rantai kecilnya, memiliki warna senada dengan rambut Liu. "Terima kasih. Aku suka." Kal tersenyum kecil. Lalu melihat jam dan panik. "Aku pergi dulu. Akan aku kabari hasilnya nanti." Liu menggelengkan kepala melihat tingkah laku Kal. Sejak mereka tinggal bersama, Liu akhirnya paham kalau Kal bukan morning person. Selama belum bekerja, Kal biasanya akan bangun siang karena malam hari dia harus kerja part time di sebuah stasiun kereta. Liu sebenarnya sedikit keberatan karena pekerjaan itu sering membuat Kal jatuh sakit. Tetapi karena Kal punya harga diri yang tinggi, dia tetap mengambil pekerjaan itu dan berkata bahwa laki-laki tidak boleh terus menjadi beban. Maka semenjak itu, Liu tidak pernah mencegahnya. "Kenapa si preman pagi-pagi sudah membuat gaduh?" Liu menoleh mendengar suara Sed terlebih dahulu baru sosoknya muncul dari arah depan. Seperti biasa tampangnya sangat buruk setelah melihat Kal. Mereka berdua memang tak pernah akur sejak kenal—dan Sed sebenarnya adalah sepupu Liu. Orang yang pertama kali Liu kenalkan pada Kal sejak mereka berpacaran. Alasan Sed tidak menyukai Kal pun sangat remeh, hanya karena Kal terlihat seperti preman yang urakan dan nakal. Katanya, penampilan Kal sangat berbanding terbalik dengan image Liu yang tenang dan rapi. Mereka bagai langit dan bumi. "Namanya Kal." Liu menuang air panas di cangkir yang telah terisi kopi bubuk. Lalu mengaduknya dengan sendok. Sed memutar bola mata. "Kau tahu, aku tidak suka kopi." "Aku tak bilang kopi ini untukmu." "Ketika ada tamu yang datang ke rumahmu, kau harus menyuguhkan minum!" Liu meneguk kopi pahit miliknya, sepenuhnya mengabaikan keberadaan Sed. "Kau berubah." Sed duduk di kursi, melipat tangan. "Sebelumnya kau tidak seperti ini." "Apa maksudmu?" Liu akhirnya mengambilkan teh seduh di pendingin ketika melihat Sed mulai kesal. "Kalau kau ingin minum, kau bisa mengambilnya. Hubungan kita sangat dekat, kau tidak mungkin merasa segan untuk membuka kulkas di rumahku." Ternyata hal itu tetap tak bisa membuat seorang Sed puas. "Aku lapar. Cepat masak sesuatu untukku!" Serta merta Liu ingat bahwa dia masih mengenakan apron. Awalnya Liu memang berniat membuat sarapan untuk Kal, tapi pria itu rupanya terlambat bangun dan buru-buru pergi. Sekarang semangat memasaknya telah pergi. "Kau datang hanya untuk itu?" "Menurutmu, alasan apa lagi yang membuatku datang ke sini pagi-pagi sekali kalau bukan itu?" Sed mengangkat bahu tak acuh. "Sudah kuduga." Liu mendesah. Sepupunya memang sudah terbiasa datang ke rumahnya tiba-tiba hanya untuk meminta sarapan. Katanya, Sed melakukan hal itu untuk menghindari Teo yang sering sekali datang ke rumah untuk menginap. Semenjak Sed tahu kalau gay itu nyata, dia menganggap semua pertemanan pria dengan pria merupakan hal yang tabu juga. Maka dari itu, Sed sedikit menghindari Teo. "Baiklah, tunggu sebentar, aku akan membuat sarapan," kata Liu pasrah. Sed mengangguk semangat. Dia tahu bahwa Liu paling tidak tega melihat dirinya kelaparan. "Jadi, kenapa preman itu pergi pagi-pagi sekali?" "Sed, dia punya nama, dan namanya adalah Kal." Liu menoleh dengan kesal. Sebelum Sed sempat membalas kalimat itu, dia melihat seseorang melintas berlari ke arah Liu. Astaga, itu Kal! Cangkir kopi milik Liu sudah berada di tangannya, dan dia menenggaknya sampai habis. "Uh, pahit seperti biasa," komentar Kal, menaruh cangkir yang isinya sudah habis. "Lain kali tambahkan gula, Liu." Liu terkejut. "Kau belum pergi?" Kal menyambar roti tawar lagi, kali ini dengan selai kacang. "Aku salah jadwal. Wawancaraku jam sepuluh." "Kau ingin sarapan dulu?" Liu menatapnya dengan tatapan lembut. Pandangan Kal jatuh pada sosok lain yang ada di ruangan itu selain dirinya dan Liu. "Tidak. Ini saja cukup." "Kau akan kelaparan nanti." "Aku akan pergi setelah menghabiskan ini," jawab Kal sambil menelan rotinya cepat-cepat. Sementara Sed menatap kedua orang itu dengan dahi mengerut. Percakapan mereka adalah hal yang ingin dia hindari sebisa mungkin, dan sekarang, tanpa sengaja dia mendengarnya. Benar-benar pagi yang buruk untuk mengawali hari. Terkadang Sed tidak habis pikir. Apa yang membuat Liu jatuh cinta pada lelaki urakan itu? Perbedaan mereka terlalu mencolok dan Sed merasa ada yang salah dengan hubungan itu. Kal mendekati Liu dan memintanya untuk merapikan penampilannya lagi. "Kau sangat tampan," ungkap Liu. "Kapan aku tak tampan, hm?" Kal membalasnya dengan godaan. Tidak ada yang memperhatikan Sed bahkan ketika pria dengan mata ungu itu membuka lebar mulutnya dengan terkejut. Percakapan sepasang kekasih itu memang aneh, tetapi entah mengapa Sed selalu merasa jijik akan tingkah mereka. Sed mencatat; tinggal satu atap bersama memang tindakan yang salah, kedua orang itu terlihat nyaris gila. Sed mengingat-ingat untuk memisahkan mereka berdua nanti. Sikap Liu sudah sangat out of character dan ini tidak bisa dibiarkan. Suara Kal kembali terdengar, "Aku akan pulang jam satu. Kita akan makan siang bersama." Liu mengangguk. Tepat ketika Kal akan pergi, Liu menahannya. Tekanan halus di telapak tangannya membuat Kal berbalik. Dari tatapan kedua pasang mata itu, Sed tidak tahu pasti apa yang tersirat, tetapi dia melihat ekspresi wajah Kal yang berubah menjadi lembut. "Oh, aku lupa." Kal tersenyum kecil lalu mendaratkan sebuah ciuman kilat di pelipis kanan Liu. Dan itu membuat Sed membuka mulutnya lebar-lebar. "Ow, sialan." "Aku berangkat." Tak lama kemudian Kal sudah menghilang dari pandangan keduanya, Sed langsung menatap sepupunya itu dengan tatapan serius. "Kalian benar-benar gila!" Liu menaikkan sebelah alisnya. "Kami sepasang kekasih, dan kami berciuman, itu hal yang wajar." Sed tidak mengeluarkan sepatah kata pun, apa yang terjadi di hadapannya sudah cukup menguatkan bukti selama ini. Dia sudah mengira bahwa Liu berubah, paling tidak, dia bukan orang yang akan diam saja ketika miliknya diambil orang lain—entah itu kopi sekalipun. Liu juga orang yang tidak pernah menunjukkan mata memohon untuk mendapatkan sesuatu, dalam kasus ini adalah soal ciuman di pelipis. Sekali lagi Liu merupakan pria apatis terhadap hal-hal semacam itu. Liu menyalahi aturan yang dibuatnya sendiri. Ini tidak benar. Liu telah berubah menjadi remaja tiga belas tahun yang sedang jatuh cinta. "Kau sudah mau pulang?" tanya Liu ketika mendapati Sed membenahi pakaiannya di depan cermin. "Kau tidak jadi sarapan di sini?" Sed mengangkat bahu, dia tidak tahan berada di sini, "Ya, aku tak mau terkontaminasi jika sekali lagi melihat lovey dovey kalian berdua," katanya. Ini serius. "Kau bahkan sudah melihatnya ratusan kali—sejak kita kuliah." Pandangan mata Sed berubah serius ketika menatap Liu yang terduduk di tangan sofa. "Sedikit banyak aku mendengar, bahwa gay itu bisa menularkan orang terdekat. Bagaimana kalau aku terjangkit?" Liu mengerutkan dahi. Tidak suka dengan penuturan itu. Sed mencibir. "Kau tidak sadar betapa idiotnya dirimu, ya? Aku merasa Liu yang tampan, angkuh dan beku ini sekarang sudah meleleh akibat semangat api yang menguar pada diri seorang preman bernama Kal." "Apakah salah jika aku mencintainya?" Dahi Liu kembali berkerut. Sed menepuk dahinya kuat. "Oh, dammit, Liu! Ini bukan soal kau mencintainya atau tidak! Kau tidak merasa kalau kau sudah banyak berubah ketika kalian menjadi sepasang kekasih?" Mata Liu menerawang pada helaian tirai yang melambai tersapu desau angin. Tak ada kesimpulan yang bisa dia tarik dari perkataan Sed mengenai perubahan. Apa Sed berpikir bahwa dirinya berubah menjadi semacam monster? Dalam kasus ini Kal disalahkan—dan bukan tak mungkin jika Sed sudah menuduh bahwa Kal adalah seorang penyihir jahat. "Ouch!" Liu mengaduh ketika sebuah bunga plastik mengenai pipinya. Di sana Sed, si tersangka utama menyeringai sadis. "Kau pasti berpikir bahwa aku menghasutmu." "Kau tidak mungkin melakukannya." Liu mengambil satu tangkai bunga plastik itu dan menaruhnya di vas. Sed mengangkat bahu. "Memang tidak mungkin, tapi aku berpotensi untuk melakukan itu." Napas Liu tercekat. "Kau menyukaiku?" Selanjutnya, beberapa tangkai bunga plastik kembali menghantam wajahnya, Liu terkekeh. Tangannya terlipat di d**a dan menatap Sed dengan pandangan tak terbaca. "Aku tidak suka kau menatapku seperti itu." Salah satu alis Liu naik. "Kenapa? Kau takut jatuh cinta padaku?" Sed berusaha mati-matian agar tidak meninju sepupunya ini. "See? Kau berubah, 'kan? Kau tidak pernah mengatakan hal-hal mengerikan semacam itu padaku. Laki-laki itu benar-benar hebat, racun apa yang dia berikan padamu hingga kau berubah menjadi orang yang terlalu bersahaja seperti ini?" "Kal mengajarkan banyak hal padaku. Katanya, tidak selamanya aku harus menutup diri dan aku harus membuat banyak teman di luar." Liu menyunggingkan senyum yang teramat tipis. "Bukankah dia sangat baik, Sed?" Sed tidak peduli. "Sudah kuduga. Jadi, hal mengejutkan apa lagi yang tidak aku ketahui dari dirimu?" "Kau berkata seolah-olah aku ini bukan Liu." "Kau memang bukan Liu—maksudku, kau tidak terlihat seperti Liu; yang angkuh, tenang, bahkan tidak peduli dengan hal apa pun. Kau berubah, Liu, kau bahkan tidak pernah menghabiskan waktu bersama kami lagi. Apa yang sebenarnya laki-laki itu lakukan padamu?" "Dia bukan 'laki-laki itu', Sed, dia punya nama." Sed memutar bola mata. "Yeah, maksudku Kal." Keheningan sampai lima detik menyapa, sampai ia berujar, "Kurasa kalian tidak harus tinggal bersama." Liu tidak menjawab. "Dia membawa pengaruh buruk untukmu." Sed bangun dari kursi, niat untuk sarapan bersama Liu telah lenyap. Ada dua hal yang membuatnya kesal pagi ini. Pertama, Teo (sahabat mereka) yang tiba-tiba terlalu lengket padanya sehingga dia harus kabur ke rumah Liu. Kedua, Liu dengan lovey dovey murahannya dengan si preman urakan. Rasanya Sed ingin memberitahu Liu apa yang dicurigainya selama ini. Dia menatap Liu dengan serius. "Liu, pernahkah kau berpikir, apakah Kal benar-benar mencintaimu atau tidak?" Di depannya, Liu membeku. "Apa maksudmu?" Sed memperhatikan bagaimana tangan Liu sedikit gemetar karena pertanyaannya. Dia tidak tahu apakah tidak masalah membahas hal ini pada sepupunya itu. Liu punya riwayat buruk dengan kekasihnya terdahulu, Sed agak khawatir. "Lupakan saja. Kau tidak perlu memikirkan ucapanku." Sed berkata cepat-cepat. Liu balas menatapnya dengan serius. Rupanya sudah terlambat menyuruhnya untuk melupakan kalimat Sed. "Kenapa kau mengatakan itu?" Sed tahu bahwa Kal ternyata pria normal. Mungkin hubungannya dengan Liu adalah hubungan pertamanya dengan laki-laki. Karena alasan itu juga kenapa Sed khawatir dengan Liu. Sepupunya terlalu mencintai Kal, Sed bisa melihat itu di matanya. Sed hanya takut luka lamanya terbuka lagi. Di mana Liu begitu hancur dengan hubungannya di masa lalu. Apa Kal benar-benar bisa menjaganya? "Ini hanya seandainya saja, tapi ... bagaimana jika Kal tidak mencintaimu?" tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD