"Terkadang dalam hidup kita harus banyak-banyak bersyukur atas hidup!"
**
Dulu Genrefinadi Elyas Pramuarya pun sama seperti Reina, dia hanya seorang pemimpi yang menginginkan arti kebahagiaan. Elyas dulu juga selalu bermimpi setelah dewasa dia akan membahagiakan istrinya. Tapi, takdir hidup terlalu sepah untuk dia cicipi seorang diri. Bahkan tanpa sengaja, Elyas sudah menggores luka di hati Reina. Tidak hanya Reina yang terluka atas keputusannya, namun dia juga sangat tersiksa akan semua itu. Tapi, Elyas tak pernah menyesal pernah memadu Reina. Karena dia selalu yakin bahwa Reina akan kembali, dan memberikan kesempatan ke-dua untuk memperbaiki kesalahannya.
"Permisi." Sebuah suara dari balik pintu ruangan mengejutkan Elyas dari lamunan.
"Masuk." Pelawa Elyas kepada orang tersebut.
"Apa saya menganggu waktu istirahat Anda?" Tanya tamu itu setelah duduk di kursi sebrang.
"Jijik!" Umpat Elyas sambil melempar pena ke arah dahinya.
"Haha, aku hanya bercanda El. Aku dengar kau sedang meyakinkan hati istri pertama mu. Apa itu benar?" Tanya Arvam, sahabat sekaligus juga dosen matematika di universitas milik Elyas. Elyas mengangguk meng'iya'kan tebakan Arvam.
"Apa kau tidak berniat untuk memasukkan Reina ke universitas ini?" Argh, oke. Jangan pernah panggil dia "Arvam" jika tidak bertanya mulu kerjaannya.
"Aku justru sangat ingin memasukkan dia ke sini dan satu fakultas dengan istri ke-dua ku, bagaimana menurutmu?"
"Gila itu El namanya." Puji Arvam dengan menggelengkan kepalanya, lalu bertepuk tangan seolah anak kecil yang baru Elyas beri permen.
"Bagus dong, jadi mulai saat itu juga aku bakalan lihat sinema Indosiar secara live di dunia nyata. Kocak, "Suara Hati Istri Pertama Atas Istri Ke-dua Suaminya" hahaha."
"Setan kau, pergi dari sini Vam!" Usir Elyas setengah berteriak dengannya.
"Oke-oke, sorry aku pergi dulu." Pamit Arvam lalu membuka handle pintu, tepat saat itu juga mereka melihat Reina ingin mengetuk pintu.
"Eh, maaf tujuan saya kemari sudah selesai. Saya permisi dulu, assalamualaikum." Pamit Arvam lalu meninggalkan ruangan Elyas.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Elyas dan Reina. Ah iya, Reina. Elyas kembali fokus ke istrinya yang sudah masuk ke dalam ruangannya lalu menutup pintu.
"Mama Nisya menyuruhku mengantar bekal makan siang untukmu." Ucapnya tanpa basa-basi sembari meletakkan rantang di atas meja, lalu membukanya satu per satu. Makanan kesukaan Elyas semua ternyata, bau khas makanan asal Yogyakarta alias Gudek buatan Nisya menguasai indera penciumannya.
"Apa kamu tidak ingin makan sepiring berdua dengan Abang, Reina?" Tanya Elyas yang membuat Reina sedikit terkejut.
"Dari Aisyah RA, ia berkata: 'Saya dahulu biasa makan bubur bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.' hadits riwayat Bukhari." Ucap Elyas setelah cukup lama tidak mendapatkan jawaban dari Reina.
"Aku masih kenyang." Entah kenapa hati Elyas terasa sakit, seperti ada jarum yang menusuknya. Mungkin yang di rasakan Reina waktu dia dulu menikah lagi sakitnya sesakit ini. Ah tidak, mungkin lebih sakit dari sakitnya tertusuk jarum. Elyas menatap makanan kesukaannya dengan tidak selera. Rasanya dia sudah tak nafsu dan tidak ingin makan.
"Hah..." Terdengar nafas berat Reina, gadis itu berdiri mencuci tangannya dan, mengambil rantang yang berisi hidangan makan siang Elyas. Setelah itu dengan tiga jarinya (ibu jari, telunjuk, dan jari tengah makan yang di sunnahkan Rasul saat memakai tangan). Reina mengambil nasi dan lauk lalu di suakan ke dalam mulut Elyas. Di suapan ke dua saat Reina ingin menyuapi Elyas kembali, dia menghentikan pergerakan Reina.
"Dari Sa'ad bin Abi Waqosh RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: 'Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suakan ke dalam mulut istrimu.' Mutafaqun 'Alaih. Kenapa kamu bohong Rei? Mulutmu berkata kenyang, tapi perutmu keroncongan. Izinkan Abang untuk menyuapi mu Reina. Beri Abang peluang untuk menyuapi mu untuk yang pertama kali." Minta Elyas dengan sangat hati-hati, dia tidak ingin menyakiti hati istrinya lagi, dia tidak ingin Reina pergi meninggalkannya lagi.
"Lakukanlah." Ucap Reina memberi izin Elyas untuk menyuapinya . Elyas yang sedari tadi menunduk langsung menatap wajah Reina bingung, ah lebih tepatnya dia ragu atas pendengarannya.
"Hah?" Tanyanya bingung.
"Ish, tadi Abang bilang Abang mau menyuapi ku karena mendengar suara dari perutku, ya sudah ayo suapi, aku sudah lapar." Pintanya dengan mengerucutkan bibir. Elyas tersenyum hangat mendengar suaranya, terlebih Reina memanggil Elyas dengan sebutan "Abang" di tambah dengan nada suara seperti anak kecil yang manja terhadap ayahnya. Ah, bahasannya dari tadi anak kecil saja.
Elyas yang tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menyuapi Reina bergegas mencuci tangan. Dengan telaten Elyas menyuapinya dan menyuapi dirinya sendiri. Setelah selesai, Elyas memberi minuman dari sisa botol mineralnya.
"Apakah setelah selesai menyuapi diriku, kau akan menemui istri ke-dua mu untuk menyuapi dia makan?" Tanya Reina saat Elyas sedang mencuci tangan dan membersihkan rantang sisa makan tadi. Elyas melihat Reina sekilas lalu mengeringkan tangannya, dan kembali duduk di kursi tempat mereka makan tadi.
"Dia bisa makan sendiri."
"Tapi dia masih menjadi istrimu."
Elyas terdiam mencoba mencerna setiap kata Reina. Apakah dia setegar itu? Elyas tidak ingin kembali melukai hatinya. Kenapa Reina senang sekali melukai hatinya sendiri?
"Reina, Abang mohon jangan pernah ucapkan hal yang bisa membuat hatimu terluka. Abang tidak mungkin melakukan itu, Abang hanya ingin fokus memberbaiki hubungan antara Abang dan kamu, tidak dengan dia." Jawab Elyas tepat memandang manik hitam miliknya.
"Aku lelah, aku ingin pulang beristirahat."
"Jangan pulang sendirian." Cegah Elyas dengan memegang tangannya.
"Tidurlah disini." Pinta Elyas.
"Hah? Abang menyuruhku untuk tidur di ruang kerja Abang? Di kursi, meja, atau sofa?" Elyas menepuk jidat merasa lucu atas jawaban Reina, dia juga salah karena mengatakan kata-kata yang cukup ambigu bagi Reina.
"Disini ada kamar." Jawab Elyas dengan melangkah ke arah kiri ruangan lalu membuka ruangan yang isinya adalah kamar.
"Abang membuat kamar di dalam ruangan Abang?" Tanya Reina tak percaya.
"Saat kamu memilih pergi dulu, saat Abang masih kuliah hingga sekarang menjadi dosen muda Abang membuat ruangan khusus di dalam ruangan ini, hanya ada tempat tidur, kamar mandi, ruang sholat, dan tv. Selama kamu pergi, tujuh tahun tepat setelah kamu lepas landas, saat itu juga Abang tinggal di sini. Abang hanya pulang setelah subuh ke rumah, hanya mengambil pakaian, bertemu Mama, dan mengambil makanan. Berangkat ke kampus mau tidak mau, sudi tidak sudi Abang terpaksa mengantar Silvi ke sini. Pulang pun Abang juga yang mengantarkannya, setelah Isya Abang kembali ke sini."
"Apa itu artinya nanti kau akan mengantarkan dia pulang?" Elyas melihat Reina, gaya bahasanya yang terkadang memanggil dirinya dengan kata ganti "kamu" jika dia merasa tak bahagia atas ucapan Elyas, dan "Abang" saat dia bisa meluluhkan hati Reina.
"Nanti kalau pulang Abanb akan menyuruh dia menggunakan mobil, dan Abanb akan mengajakmu naik taksi, nanti kita pesan hotel dan honeymoon di sana, sekalian melakukan Lailatul Zafaf kita yang sudah tertunda." Elyas bisa melihat wajah marah Reina yang memerah seperti gunung merapi yang siap meletus kapan saja.
"Dasar m***m!" Umpat Reina lalu berbaring di tepi kasur. Elyas mendekati Reina lalu mencium pucuk kepalanya.
"Tidurlah, Abang masih ada kelas sampai jam setengah tiga." Pamit Elyas dengan melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu siang.
"Assalamualaikum." Imbuh Elyas dengan mengelus pipi Reina.
"Wa'alaikumsalam." Setelah mendengar jawaban atas salamnya, Elyas meninggalkan Reina dan segera masuk ke kelas.
Selesai