"BISAKAH KITA BERSAMA DALAM KURUN WAKTU YANG TIADA BATASNYA?"
Hari kerja jalanan Surabaya ternyata tidak jauh berbeda dari Jakarta, jalan raya penuh dengan kendaraan lalu lalang. Setelah mandi, dan sarapan di hotel Elyas membawa Reina ke alun-alun kota Surabaya sesuai janjinya tadi.
"Kenapa cemberut Rei? Bukankah kamu sendiri yang menawariku untuk mandi bersama dengan mu? Apa kau menyesali ucapanmu?" Tanya Elyas saat berhenti di lampu merah.
"Aku tidak pernah menyesal akan ucapanku." 'Aku hanya malu saja.' Imbuh Reina dalam hati. Tanpa Reina sadari, Elyas tersenyum tipis lalu mulai melanjutkan mobilnya saat lampu hijau sudah menyala.
"Lagi pula saat mandi tadi, kita masih lengkap menggunakan pakaian. Abang tidak membuat dirimu telanjang bulat di depan Abang." Ucap Elyas mengusik Reina.
"Abang, diamlah aku malu!" Ucap Reina sambil menutup wajah dengan ke-dua tangannya.
"Lain kali jangan bersikap begitu, kelemahan Abang hanya satu yaitu, dirimu." Reina melihat Elyas yang masih fokus ke jalan raya.
"Orang bilang kelemahan lelaki itu harta, tahta, dan wanita. Kenapa kelemahan Abang hanya aku saja? Ah tidak-tidak itu semua hanya bullshit semata. Jika itu benar, Abang tidak akan memilih untuk menikah lagi hanya karena harta." Ucap Reina sambil menatap kosong pemandangan dari luar jendela mobil, Elyas tersenyum kecut lalu menghentikan mobilnya.
"Kita sudah sampai." Ucapnya dengan membuka pintu mobil, lalu berjalan membukakan pintu untuk Reina.
"Aku tidak tahu, berapa rupiah yang mereka berikan kepadamu. Bahkan setelah aku setuju untuk memberi kesempatan kedua untukmu, kamu masih belum juga menjatuhkan talak untuk dia". Imbuh Reina dengan keluar dari mobil, dengan memanggil Elyas dengan kata ganti"kamu".
'Ya, kamu benar. Kelemahan lelaki itu harta, tahta, dan wanita. Kau benar, jika kau satu-satunya kelemahan Abang, Abang tidak akan menikah lagi hanya karena harta. Tapi apa menurutmu, Abang mau menikahi wanita lain hanya karena harta, Reina? Abang menikahi Silvia hanya karena terpaksa, semua itu Abang lakukan untuk kamu dan Mama Abang. Untuk menyelamatkan dirimu dan Mama, Abang justru melukai hatimu, hati Abang, dan hati Mama kita. Tujuh tahun Reina, tujuh tahun kamu pergi dari pandangan Abang. Tujuh tahun Abang memiliki waktu, dan kesempatan untuk menerima pernikahan ke-dua Abang dan mencoba mencintai Silvia. Tujuh tahun Abang kehilangan dirimu, dan sekarang, saat Allah memberikan waktu untuk menyembuhkan lukamu yang pernah Abang perbuat dulu. Abang rela Reina, rela hidup tanpa harta demi bisa hidup dengan mu. Abang ikhlas Reina, ikhlas tidak punya tahta ataupun pangkat hanya demi bisa menjadi suamimu. Bahkan jika kamu mahu, Abang akan menceraikan Silvia jika itu mampu menjadikan kamu satu-satunya Ratu di hati Abang. Bilanglah Abang egois Reina, sebab sejak awal pun yang terukir di hati Abang hanya nama kamu.' Ucap Elyas dalam hati.
Merasa sosok di sebelahnya hilang, Reina menghentikan langkahnya lalu menatap ke belakang menatap Elyas yang berjalan dengan malas, serta kedua tangan yang di masukkan ke dalam saku celananya.
"Ish, menyebalkan." Ucapnya lalu berjalan mendekati Elyas, dengan manja Reina memeluk lengan tangan kirinya dengan nyaman.
"Abang, apa aku punya salah kata?" Tanya Reina hati-hati sambil melirik Elyas.
"Tidak ada." Jawab Elyas dengan menunjukkan senyumnya. Senyum yang entah ikhlas atau pura-pura ikhlas.
'Apa tadi aku salah bicara?' Tanya Reina dalam hati.
"Yang kamu ucapkan tadi benar. Bagaimanapun juga Abang adalah laki-laki, dan kelemahan laki-laki itu harta, tahta, dan wanita. Yang kamu ucapkan tadi benar. Kelemahan Abang tidak hanya kamu, jika itu benar. Tidak mungkin Abang menikah lagi."
"Aku minta maaf." Ucap Reina penuh bersalah dengan menundukkan kepala, bahkan gandengan tangannya sudah di lepas dari lengan Elyas.
"Jangan pernah berminta maaf atas ucapanmu yang tidak ada kesalahannya itu." Ucap Elyas dengan tersenyum lalu memeluk pinggang Reina, dan mencium pucuk kepalanya.
"Reina minta maaf Abang." Ucap Reina satu kali lagi dengan ikhlas.
"Berhenti minta maaf, ayo kita bahagia." Ucap Elyas dengan berbisik di telinga Reina.
Reina membulatkan matanya saat Elyas mencium pipi kanannya. Saat ingin mencubit perut Elyas, sang suami justru sudah berlari menuju tempat duduk di pinggir alun-alun. Reina menghentakkan kaki sebal lalu berjalan mendekati Elyas yang sudah menertawakannya.
Dengan malas Reina duduk di sebelah Elyas dengan wajah cemberut. Dengan sebal dia mengalihkan tatapannya tanpa memandang Elyas. Tiba-tiba sebuah bola melintas di depan mereka, lalu datanglah anak kecil yang tengah berlari mencoba mengejar bola itu.
Saat akan menggapai bola, anak kecil itu justru jatuh tersungkur. Dengan segera Reina berlari dan berjongkok menyamakan tinggi tubuhnya, lalu membantu anak kecil itu bangun dari jatuhnya.
"Sayang, lain kali hati-hati kalau lari. Kerikil-kerikil di sini sangat jahil, apa kau terluka?" Tanya Reina sambil mengusap lembut kepala anak kecil itu.
"Tidak Tante, terimakasih sudah menolong Naha." Ucap anak tersebut dan...
Satu ciuman capung hinggap di pipi kanan Reina. Tidak lama setelah itu, datang wanita menghampiri mereka.
"Naha." Panggil wanita tersebut kepada sang putra, anak kecil itu menengok ke belakang.
"Ibu, maafkan Naha. Tadi Naha hanya ingin mengejar bola ini, tapi Naha malah terjatuh, dan Tante baik hati ini sudah menolong Naha. Jangan marahi Tante baik hati ini ya."
"Ibu tidak akan menghukum mu, ataupun memarahi Tante baik hati yang sudah menyelamat kamu. Dan?" Wanita itu sedikit menggantungkan ucapannya.
"Reina." Jawab Reina saat wanita itu memandangnya.
"Terimakasih sudah menolong Naha. Dia memang sedikit nakal."
"Dia masih kecil, jadi wajar saja jika dia nakal." Jawab Reina sambil melihat Naha yang sudah bermain bola dengan sang suami.
"Ah iya, namaku Kanaya." Ucap Kanaya sambil mengulurkan tangan kanannya, Reina membalas jabatan tangan tersebut.
"Mari kita duduk dulu sambil berbincang-bincang." Pelawa Reina sambil duduk di kursi yang tadi dia duduki bersama Elyas.
"Apa dia Abangmu?" Tanya Kanaya sambil menatap Elyas, Reina mengikuti tatapan Kanaya dengan senyum di bibirnya.
"Kalian sangatlah mirip." Imbuhnya lagi.
"Benarkah?" Tanya Reina dengan menatap Kanaya.
"Iya, apa kau tidak melihat kemiripan di antara diri mu, dan Abang mu itu?"
"Dia suamiku." Jawab Reina yang membuat Kanaya terkejut.
"Maaf, aku tidak tahu." Reina mengangguk lalu menatap interaksi antara suaminya dengan Naha.
"Sudah berapa tahun kalian menikah?" Tanya Kanaya.
"Tujuh tahun lebih sedikit." Jawab Reina jujur.
"Kalian nikah muda?" Tanya Kanaya terkejut.
"Lebih tepatnya jodohku datang lebih awal dari prediksi ku." Dih, jawaban macam apa yang kau ucapkan itu Rei!
"Apa mudah menjalani komitmen di usia kalian yang maaf, masih sangat muda waktu itu?"
'Sangat sulit, terlebih saat kau mengetahui bahwa suamiku itu memiliki dua istri.' Jawab Reina dalam hati.
"Komitmen bisa di bangun jika ada rasa saling percaya." Jawab Reina dengan tersenyum yang di buat-buat.
"Hari sudah mulai siang, aku dan Naha ada acara. Terimakasih atas waktunya, semoga kita bisa berjumpa lagi di lain hari." Pamit Kanaya.
"Naha, ayo pulang." Ajak Kanaya dengan memanggil nama anak lelakinya.
"Ibu, aku belum puas bermain dengan Paman Elyas." Jawab Naha dengan wajah tak terima.
"Lain kali jika kita berjumpa lagi, paman akan bermain denganmu, sekarang datanglah ke ibumu." Ucap Elyas dengan mengusap lembut rambut anak kecil itu.
"Kami permisi dulu, Assalamualaikum." Pamit Kanaya sambil menggandeng tangan kecil Naha.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Elyas dan Reina. Setelah Kanaya dan Naha sudah jauh, Reina berjalan mendekati Elyas lalu memeluk lengan suaminya dengan manja.
"Apa Abang tahu, Kanaya menganggap kita ini mirip. Dia mengira bahwa Abang adalah Abang ku. Mungkin jika tadi aku menjawab bahwa Abang memang Abangku, bisa jadi dia akan menjadikan Abang sebagai suaminya. Tapi sayang, aku menjawab bahwa Abang adalah suamiku. Dari matanya tadi, dia benar-benar menatap Abang penuh dengan tatapan mengincar." Elyas diam mendengarkan semua cerita istrinya itu dengan malas.
"Naha lucu ya, Bang." Ucap Reina mencoba mengalihkan pembicaraannya tadi.
"Nanti kita buat sendiri manusia yang lebih lucu dari Naha." Bisik Elyas kepada Reina.
"Kita bikin berapa?" Ucap Reina menanggapi ucapan suaminya.
"Sebelas, biar Gen Halilintar tersaingi." Reina mencubit pinggang Elyas hingga membuatnya mengaduh.
"Abang yang enak tinggal bikan bikin bikan bikin. Lah, akunya yang hamil." Ucap Reina polos.
"Memang sudah siap mau punya anak?" Tanya Elyas dengan sedikit menggoda istrinya itu. Namun bukannya menjawab Reina justru berlari ke tengah lapangan alun-alun.
Selesai.