2

2776 Words
'Semenjak itu, aku selalu pergi ke taman untuk melihat kupu-kupu itu.' - Ares Pratama Ares masih duduk di sofanya setelah selesai menelpon Brawijaya sebelumnya. Hubungannya dengan Brawijaya hanyalah sebatas simbiosis mutualisme. Mereka sama-sama memiliki dendam kepada orang yang sama, Adinata Djuanda. “Tapi jangan pikir aku memercayaimu, Brawijaya. Ares tidak pernah percaya pada siapa pun. Dia hanya percaya pada dirinya sendiri,” gumam Ares sambil berjalan menuju jendela melihat pemandangan kota dari atas. Dia mengingat lagi ke masa lalu. Mengingat bagaimana dan darimana semua ini dimulai. Flashback ‘DOR!’ suara tembakkan bergema diruangan itu. Ares yang masih berusia tujuh tahun sedang berlatih menembakkan peluru tepat pada sasarannya. Diusianya yang terbilang sangat muda, dia sudah bisa membidik dengan tepat. ‘Prokk! Prokk! Prok!!’ Reihand sang ayah menepuk tangannya karena sangat kagum dengan kehebatan putra sulungnya itu. “Ini latihan ketiga buatmu dan hasilnya benar-benar memuaskan,” puji Reihand sambil menepuk pundak Ares. “Terima kasih, ayah! Ini semua berkat ayah selalu melatihku,” jawab Ares tersenyum senang mendengar pujian ayahnya. “Ares! Ayah harap, kamu bisa melindungi keluarga kita jika ayah tidak ada. Lindungi ibu dan adikmu ya,” ucap Reihand bagaikan pesan untuk putra kecilnya itu. Ares langsung mengangguk untuk mengiyakan permintaan sang ayah. “Hei! Ayo makan malam! Sudah selesai latihannya, kan?” panggil Elsa sang ibu. Ayah dan anak itu langsung keluar dari ruang latihan menuju ruang makan. Mereka berempat berkumpul di meja makan untuk makan malam bersama. “Bagaimana Boston, Simon?” tanya Ares kepada adiknya, William Simon yang baru saja kembali dari Boston semalam. “Sangat menyenangkan, kak! Paman sangat baik dan aku harap kita bisa sekeluarga kesan,” jawab Willy senang. “Nanti Ares yang akan kesana. Kalian bergantian saja, ya. Kalau nanti kalian berdua pergi, tidak ada yang menemani ibu,” ujar Elsa kepada Ares. “Kenapa tidak sekeluarga saja sih, bu? Memangnya ayah gak bisa libur sama sekali?” tanya Ares masih tidak mengerti kenapa mereka tidak bisa pergi bersama ke Boston. “Pekerjaan ayah masih sibuk. Tapi suatu hari nanti, kita pasti bisa pergi ke sana,” jawab Reihand seakan menyembunyikan sesuatu dari kedua putra kembarnya itu. “Sudah, jangan banyak bicara! Ayo makan malam! Tadi ibu masak ini bareng dengan Simon.” Elsa mengajak seluruh anggota keluarganya untuk makan malam. “Simon belajar masak? Pufftt!!” Ares menahan tawanya sambil mengejek adiknya Willy. Adiknya hanya diam saja memandang kesal kakaknya yang tengah mengejeknya. “Hei, apa yang salah? Setiap anak itu punya kelebihan masing-masing. Karena lebih dekat dengan ibu, makanya Simon banyak belajar dari ibu. Jangan ejek adikmu, Ares!” tegur sang ibu. “Tapi kayak perempuan, dong!” Ares masih belum berhenti mengejek Willy. “Ares, jangan bilang begitu.” Reihand juga menegur putra sulungnya. “Ya, maaf! Simon jangan menangis, ya?” Ares akhirnya mengalah sambil meminta maaf. “Siapa yang menangis? Cepat habiskan makananmu!” kesal Willy karena terus diejek oleh kakaknya. Tapi meski begitu, keluarga ini bisa dibilang penuh kehangatan. Tak lama, Ares pergi ke Boston untuk tinggal dan bersekolah di sana. Dia akan tinggal beberapa lama disana. Walau berat, dia tetap menuruti perintah kedua orang tuanya. Meski sebenarnya dia tidak tahu alasan kenapa dia dan adiknya bergantian dikirimkan ke luar negeri. ~ARES~ Boston, USA Ares benar-benar menjadi anak yang baik dibawah asuhan pamannya. Dia giat belajar dan selalu mendapat nilai terbaik. Tapi disisi lain, dia ingin se-segera mungkin pulang karena dia sangat merindukan keluarganya. Memang, keluarganya sering menelpon dan mengirim surat dari Indonesia. Tapi tetap saja dia merindukan mereka. “Ares, apa kamu merindukan orang tua dan adikmu?” tanya Harold Simon sang paman. Dia adalah pengusaha cukup tersohor di Boston. Dan juga, adik kandung dari ayahnya. “Tentu paman! Apa liburan musim dingin nanti aku boleh pulang ke Indonesia? Aku sangat merindukan mereka semua, terlebih lagi Simon,” jawab Ares dengan nada penuh keriangan. Lalu Harold berjalan ke sebelah Ares sambil meraih bahu keponakanannya itu. “Ares, apa kamu tidak pernah bertanya-tanya kenapa namamu dan adikmu berbeda padahal kalian itu kembar?” tanya Harold membangkitkan rasa penasaran Ares. “Ayah bilang, kalau namaku lebih mengarah ke Indonesia sedangkan adikku lebih ke Barat. Ayah adalah campuran Amerika-Indonesia, jadi dia sengaja memberikan nama kami sebagai jati dirinya,” jelas Ares seadanya karena itulah yang dia tahu. Harold menyeringai mendengarkan penjelasan keponakannya yang menurutnya begitu polos. “Kau tahu? Sebenarnya, dia itu membencimu dan berharap kamu cepat mati,” ucap Harold membuat Ares terbelalak tak percaya. “Apa maksud paman?” tanya Ares dengan nada tidak terima. “Nama asli ayahmu adalah George Simon! Tapi saat di Indonesia dia menggunakan nama Reihand Pratama. Kakakku yang licik itu memberikan nama keluarga yang serupa denganmu untuk menjadikanmu tumbal. Dan dia ingin melindungi adikmu, William dengan menutupi identitas anak itu sebagai anaknya. Ini sebuah permainan, Ares,” jawab sang paman tapi Ares masih belum bisa mengerti dengan benar. “Kenapa ayah begitu, paman? Itu pasti bohong, kan?” Ares masih tidak percaya. “Ini semua karena pekerjaan ayahmu. Lihat saja nanti, dia akan mengirim William bersamaku dan kamu akan ditinggal di Indonesia. Saat sesuatu yang buruk terjadi, kamulah yang akan dihabisi, sementara adikmu selamat. Memangnya, kamu mau berkorban sejauh itu, keponakanku? Aku mengatakan ini karena sangat menyayangimu, lho!” Harold terus-menerus mengatakan ini untuk menghasut Ares. Dia ingin Ares membenci kakaknya dan seluruh warisan keluarga besar akan menjadi miliknya sendiri. Lalu Ares bisa dimanfaatkan oleh Harold. “Kalau pun itu benar, aku tidak masalah! Karena aku ingin melindungi Simon!” jawab Ares dengan polos dan tulus. “Baguslah! Paman suka dengan ketulusanmu dan rasa sayangmu kepada adikmu. Itu akan berguna kedepannya.” Harold mengangguk setuju dengan tekad Ares yang sangat ingin melindungi adiknya. Pria dewasa itu berdiri untuk melangkah keluar dari kamar Ares. Tapi sebelum benar-benar keluar, dia berujar,”Tapi satu hal Ares, orang baik tidak akanpernah mendapatkan segalanya. Karena orang yang menang adalah orang yang egois.” Harold pergi dan menutup kamar Ares. Anak itu masih terdiam mendengar kebenaran mengenai orang tuanya. Dia masih tak percaya, tapi itu semua membuatnya bimbang. Sebenarnya, dia ingin mengenyahkan pikiran negatifnya soal keluarganya. Tapi, perkataan Harold soal keegoisan seakan masuk akal baginya. Dia jadi berpikir bahwa di dunia ini setiap orang punya keegoisan masing-masing. Mereka semua ingin melindungi dirinya sendiri tanpa memedulikan orang lain. Pikiran Ares jadi bimbang karena kebingungan. “Apa yang kupikirkan? Sebagai kakak, melindungi Simon adalah yang terpenting buatku.” Ares mengenyahkan pemikiran pendek itu. Dia masih terlalu muda jika dicekoki oleh hal-hal yang merupakan urusan orang dewasa. Ares masih berusaha mengenyahkan pikiran negative itu. Dia yakin bahwa keluarganya sangat mencintainya. Dia sangat menunggu-nunggu saat dia bisa kembali ke pelukan mereka. ~ARES~ Beberapa saat kemudian… Jakarta Barat, Indonesia “Suamiku, kenapa kita tidak mengirim keduanya saja ke Boston? Aku yakin, mereka tidak bisa dikejar sampai kesana.Lagipula, jika mereka bermasalah denganmu, kenapa mereka harus mengejar anak-anak kita? Kumohon pikirkan lagi!” pinta Elsa pada suaminya. “Elsa! Bagi mereka telur ular akan tetap lahir menjadi ular. Bukan anak-anak saja yang diincar, tapi juga kamu! Maafkan aku tidak bisa melindungi kalian! Jika kita tidak mengorbankan salah satu, maka kita akan kehilangan mereka berdua,” jawab Reihand membuat hati Elsa sedih. “Suamiku, aku rela mati karena sedari awal aku sudah tahu resiko pekerjaanmu. Tapi, tak bisakah kita menyelamatkan anak-anak? Apa tak ada harapan bagi keduanya untuk tetap hidup?” Elsa masih tak terima dengan kenyataan. “Sudahlah! Kita harus bergerak sekarang! Harold pasti sudah datang bersama Ares. Dan kita akan kirim Simon ke Boston. Ares akan disini bersama kita,” putus Reinhard final. Bandara Soekarno-Hatta Kini Ares sudah tiba di Jakarta. Dia dan pamannya sedang menunggu jemputan dari keluarganya. Dia tersenyum lebar membayangkan kebahagiannya saat bertemu dengan yang lainnya. Hampir setahun dia berada di Boston, tentu saja dia merindukan orang tuanya terlebih lagi adiknya. Adik yang sangat dia sayangi. Bagaimana pun mereka sudah bersama sejak dalam rahim. “Apa? Sudah terjadi, ya? Baiklah kalau begitu.” Harold mematikan sambungan teleponnya lalu menghampiri Ares. “Nak, kedua orang tua serta adikmu mengalami kecelakaan hebat! Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Harold memberi tahu berita buruk itu dan langsung membawa Ares ke rumah sakit. Perasaannya tak karuan saat mendengar keluarganya mengalami kecelakaan. Dia tentu saja sangat mengawatirkan mereka semua. Rumah Sakit Kini Ares masih duduk menunggu di depan ruang IGD. Pamannya baru saja menanyakan soal korban kecelakaan karena di tabrak bus, lalu mereka di arahkan ke IGD itu. Berjam-jam Ares menunggu sambil menangis tersedu-sedu. Tak lama, seorang dokter keluar dan memindahkan ayah dan adiknya ke ruang ICU. “Apa yang terjadi pada istrinya?” tanya Harold pada dokter itu. “Maaf pak, tapi keadaan istrinya terlalu buruk dan sudah meninggal saat sampai kemari. Kami hanya bisa menyelamatkan suami dan anaknya. Tapi, kami tak tahu kapan mereka bisa sadar. Permisi pak!” jawab sang dokter pada Harold. Mendengar itu, Harold hanya mendecak kesal . “Paman? Ibu sudah tiada?” tanya Ares sedih karena memang dia mendengarkan semuanya. “Ya, begitulah,” jawab Harold. Mendengar kenyataan pahit itu, Ares langsung menangis sepanjang hari. Dia sangat sedih karena baru saja kehilangan ibunya. Setelah sang ibu dimakamkan lebih dulu, Harold membawa Ares kembali ke rumah sakit. Mereka selalu disini untuk memastikan keadaan Reihand dan Willy. Tapi, Harold punya rencana lain. Dia tidak ingin kakaknya tetap hidup, tapi dia juga tak ingin mengotori tangannya. Maka, dia menggunakan Ares dan kelemahan anak itu. “Ares, kamu akan mau siapa yang tetap hidup, ayah atau adikmu?” tanya Harold membuat Ares mengernyit bingung. “Kenapa paman bertanya begitu?” Ares balas bertanya. “Dengar, kalau ayahmu tetap hidup, maka dia akan menghabisimu! Tapi, jika kamu membiarkan William mati, kamu akan tetap hidup. Sayangnya, tetap saja waktumu singkat. Karena apa? Kamu akan menjadi incaran setelah ayahmu terbunuh. Kalau ayahmu mati sekarang, kita punya waktu untuk ke Boston karena kasus ini akan di usut. Jadi… siapa yang akan kamu pilih?” tanya Harold seakan memaksa Ares memilih untuk mempertahankan siapa. Pria itu terus memaksa anak polos itu sampai akhirnya Ares menjawab, “Aku akan menyelamatkan Simon!” Jawaban Ares membuat Harold tersenyum penuh kemenangan. Harold menyuruh Ares menghabisi ayahnya yang masih dalam perawatan. Ya, dia disuruh melepas oksigen yang membantu pernapasan sang ayah.Ares ragu-ragu melakukannya, tetapi dia juga melihat ke arah adiknya yang terbaring tak berdaya di sebelah sang ayah. “Maafkan aku, ayah!” gumamnya sambil melepas selang oksigen yang menopang ayahnya saat ini. Tiba-tiba, monitor yang menjadi petunjuk detak jantung sang ayah berbunyi dan lama-lama detak jantung Reihand melemah. Tapi yang mengejutkan Ares adalah sang ayah yang membuka matanya dan mengisyaratkan Ares untuk mendekat. Maka Ares mendekat sampai dia bisa mendengarkan perkataan ayahnya sebagai pesan terakhir. “Jaga adikmu, Ares.” ‘Tiiiittttttt!!!’ Ares mematung tak percaya! Dia sudah menghabisi ayahnya sendiri. Tak lama, Harold menariknya keluar supaya tidak ketahuan kalau dialah yang membunuh ayahnya. Sebelumnya, Harold sudah memanipulasi sistem CCTV untuk beberapa saat. Dia tersenyum saat melihat kalau Reihand sudah benar-benar dilenyapkan. Setelah beberapa waktu, Willy sadar dan mereka membawanya ke Boston setelah keadaan lebih baik. ~ARES~ Tapi sayangnya, sikap Harold ternyata sangat buruk. Dia sangat kesal karena semua harta milik Reihand dibekukan oleh pihak Kepolisian. Mereka sudah tahu identitas Reihand dan menutup kasus kecelakaan yang menewaskan Reihand dan istrinya. Harold kita tak mendapat sepeser harta pun milik Reihand. Akhirnya, dia melampiaskan kekesalan kepada putra-putra kakaknya. “Kalau begini terus, mana ada sekolah yang mau menerimamu, William? Mau jadi apa kau ini?” marah Harold kesal karena Willy yang buta warna. “Cukup paman! Jangan marahi Simon! Aku yang akan membantunya!” Ares tidak terima adiknya yang baru dalam masa pemulihan ditekan habis-habisan oleh pamannya. Harold langsung menarik Ares keluar untuk memarahinya karena sudah berani melawannya. ‘PLAK!’ Harold menampar kuat pipi Ares sampai bibirnya berdarah. “Kau melawan? Kau pikir siapa yang merawat dan mengeluarkan uang untuk kalian?” ‘PLAK!’ dia menampar sebelahnya lagi sampai Ares benar-benar terluka dan tersungkur di lantai. Ares kemudian berlutut di kaki pamannya sambil berkata,”Jangan sakiti adikku, paman! Aku akan melakukan semua perintahmu! Kumohon! Hikss!” Melihat Ares memohon, Harold menyeringai dan langsung menarik Ares untuk kembali ke kamarnya. Dia berkata,”Baguslah kalau begitu. Kalau kau melawan sedikit saja, maka William akan kuhabisi! Dan kau juga harus dihukum untuk yang tadi! Oh iya, aku tidak suka anak lelaki yang cengeng!” Lalu dia mengunci Ares dikamarnya seharian tanpa diberi makan. “Maafkan aku, ayah! Aku akan melindungi Simon! Dia tidak boleh tertekan lagi!” tekad Ares semakin kuat. Waktu terus berlalu, Ares terus menerus dalam tekanan sang paman. Tapi, dia terus terlihat baik-baik saja di depan adiknya. Dia tak berhenti terus membantu adiknya belajar sehingga mendapatkan nilai terbaik. Dia ingin suatu hari nanti, Willy bisa sekolah bersamanya, bukannya home schooling. Meski begitu, Willy peka dan tahu apa yang dialami sang kakak. Meski buta warna, dia bisa melihat perbedaan warna kulit kakaknya dan beberapa bagian wajah Ares yang lebam. Tapi, Ares terus menutupinya dan mengatakan bahwa dia tidak apa-apa. ‘CTASS!!’ ‘CTASSS!’ Harold berulang kali mencambuk Ares karena kesal nilai anak itu turun, padahal cuma sedikit. “Ampun, paman!” Ares memohon ampun berulang kali. “Jangan menangis! Aku tidak membesarkanmu untuk jadi tak berguna! Kau mengerti? Kalau kau melawan sedikit saja, kuhabisi adikmu itu!” ancam Harold lagi sambil terus mencambuki Ares. Tanpa sadar, Ares mengepalkan kuat tangannya. Dia memang diam tetapi dendam mulai tumbuh di hatinya. Lima belas tahun kemudian… Ares saat ini sudah menjadi pria dewasa, tampan, dan cerdas. Karena kecerdasannya, dia meraih nilai-nilai terbaik di Universitas ternama di USA. Dia bahkan dapat menjalankan bisnis pamannya sehingga menjadi sukses besar. Dia memang luar biasa, tapi itu dari luar. Saat ini, Ares bersama beberapa anak buahnya sedang berada di sebuah ruang bawah tanah yang sangat gelap. Dia berjalan angkuh ke arah seseorang yang di sekapnya selama beberapa hari itu. “Siram dia!” titah Ares diangguki oleh anak buahnya itu. Orang itu langsung disiram dengan tak manusiawi menggunakan air kotor. “Sudah bangun?” tanya Ares sambil mengangkat wajah pria yang dia jadikan tawanan itu. “Mau sampai berapa lama kau mengurungku, Ares? Ternyata, kau ini tak tau terima kasih, ya? Aku sudah mengurusmu, tapi ini balasanmu!” jawab pria yang ternyata adalah Harold, pamannya. “Aku tau terima kasih, kok! Buktinya, aku tak langsung melenyapkanmu. Tentu saja, sebelum kau menandatangani surat pengalihan kuasa ini! Permintaanku masih sama seperti kemarin. Aku janji akan membebaskanmu dan membiarkanmu tenang paman,” ucap Ares sambil menyeringai kejam kepada Harold. Dengan terpaksa, akhirnya Harold menadatangani surat itu. Dia sudah disekap Ares selama berminggu-minggu diruangan ini. Ini adalah ruangan miliknya dulu, tapi dia terlalu bodoh pernah membawa Ares kemari saat menghukum anak itu. Ares sekarang sudah semakin kuat karena banyak yang mendukungnya. Ares sangat pandai mencari hati para kolega bisnis Harold, sampai-sampai mereka tak lagi menghormati Harold. Mereka mengutamakan Ares, jika tidak ada Ares, maka mereka tidak mau berbisnis. “Begitu dong! Kalau begini, aku bisa tenang. Jadi pesanku, sampaikan salamku pada penghuni neraka ya, Paman! Aku masih lama masuk kesana!” kata Ares sambil tersenyum mengerikan sambil mengambil sebuah tongkat baseball yang sudah disiapkan para bawahannya. Dengan kejamnya, dia memukul kepala bagian belakang Harold. ‘BUGHH!’ “Kalau skenarionya kecelakaan, pasti kepalanya harus pecah ya?” gumam Ares sambil memukul sang paman dengan sadis. ‘BUGHH!!’ “Arrrggghh!! b******k!” maki Harold saat Ares memukulinya terus. Ya, Ares hanya menyeringai sambil menginjak kepala pria itu. Dia sangat menikmati aksinya. “Kau yang mengajarkanku menjadi b******k, Harold! Jangan lupa, ya!” katanya sambil tersenyum ala psikopat. “Kalian bawa dia ke dekat laut, lalu tinggalkan dia di mobil itu. Jangan lupa, taruh dia di kursi kemudi. Kemudian, letakkan batu di gas mobil itu. Biarkan orang berpikir dia mati karena kecelakaan. Pastikan semuanya bersih!” perintah Ares lalu berjalan keluar dari ruang bawah tenah yang gelap itu. “Ares!! Ares!!” panggil Harold tapi tak diacuhkan oleh empunya. Ya, dia sadar kalau dia memang sudah membesarkan seorang monster yang sangat mengerikan. Mungkin bisa dibilang, kalau ini adalah karma baginya. End Of Flashback Ares masih memandangi kota Jakarta dari jendela apartemennya. Ingatan itu kembali terputar di memorinya. Awal dari lahirnya seorang monster yang mengerikan. Tapi, Ares menyeringai sambil mengambil segelas wine yang ada di meja. Dia menyesapnya dengan santai sambil menyusun rencana luar biasa yang ada dikepalanya. Rencana untuk membuat orang yang kini hidup tenang setelah menghancurkan keluarganya jadi menderita. Orang yang membuat adiknya secara tidak langsung mengidap penyakit parah dan sampai meninggal. Orang yang membuatnya kini berdiri sendiri tanpa satu pun penopang. “Ares Pratama tak butuh penopang! Dia bahkan bisa menghancurkan orang yang memiliki banyak topangan! Lihat saja, Adinata Djuanda!” gumamnya sambil menyesap winenya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD