4. MENABRAK SESEORANG

1640 Words
Setelah hari kedatanganku di New York, Om Bram dan istrinya tidak pernah menyinggung Andreas lagi sedikitpun. Pria dingin itu juga tidak pernah muncul lagi setelah hari menjemputku di bandara. Kini sudah hampir tiga tahun berlalu sejak kedatanganku di New York. Aku sudah bisa menjalani hidup di negara ini dengan tenang. Sepertinya aku sudah menyesuaikan diri. Aku pun sudah bisa move on sedikit demi sedikit dari keterpurukanku. Aku beruntung karena kesibukanku juga lah yang banyak membantu untuk keluar dari belenggu keterpurukan. Meski terselip rasa khawatir bagaimana jika Mas Reza masih hidup lalu membenciku jika bertemu denganku nanti. Ritme hidupku di New York tidak ada yang istimewa. Berjalan monoton, seperti tinggal menekan tombol repeat maka apa yang terjadi hari ini sudah bisa ditebak alurnya, tidak akan jauh beda dari hari-hari sebelumnya. Aku mengenal seorang mahasiswi asal Indonesia bernama Tania. Dia seumuran denganku. Bedanya dia masih single dan langsung kuliah setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah atas. Kami menjalin pertemanan yang positif. Tidak menganut paham pergaulan bebas sama sekali. Pada saat berkenalan dengan Tania untuk pertama kali, aku memang sudah menekankan padanya kalau aku ke New York bukan untuk senang-senang. Tujuanku hanya untuk kuliah, cepat selesai dan aku bisa segera pulang ke Indonesia. Meski kata orang New York memiliki segala yang diinginkan oleh umat manusia, tapi tidak halnya dengan aku yang selalu ingin cepat pulang ke rumah. Selain dengan Tania aku juga memiliki teman baik laki-laki. Namanya Jason, dia warga campuran New Jersey dan Italia. Dia seorang asisten dosen untuk salah satu mata kuliahku. Awal perkenalan kami karena dia pernah menggantikan salah satu dosen selama tiga bulan lamanya. Sejak itu aku sering jalan dengan Jason. Jalan sebagai teman, tidak ada hubungan spesial apa pun di antara kami. Aku juga sering mengajak Tania bila sedang jalan dengan Jason.  Hari ini sambil menunggu jadwal kelas berikutnya dan Tania sedang berada di perpustakaan.Kami belajar sambil bercanda. Tak ketinggalan bergosip pastinya. "Yung, lo sama Jason gimana?" tanya Tania dengan suara lirih. "Baik saja. Kenapa memangnya?" Aku bertanya tanpa melihat ke arah Tania, karena saat ini aku sedang sibuk menulis di ordinary-ku menyalin beberapa point penting isi buku di hadapanku. "Lo nggak pernah ehem-ehem?" Pertanyaan Tania membuatku mengalihkan pandangan dari ordinery menatap wajah Tania. Tania kemudian membuat gerakan menyatukan kesepuluh jarinya dengan membentuk masing-masing lima jari dengan bentuk kerucut, atau seperti orang berciuman. Aku tertawa tertahan agar tidak meledak karena aku sadar saat ini kami berada di perpustakaan yang sangat hening. "Lo gila ya? Gue sama Jason itu cuma temenan doang. Nggak lebih." Aku melempar sebuah buku tipis ke muka Tania. Tania mengaduh kesakitan karena buku tadi mengenai tepat di hidungnya. "Ach... masak sih? Lo kan jalan sama Jason udah sekitar enam bulanan. Memang lo nggak merasakan getar-getar aneh gitu kalo pas lagi sama dia? Secara kan dia cakep bingit lo, Yung. Lo nggak naksir dia gitu?" Aku kembali mengulum senyum dan menggeleng. "Apa dia masih kalah ganteng ya sama mas Reza lo?" Belum sempat aku menjawab pertanyaan bodoh Tania, ada suara dehaman lembut mengejutkan kami berdua. "Hai, Jason come here!"Aku menepuk-nepuk bangku kosong di sampingku. Tidak lama kemudian dia sudah duduk, memangku tangan kanan dengan dagu lancipnya. Matanya menatap tajam ke arahku. "Well, who is Mas Reza? Lalu siapa yang sedang dibanding-bandingkan dengan Mas Reza? Me? Sedikit banyak saya bisa loh Bahasa Indonesia," ucap Jason penuh selidik, menatapku dan Tania bergantian. "Oh, no.... Kami tidak sedang membanding-bandingkan siapa-siapa, Jason. Iya kan Tan?" Kakiku berhasil menendang tulang kering milik Tania. "Aduh, sakit Yung. Gila lo ya nendang kaki gue." Tania akhirnya meringis kesakitan, dan Jason tertawa renyah melihat tingkahku dengan Tania sore ini. Kemudian kami bertiga tertawa terkekeh hingga membuat beberapa pengunjung perpustakaan menatap sampai ada yang mengode supaya lebih tenang. Kedua orang yang sering menghabiskan waktu bersamaku itu juga sudah tahu soal status pernikahanku serta aku sudah memiliki seorang anak laki-laki yang meninggal dalam kecelakaan tragis. Aku bersyukur Tania dan Jason tidak pernah bosan dan berhenti memberi dukungan padaku. Berkat mereka jugalah yang membuat aku bertahan hidup di negeri orang hingga bertahun-tahun tanpa pernah diperbolehkan pulang ke Indonesia oleh kedua orang tuaku. "Saya mau mengundang kalian berdua ke acara party. Saya mengadakan sebuah party kecil untuk merayakan ulang tahun dan kelulusan saya," ujar Jason dengan wajah harap-harap cemas "Okey Jason. I'll go," sahut Tania dengan penuh semangat. "Kamu datang juga ya, Yung," ujar Jason lagi. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban oke atas undangan Jason. *** Malam ini aku sudah ada di tengah-tengah keramaian party yang diadakan oleh Jason. Aku memilih duduk di pojok ruangan sambil menikmati minuman cola low sugar dan yang jelas non alkohol. Pesta ini sangat meriah karena diiringi oleh band musik, dance, dan dj. Pesta yang sangat mewah menurutku. Rumah besar Jason didesain menjadi sebuah night club, suara hiruk pikuk musik dan suara tawa menggema menjadi satu mengisi seluruh ruangan ini. Waktu juga terasa berlalu begitu cepat malam ini. Namun tidak satu pun orang yang berniat menyudahi acara pesta. Sepertinya pesta benar-benar akan usai saat hari menjelang subuh. "Gue kudu balik ke rumah om Bram sekarang. Tania mana, sih? Mana gue ngantuk banget lagi," gerutuku sambil mencari keberadaan Tania. Akhirnya..., Aku melihat Tania sedang tertidur di sofa tidak jauh dariku. "Tan, bangun Tan! Balik yuk. Gue ngantuk nih..." Tania bangun sebentar, tapi hanya untuk menyodorkan kunci mobilnya padaku. "Gue masih mau di sini dulu, Yung. Lo kalo mau cabut, duluan aja. Nih bawa mobil gue," jawab Tania dengan suara parau. "Tapi gue nggak berani nyetir sendirian pagi buta gini. Gue masih grogi sama jalanan New York, Tan..." Tania kembali tidak sadarkan diri, meski aku sudah mengguncang tubuhnya berkali-kali tetap tidak ada jawaban lagi dari dia. Dari pada berlama-lama di sini, akupun memutuskan untuk memberanikan diri mengemudikan mobil Tania menuju rumah om Bram. Sampai di pintu, Jason tiba-tiba datang menghalangiku. Badannya sangat bau alkohol, membuatku hampir muntah meski berada di jarak cukup jauh darinya. "Lembayung! Where're you going?" "Go home Jason. Bye." Jason meraih tanganku. Dan mendekatkan tubuhnya padaku. Aku meringsut menjauh dari Jason yang kuyakini sudah berada di bawah pengaruh alkohol sepenuhnya. "Tinggallah dulu di sini. Nanti saya yang akan mengantarkan kamu pulang," ujar Jason berusaha menyentuh pundakku. Namun berhasil aku tepi dengan tanganku. Jason terus mendesak tubuhku ke dinding. Satu tangannya mendekap tanganku, tangan yang lain mendorong pelan bahuku ke dinding. Perlahan-lahan dia terus mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Stop it Jason!" pekikku ketakutan. Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Jason yang memang dalam kondisi mabuk berat, langsung limbung dan tersungkur ke lantai. Aku menjadikan kesempatan ini untuk bergegas keluar rumah dan mencari keberadaan mobil Tania. Dengan tangan masih gemetar ketakutan akibat perbuatan Jason, aku mulai melajukan mobil Tania secara perlahan. Untunglah ini masih pagi sekali, jadi kendaraan masih jarang yang berlalu lalang di jalan raya. Sesampainya di kilometer 36, mataku terasa berat, beberapa kali mobilku oleng ke kiri dan ke tengah karena kesulitan mengendalikan roda kemudi dengan setir kanan. Dan Bug! Oh My God ... Barusan apa yang sudah aku tabrak? Pekikku dalam hati. Aku menghentilkan laju mobil dan melihat sekitar sebelum keluar dari mobil untuk memeriksa apa yang menabrak mobil Tania. Kedua tanganku menutup mulutku saat melihat ternyata aku menabrak seorang pria. Aku panik seketika itu juga. Aku menoleh kanan kiri tidak ada orang atau kendaraan yang melintas. Saking paniknya tanpa melihat dengan benar wajah korban, aku langsung saja membopong tubuhnya masuk ke dalam mobil Tania. Tidak jauh dari sini ada sebuah mobil terparkir. Sepertinya milik pria yang aku tabrak. Setelah memasukkan pria korban tabrakan tersebut ke dalam mobil, aku berjalan menuju mobil yang aku yakini milik si korban tersebut, memastikan mobilnya terkunci dan meninggalkan mobil itu dipinggir jalan. Aku lantas membawa pria tadi ke rumah sakit. Setelah pria tadi mendapat pertolongan medis barulah aku sedikit tenang dan memutuskan menghubungi Tania. "Hallo..., Tan. Elo di mana?" Suaraku sangat gugup dan terisak menahan tangis. "Gue masih di rumah Jason. Elo di mana, Yung?" "Gue di rumah sakit Tania. Elo cepet ke sini ya! Gue abis nabrak orang. Sekarang orangnya lagi di ICU. Tapi elo jangan pernah bilang siapa pun kalau gue yang nabrak. Gue tadi bilang ke petugas medisnya kalau gue yang menolong korban kecelakaan itu." "Astagaaa..., Lembayung. Ya udah gue ke sana sekarang. Lo tenang dulu dan jangan ke mana-mana, oke!"  Aku terduduk di lantai rumah sakit menunggu Tania datang. Aku berjanji pada diriku tidak akan pernah mengendarai mobil lagi selama masih tinggal di New York. Dan rahasia bahwa akulah yang menabrak pria itu cukup aku dan Tania saja yang tahu. Tania datang satu jam kemudian bersama Jason. Melihat kedatangan kedua temanku itu ada perasaan lega yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata menjalar di sekujur tubuhku. Menghambur untuk memeluk Tania yang aku lakukan untuk melepas beban ketakutan di hatiku. "Tenang, Yung! Kami sudah ada di sini. Sekarang kita menemui petugas medisnya saja untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi kamu harus jujur, kamu atau orang lain pelaku tabrakannya?" tanya Jason setelah menenangkan aku dengan kata-kata menghiburnya. Aku saling pandang dengan Tania. Kepalaku tertunduk membuat Tania harus membantuku menjawab pertanyaan sulit yang dilontarkan oleh Jason. "Bukan Lembayung yang menabrak. Justru dia yang menolong pria tersebut!" jawab Tania ketus, kemudian membawaku menjauhi Jason yang masih menatapku penuh curiga. Akhirnya Jason menghilang dari hadapanku dan Tania untuk mengurus masalah administrasi kecelakaan, sekaligus membantu penyelesaian seluruh biaya medis korban tersebut. Setelah selesai dengan urusan administrasi Jason mengajakku dan Tania meninggalkan rumah sakit. "Gue mau lihat korban kecelakaan tadi, Tan..." pintaku pada Tania. "Besok aja ya. Lo kudu istirahat untuk menenangkan diri lo sendiri. Lo pasti sedang terguncang banget saat ini, Yung." "Tapi, Tan...." "Jason itu masih curiga sama lo. Kalo sikap lo kayak gini, lo makin kelihatan seperti orang yang merasa bersalah dan hal itu menimbulkan kecurigaan bagi orang lain, terutama Jason." Akhirnya aku mengangguk dan menyetujui apa pun dikatakan oleh Tania. Kami berdua bahkan sudah berjanji untuk tidak lagi membahas soal kecelakaan pagi tadi. Menganggap bahwa kejadian buruk seperti itu tidak pernah terjadi dalam hidupku maupun Tania. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD