3. KEPUTUSAN BERAT

1717 Words
Sekitar pukul dua siang, pagar rumahku ada yang mengetuk. Ketika kulihat dari balik kaca ternyata dua orang berpakaian rapi. Aku keluar untuk membukakan pintu pagar rumah. "Cari siapa bapak-bapak?" tanyaku ramah. "Betul ini kediaman bapak Reza Wiratama?" "Iya betul, saya istrinya. Ada kepentingan apa ya?" Kemudian kedua orang tadi memperkenalkan diri. Mereka adalah wakil dari perusahaan tempat Mas Reza bekerja. Setelah berkenalan, aku mempersilakan kedua orang tadi masuk dan duduk di ruang tamu. Pintu pagar dan pintu rumah sengaja kubiarkan terbuka agar tidak menimbulkan fitnah bagi yang melihat kedatangan dua pria ke dalam rumahku. "Begini Bu..., kami membawa kabar penting dari kantor mengenai status kepegawaian Pak Reza." Aku hanya mengangguk cepat lalu kemudian mereka melanjutkan penjelasannya kembali. "Pak Reza sudah tiga bulan dirawat di rumah sakit, jadi sudah tiga bulan juga Pak Reza meninggalkan pekerjaannya. Sampai saat ini Pak Reza juga belum sadar. Kami sudah menghubungi pihak rumah sakit, dan pihak rumah sakit juga sudah menjelaskan tentang kondisi kesehatan pak Reza kepada pihak perusahaan." Salah satu dari kedua orang tadi menjelaskan maksud kedatangannya. "Iya lalu?" Aku meminta untuk penjelasan selanjutnya. "Perusahaan menetapkan untuk memutuskan hubungan kerja dengan Pak Reza. Karena pihak rumah sakit sendiri juga tidak bisa menjamin kondisi kesehatan Pak Reza ke depannya. Pihak asuransi juga akan menghentikan biaya pengobatan, karena fasilitas yang telah diberikan sudah melebihi limit dari hak asuransi Pak Reza sendiri. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya bu. Tapi karena kinerja dan pengabdian Pak Reza pada perusahaan selama ini, maka pihak perusahaan menjanjikan, apabila Pak Reza sudah pulih, beliau di perkenankan untuk kembali bekerja di perusahaan." Hening, hanya itu yang kurasakan saat ini. Aku tahu saat seperti ini akan datang, tapi aku juga tidak tahu harus berbuat apa, harus berkata apa lagi? Duniaku hancur, hidupku serasa berhenti sampai di sini. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Biaya pengobatan Mas Reza akan dihentikan? Lalu aku harus menggunakan apa untuk biaya rumah sakitnya, sedangkan untuk kehidupan sehari-hariku saja aku menggunakan uang tabungan. "Bu, Bu Reza? Apa ibu baik-baik saja?" Aku hanya mengangguk mendengar salah seorang memanggil namaku. "Pihak perusahaan sudah menyiapkan hak santunan untuk pak Reza yaitu berupa gaji tiga bulan terakhir dan uang pesangon. Mungkin dua atau tiga hari lagi akan kami transfer ke rekening Pak Reza. Apabila belum cair juga ibu bisa menghubungi pihak perusahaan." Aku kembali hanya mengangguk lemah. Setelah menyelesaikan maksud kedatangannya, dua orang tadi berpamitan. Aku mengantarkan sampai pagar rumah, lalu menutup kembali pagar dan pintu rumah. Kutatap senja melalui kaca jendela di kamarku. Warna kuning bersatu dengan warna putih, membentuk warna jingga yang harusnya indah. Hanya saja, senja kali ini sedikit sendu, karena sekelebat awan hitam mengiringi kemanapun arah matahari berjalan. Lama kelamaan awan hitam mulai mendominasi dan menutupi keseluruhan warna jingga yang indah. Aku masih terdiam di sini di dalam kamar kami. Kamar kami bertiga, aku, Mas Reza dan Dirga. Kamar ini penuh kenangan. Masih terngiang dengan jelas tawa dan tangisan Dirga, rengekanya ketika meminta sesuatu, kelembutan Mas Reza saat menenangkan Dirga, kesabarannya dalam menghadapi anak dan istrinya. Kubayangkan wajah Mas Reza yang tenang, tampan dan sangat dewasa dari umur sebenarnya. Kini aku sendiri di sini tanpa mereka yang kucintai. Kubiarkan seluruh lampu di penjuru ruangan rumah ini padam, aku ingin menangis sepuasnya, berteriak sekencangnya tanpa khawatir ada yang terganggu oleh ulahku. Badanku terkulai lemah dan akhirnya tertidur di lantai dengan memeluk baju Dirga--yang dia pakai sebelum aku menggantinya dengan baju yang lain saat dia akan ikut ayahnya di malam kecelakaan itu. Entah sudah berapa lama aku tertidur di lantai. Kurasakan pipiku ada yang menepuk-nepuk lembut. "Ayung, sayang. Bangun nak? Kenapa kamu tidur di lantai?" Mataku mengerjap beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya di sekitarku. Kepalaku sudah berada di pangkuan mamaku. "Mama..., kapan mama datang?" "Baru 15 menit yang lalu nak. Kami menemukan rumahmu dalam kondisi gelap dan pagar digembok. Jadi mama suruh Pak Mo untuk manjat. Ternyata pintu rumah tidak dikunci jadi Pak Mo bisa masuk dan mencari kunci pintu pagar." "Oh..." Aku hanya meng oh kan penjelasan mama. Lalu mencoba untuk duduk. "Jam berapa sekarang, Ma?" Mataku terasa berat hingga untuk melihat ke arah jam di dinding saja tak sanggup. "Jam sembilan malam." Mama menjawab dengan lembut sembari membelai rambut panjangku. "Papa ikut juga?" "Iya itu lagi ada di ruang tamu." Lalu aku pun beranjak dan bersama Mama menuju ruang tamu. Setelah mencium kedua pipi papaku, aku duduk di sofa seberang papa, mama duduk di sebelah papa. "Bagaimana kabar kamu, Ayung? Reza gimana, ada kemajuan?" tanya papaku dengan datar. Aku hanya menggeleng dan kembali tertunduk. "Lalu bagaimana kondisi Reza?" Mama lanjut bertanya. Kemudian aku pun menjawab sesuai dengan penjelasan dari dokter. "Bagaimana rencana kamu selanjutnya?" "Ayung nggak tahu, Pa, harus berbuat apa? Perusahaan Mas Reza juga sudah menghentikan biaya pengobatan Mas Reza, karena biaya yang dikeluarkan sudah melebihi limit hak asuransi Mas Reza." Papa hanya terdiam mendengar jawaban dariku. Sedangkan mama terus memandangku dengan tatapan kesedihan. Lama kami bertiga terdiam dalam lamunan kami masing-masing. Beberapa menit kemudian Akhirnya papa angkat bicara. "Baiklah, segera urus kepindahan Reza ke rumah sakit yang direkomendasikan oleh dokter tadi. Papa yang akan membiayai segala pengobatan Reza sampai dia sembuh." "Apa benar papa mau melakukan itu untuk Ayung?" "Iya benar. Tapi Papa minta kamu mau memenuhi syarat dari Papa." Aku terkejut mendengar kalimat terakhir dari papa. Syarat? Syarat apa? Bisa-bisanya Papa memikirkan syarat dalam kondisi seperti ini. "Syarat apa, Pa? Kenapa harus ada syaratnya?" Aku menatap iris mata hitam pekat milik Papa dengan nanar. "Kamu melanjutkan kuliahmu di New York, dan selama kuliah kamu tidak diperkenankan untuk kembali ke Indonesia sebelum tamat kuliah." Aku hanya membuka mulutku tanpa bisa berkata apa-apa. Mama yang sedari tadi hanya jadi pendengar ikut terkejut. "Maksud Papa apa? Aku gak mungkin ninggalin Mas Reza yang lagi koma, Pa. Sampai kapan pun itu tidak akan pernah Ayung lakukan." Aku kembali menatap tajam ke arah manik mata papaku. Namun Papa hanya tersenyum tipis menanggapi penolakan dariku. Apa lagi ini? Kenapa rasa-rasanya tidak habis-habis Tuhan memberiku cobaan. "Kamu pikirkan kembali penawaran dari Papa. Jika kamu ingin Reza sembuh jangan tolak syarat dari Papa. Tapi kamu jangan sampai menyesal, jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan terjadi pada Reza." Aku paling tidak bisa jika menyangkut Mas Reza. Akan berakhir dengan air mata yang menggenang di pelupuk mataku dan sedetik kemudian akan menjadi aliran di kedua pipi putihku. Aku berlari menuju kamarku dan menguncinya. Tak aku hiraukan sama sekali panggilan dari mama. Yang kulakukan saat itu adalah menangis sejadi-jadinya di tempat tidurku. Menangis lagi, hanya itu yang bisa aku lakukan. Tubuhku rasanya sudah tidak memiliki jiwa lagi, meskipun ragaku masih utuh. *** Keesokan paginya, kami bertiga menikmati sarapan yang dibuat oleh Mama. Saat sedang membaca koran Papa memulai pembicaraan. "Kamu harus memikirkan baik-baik penawaran Papa. Kali ini aja kamu nurut sama Papa. Ini semua demi kebaikan kamu, demi masa depan kamu." Papa masih bisa menghadapi diriku yang labil ini dengan tenang. "Iya tapi tidak dengan menyuruh Ayung pergi jauh dari Mas Reza juga dong." Aku menjawab ketus perkataan papa. "Lagian salah Mas Reza apa sama papa? Sampai Papa segitu bencinya dan menginginkan Ayung berpisah sama Mas Reza. Ayung bahagia sama Mas Reza, dia nggak pernah nyakitin Ayung sedikitpun." Aku tak kuasa menahan emosi hingga sendok dan garpu yang berada di tanganku kulemparkan dengan kasar di atas piring, hingga mengeluarkan bunyi dentingan yang cukup nyaring di ruang makan. "Cukup Lembayung! Kalau kalian berjodoh pasti akan bersatu kembali. Yang penting sekarang kamu pikirkan pengobatan Reza selanjutnya dan kuliah kamu. Usia kamu masih 21 tahun. Masa depan kamu masih panjang. Tapi kamu tidak akan bisa berbuat apa-apa hanya dengan mengandalkan ijazah SMA mu itu." Suara papa agak meninggi ketika menyangkut masa depan dan ijazahku yang hanya sebatas SMA. Papa memang tidak salah dan banyak benarnya, tapi kenapa harus dengan jalan kuliah di luar negeri? Itu yang tidak bisa aku terima. "Ya tapi kenapa papa harus mengajukan syarat konyol kayak gitu? Apa nggak ada jalan keluar lain?" Nampaknya kali ini papa sudah mulai jengah menghadapiku. Wajahnya yang tenang mulai menampakkan guratan-guratan emosi yaag ditandai dengan mengerasnya rahang kokohnya. 'Aku harus bagaimana Mas Reza?' Aku hanya bisa menggumam dalam hati seraya menatap foto keluarga kecilku yang tergantung di dinding ruang tamu. "Ayung..., bagaimana? Kalau kamu setuju kita bisa segera urus keperluan kamu dan Reza secepatnya." Papa terus saja mendesakku, sedangkan Mama hanya menatapku sedih, dan mengusap lembut punggung tanganku. "Ini semua demi kebaikan kamu. Papa tidak punya siapa-siapa lagi sebagai penerus. Kalau Papa sudah tidak ada, siapa yang akan mengelola perusahaan kita kalau bukan kamu? Tapi sebelum kamu menjadi penerus Papa, setidaknya kamu punya bekal agar tidak dipandang sebelah mata oleh saingan-saingan bisnis Papa. Toh nanti kalau Reza sudah sadar dan kuliahmu selesai kalian bisa kembali bersama lagi." "Kenapa tidak kuliah di Indonesia saja sih, Pa?" "Sekali ini saja kamu dengarkan Papa. Ini semua juga demi kamu, demi Reza juga kan?" Papa membentakku, membuatku terhenyak dan tak berkutik kali ini. Apa yang dikatakan oleh papa tidak ada salahnya. Ini semua demi Mas Reza. "Ayung butuh waktu untuk berpikir pa." "Butuh waktu berapa lama lagi? Reza sudah sangat membutuhkan pertolongan medis lebih lanjut. Pikirkan itu baik-baik Lembayung" Papa kemudian beranjak dari tempat duduknya, sebelum berlalu meninggalkanku, papa mencium puncak kepalaku. "Papa sayang kamu, dan ingin melakukan yang terbaik untuk kamu." Butiran air mata kini sudah menjadi genangan air mata yang siap tumpah. Aku berlari masuk ke kamarku dan menangis di atas ranjang sambil memeluk pakaian Mas Reza. "Maafin aku mas. Aku terlalu lemah hingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk kamu, untuk kita." *** Sore ini aku menghadap Papa yang sedang duduk di beranda rumahku "Mama mana, Pa?" "Tadi keluar sama Pak Mo. Katanya mau beli batagor." "Oh... Ayung mau ngomong, Pa." "Ya sayang, ngomong aja. Apa kamu butuh sesuatu?" Kali ini papa menatapku dengan tatapan hangat. Tatapannya tidak sedingin dan penuh emosi seperti tadi pagi. "Ayung setuju sama syarat Papa. Tapi sebelum berangkat ke New York, Ayung harus pastikan dulu bahwa Mas Reza sudah mendapat perawatan yang terbaik di Jakarta." "Kamu sudah mengambil keputusan terbaik, Nak. Baiklah besok kita akan mengurus pendaftaran kuliah kamu. Setelah itu kita akan urus kepindahan Reza dan keberangkatan kamu ke New York." Aku hanya mengangguk tanpa mampu berkata apa-apa saat Papa menyebut ke New York. Mataku menatap kosong jalanan di muka rumahku saat ini. 'Ya Tuhan semoga keputusanku ini tepat. Aku sangat menyayangimu mas Reza, aku ingin kamu cepat sadar dan kembali memelukku.' --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD