2. KECELAKAAN MAUT

1670 Words
Selang setengah jam, taksi yang kutumpangi sampai di sebuah Rumah Sakit Swasta, tepatnya di depan ruang IGD. Setelah membayar ongkos taksi aku berlari menuju ruang informasi. "Malam sus, korban kecelakaan atas nama Reza Wiratama di mana? Saya istrinya." Tangisku tak tertahankan lagi, aku bertanya sambil terus terisak. Tak lama Seorang perawat mengantarku ke ruang ICU. Suamiku sedang terbaring dengan berbagai alat yang aku sama sekali tidak tahu fungsinya untuk apa? Saat menatap tubuh suamiku yang sedang tidak sadarkan diri, pundak kiriku di tepuk pelan. Ternyata seorang dokter yang usianya hampir seusia papa. "Apa ibu kerabat Bapak Reza Wiratama?" "Iya, saya istrinya. Bagaimana keadaan suami saya? Lalu anak saya mana? Kenapa suami saya hanya sendiri di situ?" tanyaku penuh selidik dan pundak bergetar menahan tangis. "Begini, bu. Bapak Reza mendapat benturan keras dan mengalami pendarahan di otaknya. Beliau saat ini mengalami koma. Untuk putra ibu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi anak ibu tidak bisa diselamatkan, karena kepalanya terhimpit dashboard yang bergeser ke belakang. Menurut saksi, mobil menabrak pembatas jalan, lalu terpental ke jalan raya beberapa kali, dan laju mobil berhenti karena kap mobil menabrak pohon besar di pinggir jalan, serpihan kaca mobil yang menancap dikepala putra ibu juga cukup banyak. "Menurut keterangan pihak kepolisian, sepertinya Bapak Reza mengendarai mobil dengan kecepatan sangat tinggi saat hendak menyalip sebuah truk, ditambah pak Reza kurang konsentrasi sehingga tidak tau jika di depannya sebuah tikungan dan ada pembatas jalannya. Pada saat evakuasi, tangan Pak Reza sedang menggenggam ponsel. Mungkin beliau sedang berbicara dengan seseorang di telepon, sehingga tidak bisa konsentrasi menyetir dan tidak bisa menguasai kendaraannya saat oleng." Tubuhku menegang seketika saat mendengar penjelasan Dokter. Seperti tersengat listrik ribuan volt. Sedang berbicara dengan siapa Mas Reza sampai mengganggu konsentrasi menyetirnya. Setahuku, Mas Reza adalah orang yang sangat hati-hati dan tenang, terutama dalam berkendara. Dia selalu lebih mengutamakan keselamatan daripada harus kebut-kebutan. "Nggak mungkin dok. Dokter jangan bohong. Dirgaaa...Dirga anakku." Aku menangis histeris dan mengguncang kedua pundak dokter di hadapanku ini. Dokter mencoba menenangkan, lalu membawa aku ke tempat Dirga. Aku semakin tidak sanggup menahan tangis, berlari lalu memeluk erat jasad anakku yang sudah ditutup kain putih, sambil terus meratapinya. Seorang perawat berusaha menenangkanku, sambil terus menanyakan siapa keluarga yang bisa dihubungi untuk membantuku. Aku hanya memberikan ponselku pada perawat tadi dan menyebut mama sambil terus menangis tersedu. Sepertinya perawat tadi mengerti dan menghubungi mama yang berada di Jakarta. Entah apa yang disampaikan si perawat, aku terus memeluk tubuh mungil Dirga. "Tuhan apa salahku sampai Kau menghukumku seberat ini?" Rasanya saat ini aku ingin sekali pergi ke langit ke tujuh, lalu menuntut malaikat pencabut nyawa untuk mengembalikan nyawa putra semata wayangku segera ke raganya. "Dirgaaa...kenapa kamu ninggalin mama sendiri nak?" Teriakku lagi semakin histeris kali ini. Aku tidak perduli saat ini sedang berada di mana. Aku tidak perduli semua orang di rumah sakit ini terganggu karena teriakanku. Yang aku inginkan hanyalah Tuhan mengembalikan kehidupan anakku lagi. Berbagai kenangan bersama Dirga berkelebat seolah seperti sedang memutar DVD di kepalaku sendiri. Dimulai dari sejak mengetahui aku hamil, aku memberikan hasil testpeck tanda positif sebagai kado ulang tahun untuk Mas Reza. Berlanjut keadaan saat selama aku hamil yang sangat manja dan Mas Reza dengan sabar menuruti semua kemauanku. Lalu ketika aku melahirkan, dimana saat itu hanya didampingi oleh Mas Reza, karena kedua orang tuaku masih dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung. Bahkan saat ini tangisan Dirga untuk yang pertama kali masih terngiang jelas di telingaku. Saat-saat Dirga tumbuh, tawanya, candanya, tangisannya, rengekannya dan terakhir adalah saat-saat melepasnya pergi. Ternyata itu adalah kiss bye terakhir darinya, lambaian dan ciuman terakhir Dirga untukku. Tubuh ini menjadi lemah, aku mulai kehabisan tenaga dan detik itu juga aku tergeletak di lantai dingin rumah sakit tak sadarkan diri. +++ Keesokan harinya Dirga dimakamkan. Papa merayuku agar mau memakamkan Dirga di Jakarta, di kompleks pemakaman keluarga. Namun aku bersikukuh untuk memakamkan Dirga di kompleks pemakaman tak jauh dari tempat tinggalku di Bandung. Akhirnya papa mengikuti kemauanku, karena papa tahu sifat keras kepalaku. Saat pemakaman aku tetap tidak bisa menguasai diriku. Emosiku meluap, aku menangis, meratap, meronta. Aku tidak perduli pada apa pun saat ini. Keadaanku sangat memprihatinkan. Berkali-kali aku tidak sadarkan diri semenjak pemakaman. Mama sangat khawatir dengan kondisiku. Lagi-lagi Papa merayuku untuk kembali ke Jakarta agar mama bisa merawatku dengan baik. Lalu bagaimana dengan Mas Reza? Papa rupanya lupa jika menantunya itu masih belum meninggal, Mas Reza itu kan hanya sedang koma, masih ada harapan untuknya bisa sadar kembali. +++ Sepulang dari pemakaman aku berjalan menyusuri setiap inci rumahku, rumah yang kutinggali selama tiga tahun ini dengan mas Reza. Menyentuh dengan ujung jariku setiap sudut, dinding dan barang-barang yang ada di rumah. Tangisan Dirga, gelak canda tawa Dirga dengan mas Reza, masih terngiang jelas di runguku. Aku masuk kamar yang menjadi saksi bisu kisah rumah tanggaku dan mas Reza, aroma parfum mas Reza masih tercium kuat di rongga hidungku. Kembali aku menyentuh dengan ujung jariku setiap benda yang biasa dilewati oleh mas Reza. Hampa, hanya itu yang kini aku rasakan. "Yung...kamu di dalam nak?" Suara mama menyerukan namaku. "Iya Ma. Yung di dalam. Masuk aja," jawabku. Aku duduk di dekat jendela, menatap kosong halaman depan rumahku. Sebentar lagi senja.  Aku tersenyum getir kala mengingat mas Reza sedang mengajari Dirga bermain bola, di halaman yang kini tengah aku pandangi dengan nanar. "Makan ya, nak. Yung belum makan dari kemarin," tegur Mama sambil mengusap punggungku. "Nanti Ma. Kalau lapar Yung pasti makan," jawabku dingin. "Mama masak capjay kesukaan kamu. Ada jamurnya juga. Enak loh," bujuk Mama sekali lagi. Kalau seandainya Mama menawarkan saat hatiku tidak terasa hampa seperti ini, mungkin aku akan menghambur segera menuju meja makan lalu makan sepuasnya. Namun kini, aku sama sekali tidak butuh makan. Yang aku butuhkan adalah mas Reza dan Dirga ada di hadapanku. Senjaku mulai datang, guratan warna jingga itu tak lagi seindah dulu. Langit putih yang biasanya sudah indah meski hanya dihiasi oleh bias warna jingga saja, kini bertambah satu warna, hitam dan pekat seperti hatiku. Kini aku hanya menjadi penikmat kehangatan senja, bukan lagi penikmat kehangatan pelukmu, mas Reza. --- Tiga bulan sudah berlalu sejak kecelakaan maut yang merenggut nyawa anak lelakiku dan membuat suamiku terbujur koma hingga kini. Orang tuaku hanya sesekali datang menengok dan setiap datang pasti bersikeras untuk mengajakku kembali ke Jakarta dan memindahkan Mas Reza ke rumah sakit yang lebih baik di Jakarta. Namun aku tetep kekeh untuk menolak, tentunya dengan cara sehalus mungkin. Pagi ini seperti pagi-pagi kemarin, aku berkunjung ke rumah sakit, tapi sebelumnya aku mengunjungi makam anakku. Kubawakan sebuket bunga mawar putih hari ini. Setelah mengirim doa untuk Dirga, kutaburi gundukan tanah yang hampir mengeras itu dengan bunga-bungaan segar yang kubeli tadi sebelum berangkat. Kucium batu nisan putih bertuliskan nama 'Dirga Wiratama' itu dengan lembut dan meletakkan buket bunga mawar putih di dekat batu nisan. "Mama pulang dulu ya sayang. Doakan ayah supaya cepet sembuh ya, biar bisa nengokin Dirga di sini." Selalu kalimat itu yang aku ucapkan saat akan meninggalkan pemakaman. Setetes demi setetes air mata terus mengalir di pipiku. Tuhan, sampai kapan aku sanggup menghadapi cobaan-Mu ini? Kenapa tidak Kau biarkan aku untuk bahagia atau bawa saja aku sekalian supaya bisa tetap bersama Dirga. Jerit batinku di tengah pemakaman yang sunyi ini. Kulangkahkan kaki segera untuk keluar dari kompleks pemakaman dengan derai air mata di kedua pipiku. Tujuanku berikutnya adalah rumah sakit untuk menengok Mas Reza. Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah gontai. Saat berjalan, seorang perawat berparas ayu menghampiriku. "Ibu Reza?" Aku yang dipanggil namanya hanya mengangkat kepalaku yang tertunduk sejak memasuki rumah sakit ini. "Iya saya suster. Kenapa sus? Apa ada kabar baik tentang kondisi kesehatan suami saya?" Saat tau yang menghampiriku adalah seorang perawat akhirnya aku bersuara. "Ibu ditunggu Dokter Alan di ruangannya. Mari saya antar bu." Aku mengikuti langkah perawat yang akan mengantarku ke ruangan dokter yang merawat suamiku. "Selamat pagi Bu Reza, mari silakan masuk bu." Seorang dokter berusia sekitar separuh abad itu menyambutku dengan ramah. Tanpa membalas sapaan Dokter Alan aku langsung memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. "Bagaimana dok, apa ada perkembangan kondisi suami saya? Atau dia sudah sadar?" tanyaku penasaran. "Begini bu, luka-luka di sekujur tubuh suami ibu sebenarnya sudah mulai sembuh. Hanya saja di otaknya terjadi pembekuan darah yang cukup kronis. Itulah yang menyebabkan suami ibu masih koma hingga saat ini." Dokter kemudian terdiam hanya menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. "Lalu bagaimana dok? Apa tidak ada cara untuk menyembuhkan suami saya?" Posisi dudukku langsung meringsut saat dokter menyampaikan kondisi suamiku. "Sebenarnya ada bu, yakni melalui operasi, lalu kemudian teraphy jangka panjang. Hanya saja di rumah sakit ini kami tidak memiliki alat yang cukup mendukung untuk dilakukan operasi itu. Saya juga sudah mencoba menghubungi beberapa rumah sakit terkemuka di Bandung. Ternyata hasilnya nihil bu." "Lalu saya harus bagaimana dokter?" Mataku mulai panas. Aku tertunduk berusaha untuk menahan air mata agar tidak mengalir. "Saya sarankan ibu membawa Pak Reza untuk segera operasi, minimal di rumah sakit besar di Jakarta atau Singapura yang paling dekat setelah Jakarta. Hanya dua itu tempat yang paling dekat bu. Bila ibu mau nanti saya akan buatkan surat rujukannya di Rumah sakit yang saya rekomendasikan." Aku tidak bisa menjawab apa-apa, hanya terdiam cukup lama. Dokter bersabar menunggu jawaban dariku. Aku sendiri juga tidak tau harus memutuskan langkah apa yang tepat untuk suamiku. Apa aku harus mengikuti saran dari papa untuk memindahkan perawatan mas Reza di Jakarta? "Baik lah dokter saya akan pikirkan dulu. Nanti saya akan kabari dokter dan pihak rumah sakit secepatnya. Saya permisi dulu dok. Selamat siang.." Aku segera keluar ruangan dokter dan menuju toilet terdekat. Aku sudah tak kuasa menahan tangisku. Lagi-lagi rasanya aku ingin menyusul Dirga saja. Aku menjadi merasa bahwa Tuhan tidak adil padaku. Aku marah, tapi harus marah pada siapa. Aku kecewa tapi harus melampiaskan pada siapa. Apa aku tidak pantas menjadi manusia bahagia? Cukup lama juga aku menangis di toilet. Kutatap wajah di kaca wastafel, sangat sembab, mataku bengkak, dan hidungku merah. Kurapikan wajah dan rambutku lalu bergegas menemui Mas Reza. Kulihat tubuh itu dari balik kaca besar yang menjadi pembatas kami. Meski perawat telah mempersilakanku untuk masuk, entah kenapa kali ini aku tak kuasa untuk masuk dan menemui suamiku. Aku khawatir tidak bisa menahan tangisku, lalu menangis di hadapan suamiku. Pasti akan membuat suamiku terbebani karena tangisanku. Setelah puas memandang wajah suamiku dari balik kaca itu, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. ~~~ ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD