1. TENTANG DIA & SENJA

1714 Words
Ketika para remaja tamat SMA pada umumnya sibuk berlomba-lomba untuk masuk ke Universitas paling bergengsi, ternama, bahkan demi sebuah gengsi banyak juga yang memilih kuliah di luar negeri, tetapi tidak halnya denganku. Aku justru mengakhiri masa lajangku di usia yang masih sangat belia. Jangan salah, aku tidak MBA loh alias Married By Accident. Atau mungkin dijodohkan? Ach ini malah lebih ngaco. Orang tuaku adalah orang tua yang memiliki pemikiran cukup modern untuk menjodoh-jodohkan putri semata wayangnya. Aku menjalani pernikahan dini juga bukan karena orang tuaku tidak mampu membiayai sekolahku setinggi-tingginya. Papaku adalah founder Attila Company, sebuah perusahaan swasta besar yang bergerak di bidang medis, agrobisnis dan konstruksi di negara ini. Mamaku adalah seorang sosialita yang dermawan, yayasannya di mana-mana. Kegiatan sehari-harinya selalu berhubungan dengan kegiatan amal dan sosial. Jika berbicara soal biaya pendidikan, aku sama sekali tidak kekurangan dalam hal materi. Namaku Lembayung Attila. Usiaku saat ini 21 tahun. Penyuka senja, warna jingga, matahari terbenam dan pizza. Aku sudah menikah dan mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat pandai dan lucu. Usia buah hati pernikahanku dengan suamiku sudah dua tahun, namanya Dirga Wiratama. Suamiku bernama Reza Wiratama usianya empat tahun lebih tua dariku, usia tepatnya adalah 25 tahun. Dia bekerja sebagai staf administrasi perusahaan swasta yang bergerak di bidang pembiayaan dan asuransi. Mas Reza tidak mengizinkanku bekerja di luar rumah. Dia lebih suka melihatku berada di dalam rumah sambil mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anak, bahkan tidur seharian pun tidak dilarang, asal tidak disibukkan dengan aktivitas di luar rumah. Kami memutuskan untuk menikah di usia muda setelah menjalin hubungan selama satu tahun. Dia pacar sekaligus cinta pertamaku. Saat Mas Reza menyelesaikan kuliahnya dan mempunyai pekerjaan, dia bertekad melamarku. Orang tuaku tidak menyetujui pernikahan kami. Bahkan sampai detik ini pun Papa tidak pernah mau melihat wajah Mas Reza lagi setelah menikahkanku. Oleh karena Papa tidak menyukai pernikahanku dengan Mas Reza, maka pernikahan kami hanya berlangsung sederhana tanpa ada pesta meriah layaknya pesta pernikahan pada umumnya. Setelah menikah, Mas Reza dan aku memutuskan pindah ke Bandung, meninggalkan hiruk pikuk ibu kota. Dari situlah Papaku menjadi semakin membenci mas Reza, karena menganggap mas Reza sudah merebut putri tunggal yang beliau harapkan akan menjadi penerus kerajaan bisnis Attila Company. Menurutku itu berlebihan. Bukankah memang seharusnya istri harus patuh kepada suaminya, dan ikut kemanapun suaminya pergi. Papa sudah menawarkan posisi paling penting di perusahaan, juga berbagai fasilitas mewah kepada Mas Reza, tapi Mas Reza menolaknya dengan halus. Papa menganggap Mas Reza itu sombong dan angkuh. Padahal niat mas Reza kan baik, kebetulan juga mas Reza sudah mendapat pekerjaan di Bandung, jadi tidak mungkin kalau harus mondar mandir Jakarta-Bandung setiap harinya. Kami juga ingin bisa hidup mandiri tanpa segudang fasilitas mewah yang ditawarkan oleh papa. Tiga tahun terlewati dan aku sudah mempunyai buah hati, Papaku masih tidak mau menerima Mas Reza sebagai menantunya. Jadi setiap sebulan sekali, sopir pribadi Papa akan datang menjemput Dirga untuk menghabiskan waktu bersama dengan Oma dan Opanya di Jakarta. Aku jarang ikut, karena tidak enak pada suamiku jika harus meninggalkannya lama-lama. Apalagi semenjak anakku sudah tidak ASI lagi, aku sudah tidak pernah ikut ke Jakarta. Mungkin sudah sekitar enam bulan ini aku tidak pernah pulang ke rumah orang tuaku di Jakarta. Mas Reza bukan type suami yang kolot, dia masih mengizinkanku untuk berhubungan dengan sosial media, sekadar jalan-jalan hingga shoping di mall, mengikuti trend fashion atau apalah yang berhubungan dengan kekinian. Intinya aku bukan istri yang ketinggalan zaman meski hanya ibu rumah tangga biasa. Bahkan Mas Reza memberiku sebuah smartphone terbaru dan sebuah laptop lengkap dengan memasang wifi di rumah kami. Jadi meskipun seharian di rumah, aku masih bisa mengetahui hiruk pikuk dunia luar. Kata Mas Reza sih, "biar entar bisa ngimbangi anaknya, masa anaknya teknologi canggih, mamanya malah gaptek." Benar juga yang dikatakan Mas Reza. Aku bersyukur sekali mempunyai suami seperti Mas Reza. Rupanya tampan, hatinya baik, pemikirannya juga sangat dewasa. Dia seorang laki-laki yang sangat penyayang. Meski pun hubungan kita terbilang relatif singkat, tapi aku sangat mencintai dan mempercayainya. +++ Hari ini adalah hari pernikahan kami yang ke 3 tahun. Mas Reza berniat untuk mengajak aku dan Dirga makan malam di luar, dan jalan-jalan di Mall. Namun karena aku sakit perut dan pusing hebat akibat PMS, akhirnya kami memutuskan untuk makan malam di rumah. Aku bisa memasak masakan apa saja, baik dalam maupun luar negeri. Sejak menikah aku mempunyai hobi baru yaitu mencoba memasak segala jenis masakan, dan hasilnya not bad lah, Mas Reza doyan banget. Namin khusus malam ini, Mas Reza tidak ingin merepotkanku di dapur. Jadi kita memutuskan untuk membeli saja di luar. "Kamu dandan aja yang cantik malam ini. Biar aku yang keluar beli makan malamnya ya," tukas Mas Reza sambil mengenakan kemejanya sebelum keluar rumah untuk membeli makan malam. "Tapi mas, aku bisa kok masakin masakan apa aja yang mas mau. Kenapa harus beli sih? Apa udah bosen sama masakan aku?" Aku duduk ditepian tempat tidur seraya memasang tampang cemberut, mas Reza malah tersenyum dan menyentuh puncak hidungku dengan ujung telunjuknya. "Enggak gitu, sayang. Malam ini kita akan makan apa saja sepuasnya, sampai perut bengkak tanpa membuatmu repot di dapur. Aku ingin memanjakanmu hari ini." "Mas bisa aja. Mas Reza itu udah manjain aku tiap harinya kok. Tapi ya kalo itu maunya mas aku ngikut aja deh. Tolong beliin pizza juga ya. Yang loyang kecil aja boleh." "Iya istriku yang cantik. Apa sih yang nggak buat kamu." Aku tersipu malu mendengar kata manis itu. Mas Reza selalu bisa membuatku menjadi malu dan salah tingkah meski kami menikah sudah 3 tahun. Dari sore, hujan turun sangat deras mengguyur kota Bandung. Awalnya Mas Reza ingin keluar sendiri untuk membeli menu makan malam. Namun saat hendak keluar, Dirga melihat kepergian ayahnya dan memaksa ikut untuk membeli makan malam. Akhirnya Mas Reza tidak tega dengan tangisan Dirga yang lebih kencang dari suara petir, memutuskan untuk membawa Dirga ikut serta. "Yakin, mas mau bawa Dirga? Dia nggak bisa diam loh kalau di mobil? Entar ngerecokin mas nyetir." "Iya, sayang. Daripada nangis terus, aku gak tega ngeliatnya." Mas Reza menjawab dengan sabar. "Ya sudah aku gendongin Dirga masuk mobil." Aku menggendong Dirga dan mendudukannya di kursi penumpang samping kemudi. Dirga senang sekali ketika masuk mobil. Lompat-lompat sambil tertawa dan mengomel ala bahasanya yang masih cadel. "Babay mamah, diga nek bumbum ya." Lalu Dirga memberiku kiss bye. Seperti biasa juga, tiap mas Reza akan pergi kemanapun dia akan berpamitan padaku dengan sekedar mengecup kening atau pipiku. Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak awal menikah. Namun malam ini kurasakan ada yang beda dengan perlakuan Mas Reza. Sebelum masuk mobil, Mas Reza mengecup keningku lebih lama daripada biasanya, kemudian memelukku lagi sangat erat, seperti seolah enggan berpisah denganku. Bahkan saking kelamaannya, sampai-sampai Dirga memanggil-manggil ayahnya. Anak itu sudah tidak sabaran rupanya. "Ayaya, ayoo bumbumnya idupin," ucap anakku, membuat ku menjadi gemas melihat pipi tembamnya itu. "Jaga diri kamu baek-baek ya. Oya Happy anniversary sayang. I trully, madly, deeply loving you, Lembayung senja-ku." Aku tersenyum melihat keromantisan suamiku ini. Memang, Mas Reza itu orangnya romantis dan lemah lembut. Sangat berbeda denganku yang cuek, judes dan kadang bisa menjadi galak. Entah kenapa, kali ini ucapannya sangat bisa membuatku terbuai dan membuat jantungku berdetak lebih cepat, seperti baru mendengar kata cinta itu pertama kali dari mulut Mas Reza. Padahal dia juga sering mengucap kata cinta dan sayang seperti itu padaku. Aku menghampiri Dirga, dari balik pintu mobil aku mencolek hidung mancungnya. Sadar akan kedatanganku, Dirga mencium pipiku hingga membuat pipiku basah karena air liurnya. Aku lantas membalas menciumi pipi tembamnya. "Mama ga cah itut ya. Mama aga umah ajah. Bayy mah." Aku tertawa mendengarkan celotehan dari mulut mungil anakku ini. Dirga melambaikan tangan mungilnya di balik kaca jendela mobil. Mobil Swift warna biru metalik milik suamiku perlahan keluar dari pagar. Aku mengantar sampai pagar rumah dan masuk kembali saat melihat mobil sudah hilang di tikungan. Setelah kepergian Mas Reza, mulai kusiapkan peralatan makan untuk makan malam kami bertiga. Meja makan mungil ini kutata dengan sangat cantik, taplak meja diganti dengan yang bersih, ku tambahkan lilin berwarna merah sebanyak tiga biji diatas meja makan. Aku yakin Dirga akan heboh sendiri melihat lilin menyala, dia suka sekali lilin karena mengiranya seperti acara ulang tahun dan akan bernyanyi 'Panjang Umurnya' dengan semangat. Aku pun juga sudah berdandan spesial malam ini. Kubiarkan rambut hitam panjang dan berombakku tergerai. Kutambahkan sedikit make up tipis di wajahku. Kupilih dress yang dibelikan Mas Reza sebagai kado anniversary untukku. Dress berwarna kesukaanku, jingga seperti matahari terbenam, dengan panjang dress selutut, ada tambahan aksen broklat warna putih dari pinggul hingga bawah rok. Potongan lengan hanya menutupi sedikit pangkal lenganku. Hampir dua jam berlalu, tapi suami dan anakku belum kembali ke rumah. Hujan juga sudah mulai reda, hanya tinggal rintik-rintik hujan di luar sana. Saat aku hendak ke kamar mandi, tidak sengaja menendang mainan mobil-mobilan milik Dirga, hingga terlempar beberapa langkah. Tiba-tiba kurasakan jantungku berdenyut seolah ada kejadian buruk yang sedang terjadi. Aku memungut mobil-mobilan kesayangan Dirga itu, yang dibelikan mas Reza saat bertugas ke Jakarta seminggu lalu. "Yha... retak. Bisa nangis si Dirga nanti kalo tau mainannya rusak." Kuletakkan mobil-mobilan tadi di atas rak buku. Kemudian aku ke kamar mandi dan melihat handuk milik Mas Reza lupa tidak diletakkan di luar. Handuk yang kuambil dari gantungan yang menempel di dinding kamar mandi itu, tiba-tiba jatuh dan basah sebagian karena lantai kamar mandi masih belum kering bekas mandiku tadi. "Ya ampun, kok bisa jatuh? Padahal udah dipegang baik-baik," pekikku merutuki kecerobohanku sendiri. Aku mondar-mandir di ruang tamu menunggu anak dan suamiku yang belum kembali sejak dua jam yang lalu. Sesekali aku membuka tirai jendela rumah, tapi masih belum ada tanda-tanda deru suara mobil di pagar rumah. Kudengar ponselku bergetar beberapa kali, karena aku meletakkannya di atas nakas jadi suara getarnya terdengar agak keras. Dengan setengah berlari aku menuju kamar untuk melihat siapa yang menelepon malam begini. Kulihat deretan angka dilayar ponsel. Bukan nomer dikenal, membuat aku ragu untuk menerima panggilan telepon. Akhirnya kuberanikan diri untuk menjawab panggilan telepon dan menjawab dengan ragu-ragu. "Ya, hallo?" jawabku dengan perasaan tidak tentu. "Apa benar ini salah seorang kerabat atau keluarga bapak Reza Wiratama?" "Iya, saya istrinya Reza Wiratama. Ada yang bisa saya bantu?" "....." Aku langsung bergegas mengambil cardigan dan dompet dari dalam lemari, kemudian berlari menuju keluar rumah. Setelah kupastikan semua jendela dan pintu terkunci rapi aku berjalan kaki menuju pintu gerbang perumahan. Untunglah masih ada beberapa taksi yang mangkal malam-malam begini. Setelah kuberi tahu tujuanku, taksi melaju dengan kecepatan tinggi. Aku meminta supir taksi untuk menambah kecepatannya. Dalam hati aku terus merapalkan doa-doa terbaik. Berharap semoga mas Reza dan Dirga tidak kenapa-kenapa. --- ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD