1.1

1632 Words
“Gila, Div!! Sekolah kita makin edan. Kamu lihat ‘kan calon siswa baru barusan, kamu lihat ‘kan?” ucap seorang gadis remaja yang menyilangkan kedua tangan di d**a, menunggu temanya selesai bercermin. Kesal sekali dirinya dengan sekolahnya yang makin lama sudah seperti pentas drama. Ada yang membanggakan status sosialnya, ketampanan dan kecantikannya, hartanya, astaga.. ini sekolah betulan atau setingan? “Sudah Tik! Jangan disebut terus.” “Jiah.. kok sewot, kayanya anak baru tadi bakalan jadi ratu drama sekolah kita, kamu lihat saja nanti. Makin banyak klan populer BB dan makin tersembunyilah kita,” tutur Tika bersandar di dinding sambil memperhatikan sahabat karibnya yang membenarkan ikatan rambut. Divya hanya tertawa melihat kecemasan temannya akan pamor. Memangnya apa bagusnya jadi anak populer? Divy segera menarik temannya itu setelah rambutnya kembali rapi. Keduanya tidak bisa berlama-lama di toilet karena melewati pembacaan Asma-ul Husnah artinya melewatkan jam pelajaran pertama. Kedua penghuni gedung Utara tersebut berbaur dengan lalu-lalang para penduduk BB, saat mereka melewati lapangan futsal lagi-lagi Tika menghentikan langkahnya. Gadis dengan muka agak bulat itu menyikut teman baiknya.  “Jodoh kamu tuh, Div,”  ucapnya jenaka. “Husss...  Nanti didengar orang habis aku dikeroyok, Tik,” Divy menyeret temannya menjauh. Dia tidak ingin terlibat apa-apa dengan cowok populer manapun karena sampai batas yang Divya sendiri tidak bisa tentukan, hatinya hanya akan menjadi milik Papanya saja. “Loh...  Memangnya siapa yang bisa melawan takdir?  Kamu itu anaknya lurus, suci, baik dan cantik cocok banget tuh sama Danis yang ganteng, kul dan juga ga macam-macam.” “Pake ngomong takdir segala, hayuk!!!!” Tika mendecih pelan dan mengikuti langkah tergesa Divy. Sementara di pojok lapangan futsal sana keduanya juga sedang dibicarakan oleh teman-teman Danis. Tepatnya Vano yang menyebut Divy sebagai calon makmum dunia-akhiratnya Danis kembali setor muka pagi-pagi begini. “Lagi-lagi, elo yang tertarik tapi gue yang difitnah,” timpal Danis Ammar Hardian. “Kali ini engga bro. Itu cewek kopian lo banget. Dia satu-satunya cewek yang ga berhubungan sama cowok manapun bahkan teman sekelasnya.” Danis mengangguk-angguk sambil memakai sepatulnya. “Dan itu artinya?”  tanya nya tanpa menoleh pada Vano. “Itu artinya dia cewek baik-baik dan harus digebet cowok baik-baik kaya elo,” timpal Rehan. Kenapa Danis di sebut sebagai cowok baik-baik? Karena hanya dia sendiri saja yang masih  belum menunjukkan ketertarikan pada lawan jenis. Kalau bahasa Vanonya mah, Danis belum puber. “Ga, Han... Itu artinya kalian ga boleh main-main sama dia sekalipun dengan alibi mencomblangkan dia sama gue,” ucap Danis kemudian mulai berlari mengelilingi lapangan,  meninggalkan teman-temannya yang masih ingin mengomentari setiap orang yang lewat. Secantik apapun perempuan, semanis bak gulapun perempuan Danis akan tetap menjadi dirinya sendiri yang merasa sangat cukup dengan kehadiran perempuan dalam hidupnya. Sudah sangat cukup ada Mama, ibu Restu, Nada dan para neneknya oh jangan lupakan para istri dari Om-Omnya. “Heran gue..  Temen lo ga kepikiran buat nikah apa?” tanya Vano pada Rehan yang sekarang mengikuti jejak Danis. Sementara salah seorang dari gerombolan anak laki-laki itu hanya tersenyum geli mendengar semua komentar dentang Divya. “Setahu gue ya, Van.. Temen gue memang ga punya agenda menikah dalam future plan nya,  jadi lo ga usah takut kalah saing.” “Kejantanan gue yang sudah diakui BB ini bakal kalah saing sama temen lo itu????” tanya Vano menunjuk dadanya bangga sekaligus meremehkan temannya sendiri. Walaupun kalah ganteng dari Danis tapi Vano lebih pengalaman kalau soal cewek. “Temen lo juga,  rame amat, ah,” decak Rehan kemudian meninggalkan Vano. >>>  Ucup membawa keluarganya ke rumah sang Mama. Bu Tari tidak lagi berstatus Guru Matematika tergalak Bina Bangsa melainkan hanya seorang pensiunan dan juga seorang nenek. Bu Tari atau yang biasa dipanggil nenek oleh Amira langsung  membuang selang air di tangannya dan mendekati sang cucu untuk memeluknya sayang. Sementara Ucup yang berjalan duluan pada sang Mama dilewati begitu saja dan sama sekali tidak dianggap. “Apa lagi ulah Ayah kamu, sayang?” Jidat Ucup yang memang mulai kendor akibat kelakuan anak semata wayangnya semakin membentuk garis-garis melintang atau sebut saja kerutan mendengar tuduhan tak berdasar sang Mama. “Memangnya selama punya anak satu aku buat onar terus ya, Cha?” tanya Ucup pada istrinya. “Udah deh, Cup..  Kamu sudah tua dan ga pantas lagi nyahut omongan Mama.” “Ya sudah, Sini cium dulu.” “Tuhkan, Nek, Ayah tuh suka kali kasih aku adegan yang harusnya disensor.” “Jaga kelakuan kamu, Cup!” ucap Bu Tari berang, apa anak dan menantunya itu masih belum paham kalau mereka harus menjaga kelakuannya di depan Amira? “Ma, cucu Mama ini yang perlu dijaga pergaulannya. Amira ketahuan pacaran. Pacaran Ma.. anak gadisku pacaran!” terang Ucup geram pada mama dan juga anaknya. “Lalu?” “Lalu kupindahkan saja sekolahnya, tapi kenapa respon Mama biasa saja?” Lihat-lihat.. Bu Tari semakin tua semakin tidak konsisten. Dulu saja tiap hari Uci dinyinyiri soal jangan pacaran, jangan ini jangan itu. “Kamu maunya Mama bagaimana? Anak kamu ‘kan ini? Ayahnya saja suka gangguin guru muda dulunya, tau ‘kan rasanya apa yang Mama rasakan dulu?” Sementara Ayahnya kesal, Amira menjulurkan lidahnya dan memeluk Nenek yang sama tinggi dengannya. Nenek kesayangannya, satu-satunya yang bisa membelanya dari kemarahan Ayah. “Sini kamu anak nakal!!!!” “Berani kamu sama cucu Mama????” “Ya Allah... “ Vani menutup telinganya dan berjalan ke arah selang lalu melanjutkan pekerjaan mertuanya itu, membiarkan manusia tiga generasi itu membuat kehebohan. Waktu yang harusnya Amira habiskan di sekolah lamanya ia gunakan untuk mengadu pada sang Nenek tentang bagaimana cara Ayahnya memutuskan Kevin –mantan pacar Amira, padahal yang pacaran dengan Kevin adalah Amira, bukan Ayahnya. Ajaib sekali bukan ayahnya Amira? Seharian mereka habiskan hanya untuk berdebat tentang siapa yang benar, Amirakah atau ayahnya lalu pulang dengan kondisi mulut dan hati yang penat. Sudah bisa dipastikan Amira akan menolak panggilan seseorang setiap dua menit sekali sejak setengah jam yang lalu. Tiap kali layar ponselnya menampilkan nama seseorang entah kenapa emosinya melonjak. Tepat di panggilan ke enam belas, Amira memutuskan untuk mengangkap telfon dari orang tersebut dan tentu saja dengan memastikan tidak memberi kesempatan orang itu bicara bahkan satu katapun. “Kamu bisa tenang ga?! Bisa tenang dan jangan histeris? Aku nih capek ngomong seharian dan kamu mau aku ngomong sama kamu lagi?” pekik Amira, beruntung ia berada di dalam kamarnya sehingga Ayah atau Bunda tidak akan mendengar betapa tidak mengenakkannya cara dia mengangkat telfon. Dan seperti yang diharapkan, benar-benar bersyukur Amira untuk ini, orang itu tidak lagi mencoba untuk bicara dengannya. Amira hanya mendapatkan pesan singkat berbunyi, “Good night,” dari orang itu. Setelah berdiam diri selama  lima belas menit untuk menenangkan dirinya sendiri, Amira keluar dari kamarnya, tujuan putri kesayangan Uci itu hanyalah TV. Tak jauh dari Amira duduk, Ayah dan Bundanya sedang bercengkrama hangat. Ia melirik kedua orang tuanya itu melalui sudut matanya dan mencibir. Beruntung sekali Bundanya itu, Ayah tidak pernah berani marah lama-lama pada beliau. Membesarkan volume TVnya Amira sengaja ingin mendapatkan perhatian Ayah. Malang sekali yang ia dapat karena bukan Ayah yang menyusulnya untuk duduk bersama sambil menonton TV melainkan Alif Sarfaraz Mahardika dan Imam Atharauf Mahardika. Dua orang yang mengaku paling menyayanginya di dunia ini bahkan melebihi Ayah ini, pasti datang untuk mengomel. Kenapa laki-laki terlahir dengan mulut yang sangat cerewet? Tanya Amira membatin. Keduanya berdeham bersamaan sebelum duduk di samping Amira, membuat ponakan mereka semakin menundukkan kepala dengan bibir mencibir. Mungkin terdengar terlalu melebih-lebihkan kalau Amira justru lebih takut pada Imam dan Alif dari pada Ayahnya sendiri. Aoba saja kamu dengar langsung bagaimana tajamnya mulut si kembar itu maka kamu akan maklum kenapa Amira lebih takut ketahuan membuat onar oleh kedua Omnya daripada sang Ayah. “Lapar ya, Lif,” ujar Imam pada saudara kembarnya. “Hm,” “Tunggu apa lagi?” tanya Imam menatap tajam ponakan centilnya. “Om ngomong sama aku?” tanya Amira menunjuk dirinya sendiri karena menyadari tidak ada dari kedua pria dewasa disampingnya ini yang bergerak untuk mencari makanan ke dapur. “Kalau Om kesayangan kamu lapar, kamu tau apa yang harus kamu lakukan bukan Amira Queensha Amzari?” tanya Imam dengan merapatkan gigi atas dan bawahnya. “Biasanya kan Om bisa ambil sendiri!” ucap Amira berusaha ketus. “Nih. Ini yang kita dapat setelah besarin anak Kakak? Tolong kakak bilangin ke anak kesayangan Kakak ini siapa yang selalu jagain dia dulu. Juga jangan lupa bilang kalo aku yang selalu nyebokin dia!” ucap Imam yang sudah memulai mukadimah ceramah panjangnya. Kasian sekali Amira.. “Iya.. Om mau makan apa?” tanya Amira cemberut. “Adanya apa?” tanya Imam ketus. “Ya adanya masakan Bunda yang pagi tadi aja.. tadi kami semua main di rumah nenek makanya Bunda ga masak.” “Ngapain nanya eh bocah? Yang ada aja bawa kemari!” Imam sungguh tidak mengerti dengan isi kepala ponakannya ini. Untuk pacaran sepertinya otak Amira bisa digunakan tapi tidak untuk yang lainnya. “Kalo Om Alif?” tanya Amira pada Om yang lumayan tenang dari Om Imam. “Air dingin aja, kepala Om sakit mikirin tingkah kamu!” Bahu Amira semakin turun mendengar komentar Om Alif. Padahal Amira pikir semua ini sudah selesai. Tidak ada yang akan memarahinya lagi setelah hampir setengah hari ia diceramahi. “Aku ga hamil loh, Om.. masih perawan!” gumam Amira lirih sambil berlalu memberikan apa yang kedua adik Bundanya minta. “APA?!” ucap Imam menggelegar sampai Kakaknya di ujung sana terperanjat. Sayang sekali pendengaran Imam terlalu baik, sehingga ia memerintahkan ponakannya itu untuk duduk di depan dirinya dan Alif. Tidak perlu mengulur-ngulur waktu lagi, begitu pikirnya. Imam dan Alif memang mendatangi rumah Abang dan Kakaknya dengan satu tujuan, yaitu menatar Amira. Mereka bahkan mengancam jika Amira ketahuan pacaran lagi, tidak ada yang namanya warisan untuknya. “Jangan dong Om.. mau makan apa aku? Om ‘kan tau otak Ayah sama Bunda itu di garis standar semua, apalagi aku? Mau kerja apa aku nanti, Om? Aku bertahan hidup cuma karena nama kakek,” ucap Amira yang langsung di jitak kepalanya oleh sang ayah yang dari tadi hanya menjadi pendengar yang baik. Ucup pikir ia sudah melakukan bagiannya sehingga ia tidak mau memarahi putrinya lagi. Tapi komentar sang anak soal otaknya dan istrinya membuat ia gemas dan menjitak kepala sang anak. “Ngantuk, nak?” tanya Ucup saat Amira berjalan sempoyongan ke kamarnya. “Iya Yah, Amir kapok,” jawabnya dengan nama baru yang ia gunakan untuk menyebut diri sendiri. “Ayah mau ralat semua ceramah Ayah pagi ini.” “Hah?”            “Iya..  Kamu boleh kok pacaran asal sewajarnya.” “Sorry, yah, Amir ga akan pacaran,  Amir masih sayang warisan,”  ucap Amira meninggalkan Ayahnya dengan emosi jiwa raga. Bisa-bisanya Ayah menggodanya di saat dia bahkan sulit untuk membuka mata.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD