BAB 9

2046 Words
"Anak setaaan!!!!!!" teriak Wak Yanto menghambur menyerang Badai. Ia menendang brutal pada tubuh pemuda yang sedang duduk itu. Semua orang di sana dengan cepat menarik tubuh Wak Yanto agar menjauh dari Badai. Tubuh tuanya terhuyung jatuh. Kopiahnya tanda kemuliaannya jatuh begitu saja, terinjak oleh kerumunan yang mencegahnya berbuat lebih. Wak Yanto mengamuk tak terkendali. "Lepas! Lepaskan! Jangan halangi aku untuk membunuh manusia iblis ini! Tak punya hati nurani, biadab!!!" Wak Yanto berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang memeganginya. "Waaak!!!" teriakku menghampirinya. Bahkan aku sampai terjatuh karena menginjak mukenahku sendiri. Aku langsung memeluknya dan mengusap dadanya yang terasa panas. Mungkin deritaku tak sebanding dengan rasa malu Wak Yanto. Aku ditalak setelah hitungan menit setelah disahkan. Andai telingaku ini pekak saja, itu lebih baik daripada mendengar ucapan kejam yang keluar daliri mulut Badai itu. "Minggir Arsih! Anak dajjal ini semakin menginjak-injak kehormatan keluarga ini. Dengan tulus kuserahkan keponakanku padamu, tanpa memberatkanmu sedikitpun tapi kalian anggap sampah!!!!" teriak Wak Yanto menatap sekelilingnya. Kemarahannya sungguh membuat siapapun merinding. Tampak semua yang ada di sana hanya diam menyaksikan Wak Yanto terus mengumpat dan mengamuk. Wak Erni hanya meruncingkan matanya. Tak ada sedikitpun nampak ia merasa sedikit penderitaan suaminya apalagi kepedihanku. "Maaf ya Yan, di sini Badai sudah memenuhi permintaanmu 'kan, menikahi Kinarsih," ketus ibunya Badai tanpa beban. Bahkan sekarang wajahnya terlihat lebih santai daripada saat aku akan dinikahi. Sungguh hitamnya hati manusia. "Lalu dengan seenaknya dia menceraikan keponakanku setelah akad dalam hitungan jam?! Kalian keterluan!! Tak punya perasaan!" Wak Yanto melempar Badai dengan gelas mineral yang di depannya. "Kami tidak pernah menyangka juga Badai akan menceraikan Kinarsih. Itu sudah murni keputusannya. Kita 'kan tidak bisa memaksa anak kami mencintai Kinarsih," sambut laki-laki berkumis tebal itu. "Kinarsih sedang meng---. Astagfirullah ya Allah...astagfirullah..." Wak Yanto tersendat lalu terus berdzikir, mengelus dadanya, sesekali ia memegangi perutnya. Pasti ia sangat merasa kepedihan yang mendalam. Aku hanya bisa terus menangis di sampingnya. Badai yang sedari tadi meringis kesakitan berusaha bangkit. "Maafkan saya, Paman. Saya tidak bisa memaksa hati saya. Yang penting saya sudah menikahinya seperti keinginan Paman," ujar Badai takut berani berlindunh di balik punggung ayahnya. "Anjing! Tapi tidak begini caranya setan! Kamu semakin menginjak harga diri keluargaku dan kehormatan putriku!" Seolah tak peduli, Badai menatapku. Aku menunjukkan air mataku padanya, mengharapkan hatinya iba padaku. Aku masih berharap dia meminta maaf, meski tidak padaku tapi pada pamannya. "Maafkan aku Kinarsih, aku tidak bisa terus mencintaimu," ucapnya parau lalu melangkah keluar. Aku langsung lemas. Tak ada tenagaku meski hanya sekedar menarik nafasku. Ini hantaman yang sangat kuar biasa memporak-porandakkan hatiku. Melihat ayah dari janinku menjauh yang diikuti kedua orang tua dan saudaranya. Mereka sama sekali tidak menatapku apalagi menenangkanku. Aku mengerti sekarang, betapa busuknya keluarga itu. Wak Yanto dibawa masuk ke dalam kamarnya. Ia dipapah oleh sahabat-sahabatnya yang ikut menyaksikan pernikahan yang mungkin hanya aku yang mengalaminya sepanjang sejarah hidup mereka. Dinikahi lalu diceraikan diwaktu yang sama. Sungguh kemalangan apa lagi yang tidak aku rasakan? "Masuklah ke kamarmu, Kinarsih. Kamu janda sekarang, jaga sikapmu," sinis Wak Erni meninggalkanku. Suaranya berlalu begitu saja. Aku masih mematung, seolah malam ini seperti mimpi terburuk. Bagaimana bisa laki-laki yang kuyakin menjadi pelabuhan terakhirku memperlakukanku sekejam ini? Ini sangat kejam. Lebih baik dia tidak menikahiku daripada diangkat seperti ratu, dijanjikan harapan lalu dibuang tercampakkan seperti ini. "Ocid bantu bawakan kotaknya ya kak Acih," suara Rasyid mendekatiku. Sontak aku memeluknya. Aku ingin sedikit merasakan jiwa suci dalam dirinya. Selama ini, selain Wak Yanto, hanya dia yang bersedia mencintaiku dengan tulus.Rasyid menemaniku ke kamarku. Aku mengira malam ini, aku tidak membuka pintu ini lagi, ternyata garis takdirku menginginkan aku tetap di sini. Rasyid meninggalkanku dengan sebuah kotak berpita perak. Aku menatapnya nanar. Segala kedustaan dan tanpa perasaan terekam jelas di setiap sisi kotak itu. "Badai ... mengapa kamu setega ini?" Tangisku tak terhenti. Aku meraung, meratap dan memukul diriku sendiri. Beberapa kali kutemukan diriku tersadar seolah bangun dari tidurku. Lalu aku kembali mengingat aroma parfum yang kusukai, terakhir pergi meninggalkan kepingan hatiku yang remuk redam tak bersisa lagi. "Ibu ... Bapak ...!!!" Aku terus memanggil kedua orang tuaku dalam tangisku hingga aku tidak mengingat apa-apa lagi. *** Praaaaakkk!!! Sebuah piring besi terlempar di dekatku. Aku kaget bukan kepalang. Kubalikkan badan untuk melihat siapa pelakunya. Ana. Gadis itu, ada apa dengannya? "Kenapa tidak sekalian kamu lempari wajan minyak panas ini?" sindirku melanjutkan pekerjaanku. Bahkan setelah malam itu, Wak Erni tetap menyeretku keluar kamar untuk membersihkan sisa acara. Semua pekerjaan rumah tetap aku kerjakan tanpa peduli sakitnya jiwa ragaku karena apa yang aku alami. "Gara-gara kamu! Janda tidak tahu diri. Kamu membuat Rian terluka sampai dirawat di rumah sakit!" teriaknya berkacak pinggang. "Terluka? Bagaimana ia bisa dia terluka lalu apa hubungannya denganku?" "Karena dia sedang bodoh, membela w************n sepertimu dengan menemui Badai. Mereka baku hantam." "Astagfirullah. Lalu Badai bagaimana? Apa dia terluka juga?" Aku menahan nafasku. "Ciiih ... perempuan jalang! Kamu memang tak berperasaan. Enyahlah dari hadapanku sesegera mungkin atau aku akan membunuhmu!" jerit Ana. Dari pancaran matanya, ia begitu murka padaku. "Kenapa kamu begitu membenciku, Ana? Kalau aku menghawatirkan Badai, itu karena dia adalah ayah dari calon anak yang kukandung." "Anak haram!" Ana membalik wadah garam di dekatnya lalu meninggalkan bulir-bulir kristal itu berserakan. "Kalau sampai ada apa-apa sama Rian, kamu akan menghadapi aku!" ancamnya dengan tatapan nyalang. "Aku tak pernah kontakan sama Rian. Bahkan aku gak tau nomor hapenya," timpalku. "Dasar pembohong! Pasti kamu mencari simpati Rian dengan mengadukan ceritamu. Tak mungkin dia senekad itu dan mencari badai. Dasar wanita maruk!" Aku menutup mulutku karena begitu sangat kaget dengan tuduhan Ana. Aku tak sehina itu. "Kamu salah sangka, Ana. Aku benar-benar tidak pernah berhubungan dengan Rian. Kamu bisa tanyakan langsung padanya," ucapku membela diri. "Halah! Pandai kamu bersilat lidah. Sudah murahan, lidahmu bercabang seperti ular. Kamu tahu? Rumahku sekarang sedang dikutuk karena adanya kamu dan anak haram di kandunganmu itu. Kamu perempuan murahan, Arsih. Lelang!" Setelah mengucapkan isi dadanya, Ana berlalu meninggalkanku yang langsung terisak. Sungguh dia tak berperasaan. Bagaimana semua mata dan mulut membenci keberadaanku? Semenjak malam pernikahan sekaligus malam perceraianku, Wak Yanto pun tidak mengajakku bicara lagi. Sekarang bayangkan wajah Rian beberapa tahun yang lalu yang kuingat. 'Apa yang telah kau lakukan, Rian...' suara dalam hatiku bertanya lembut. "Anak setaaan!!!!!!" teriak Wak Yanto menghambur menyerang Badai. Ia menendang brutal pada tubuh pemuda yang sedang duduk itu. Semua orang di sana dengan cepat menarik tubuh Wak Yanto agar menjauh dari Badai. Tubuh tuanya terhuyung jatuh. Kopiahnya tanda kemuliaannya jatuh begitu saja, terinjak oleh kerumunan yang mencegahnya berbuat lebih. Wak Yanto mengamuk tak terkendali. "Lepas! Lepaskan! Jangan halangi aku untuk membunuh manusia iblis ini! Tak punya hati nurani, biadab!!!" Wak Yanto berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang memeganginya. "Waaak!!!" teriakku menghampirinya. Bahkan aku sampai terjatuh karena menginjak mukenahku sendiri. Aku langsung memeluknya dan mengusap dadanya yang terasa panas. Mungkin deritaku tak sebanding dengan rasa malu Wak Yanto. Aku ditalak setelah hitungan menit setelah disahkan. Andai telingaku ini pekak saja, itu lebih baik daripada mendengar ucapan kejam yang keluar daliri mulut Badai itu. "Minggir Arsih! Anak dajjal ini semakin menginjak-injak kehormatan keluarga ini. Dengan tulus kuserahkan keponakanku padamu, tanpa memberatkanmu sedikitpun tapi kalian anggap sampah!!!!" teriak Wak Yanto menatap sekelilingnya. Kemarahannya sungguh membuat siapapun merinding. Tampak semua yang ada di sana hanya diam menyaksikan Wak Yanto terus mengumpat dan mengamuk. Wak Erni hanya meruncingkan matanya. Tak ada sedikitpun nampak ia merasa sedikit penderitaan suaminya apalagi kepedihanku. "Maaf ya Yan, di sini Badai sudah memenuhi permintaanmu 'kan, menikahi Kinarsih," ketus ibunya Badai tanpa beban. Bahkan sekarang wajahnya terlihat lebih santai daripada saat aku akan dinikahi. Sungguh hitamnya hati manusia. "Lalu dengan seenaknya dia menceraikan keponakanku setelah akad dalam hitungan jam?! Kalian keterluan!! Tak punya perasaan!" Wak Yanto melempar Badai dengan gelas mineral yang di depannya. "Kami tidak pernah menyangka juga Badai akan menceraikan Kinarsih. Itu sudah murni keputusannya. Kita 'kan tidak bisa memaksa anak kami mencintai Kinarsih," sambut laki-laki berkumis tebal itu. "Kinarsih sedang meng---. Astagfirullah ya Allah...astagfirullah..." Wak Yanto tersendat lalu terus berdzikir, mengelus dadanya, sesekali ia memegangi perutnya. Pasti ia sangat merasa kepedihan yang mendalam. Aku hanya bisa terus menangis di sampingnya. Badai yang sedari tadi meringis kesakitan berusaha bangkit. "Maafkan saya, Paman. Saya tidak bisa memaksa hati saya. Yang penting saya sudah menikahinya seperti keinginan Paman," ujar Badai takut berani berlindunh di balik punggung ayahnya. "Anjing! Tapi tidak begini caranya setan! Kamu semakin menginjak harga diri keluargaku dan kehormatan putriku!" Seolah tak peduli, Badai menatapku. Aku menunjukkan air mataku padanya, mengharapkan hatinya iba padaku. Aku masih berharap dia meminta maaf, meski tidak padaku tapi pada pamannya. "Maafkan aku Kinarsih, aku tidak bisa terus mencintaimu," ucapnya parau lalu melangkah keluar. Aku langsung lemas. Tak ada tenagaku meski hanya sekedar menarik nafasku. Ini hantaman yang sangat kuar biasa memporak-porandakkan hatiku. Melihat ayah dari janinku menjauh yang diikuti kedua orang tua dan saudaranya. Mereka sama sekali tidak menatapku apalagi menenangkanku. Aku mengerti sekarang, betapa busuknya keluarga itu. Wak Yanto dibawa masuk ke dalam kamarnya. Ia dipapah oleh sahabat-sahabatnya yang ikut menyaksikan pernikahan yang mungkin hanya aku yang mengalaminya sepanjang sejarah hidup mereka. Dinikahi lalu diceraikan diwaktu yang sama. Sungguh kemalangan apa lagi yang tidak aku rasakan? "Masuklah ke kamarmu, Kinarsih. Kamu janda sekarang, jaga sikapmu," sinis Wak Erni meninggalkanku. Suaranya berlalu begitu saja. Aku masih mematung, seolah malam ini seperti mimpi terburuk. Bagaimana bisa laki-laki yang kuyakin menjadi pelabuhan terakhirku memperlakukanku sekejam ini? Ini sangat kejam. Lebih baik dia tidak menikahiku daripada diangkat seperti ratu, dijanjikan harapan lalu dibuang tercampakkan seperti ini. "Ocid bantu bawakan kotaknya ya kak Acih," suara Rasyid mendekatiku. Sontak aku memeluknya. Aku ingin sedikit merasakan jiwa suci dalam dirinya. Selama ini, selain Wak Yanto, hanya dia yang bersedia mencintaiku dengan tulus.Rasyid menemaniku ke kamarku. Aku mengira malam ini, aku tidak membuka pintu ini lagi, ternyata garis takdirku menginginkan aku tetap di sini. Rasyid meninggalkanku dengan sebuah kotak berpita perak. Aku menatapnya nanar. Segala kedustaan dan tanpa perasaan terekam jelas di setiap sisi kotak itu. "Badai ... mengapa kamu setega ini?" Tangisku tak terhenti. Aku meraung, meratap dan memukul diriku sendiri. Beberapa kali kutemukan diriku tersadar seolah bangun dari tidurku. Lalu aku kembali mengingat aroma parfum yang kusukai, terakhir pergi meninggalkan kepingan hatiku yang remuk redam tak bersisa lagi. "Ibu ... Bapak ...!!!" Aku terus memanggil kedua orang tuaku dalam tangisku hingga aku tidak mengingat apa-apa lagi. *** Praaaaakkk!!! Sebuah piring besi terlempar di dekatku. Aku kaget bukan kepalang. Kubalikkan badan untuk melihat siapa pelakunya. Ana. Gadis itu, ada apa dengannya? "Kenapa tidak sekalian kamu lempari wajan minyak panas ini?" sindirku melanjutkan pekerjaanku. Bahkan setelah malam itu, Wak Erni tetap menyeretku keluar kamar untuk membersihkan sisa acara. Semua pekerjaan rumah tetap aku kerjakan tanpa peduli sakitnya jiwa ragaku karena apa yang aku alami. "Gara-gara kamu! Janda tidak tahu diri. Kamu membuat Rian terluka sampai dirawat di rumah sakit!" teriaknya berkacak pinggang. "Terluka? Bagaimana ia bisa dia terluka lalu apa hubungannya denganku?" "Karena dia sedang bodoh, membela w************n sepertimu dengan menemui Badai. Mereka baku hantam." "Astagfirullah. Lalu Badai bagaimana? Apa dia terluka juga?" Aku menahan nafasku. "Ciiih ... perempuan jalang! Kamu memang tak berperasaan. Enyahlah dari hadapanku sesegera mungkin atau aku akan membunuhmu!" jerit Ana. Dari pancaran matanya, ia begitu murka padaku. "Kenapa kamu begitu membenciku, Ana? Kalau aku menghawatirkan Badai, itu karena dia adalah ayah dari calon anak yang kukandung." "Anak haram!" Ana membalik wadah garam di dekatnya lalu meninggalkan bulir-bulir kristal itu berserakan. "Kalau sampai ada apa-apa sama Rian, kamu akan menghadapi aku!" ancamnya dengan tatapan nyalang. "Aku tak pernah kontakan sama Rian. Bahkan aku gak tau nomor hapenya," timpalku. "Dasar pembohong! Pasti kamu mencari simpati Rian dengan mengadukan ceritamu. Tak mungkin dia senekad itu dan mencari badai. Dasar wanita maruk!" Aku menutup mulutku karena begitu sangat kaget dengan tuduhan Ana. Aku tak sehina itu. "Kamu salah sangka, Ana. Aku benar-benar tidak pernah berhubungan dengan Rian. Kamu bisa tanyakan langsung padanya," ucapku membela diri. "Halah! Pandai kamu bersilat lidah. Sudah murahan, lidahmu bercabang seperti ular. Kamu tahu? Rumahku sekarang sedang dikutuk karena adanya kamu dan anak haram di kandunganmu itu. Kamu perempuan murahan, Arsih. Lelang!" Setelah mengucapkan isi dadanya, Ana berlalu meninggalkanku yang langsung terisak. Sungguh dia tak berperasaan. Bagaimana semua mata dan mulut membenci keberadaanku? Semenjak malam pernikahan sekaligus malam perceraianku, Wak Yanto pun tidak mengajakku bicara lagi. Sekarang bayangkan wajah Rian beberapa tahun yang lalu yang kuingat. 'Apa yang telah kau lakukan, Rian...' suara dalam hatiku bertanya lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD