BAB 10

1406 Words
"Kenapa kamu berpikiran picik begitu, Arsih? Bi Erni sudah banyak membantu kita. Wajar dia mendapatkan upah." Badai kembali menggengam tanganku. "Aku tidak suka, seolah aku penghasil uang buatnya. Aku ingin segera lepas dari bibimu itu. Nikahi aku segera, Badai!" Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Akhirnya aku menangis. "Arsih ...." Badai berusaha menenangkanku. "Atau jangan-jangan kau sama dengan bibimu itu, hanya memanfaatkanku," jeritku. "Menurutmu begitu?" Badai memberikan raut wajah yang tegang, tak senang. "Siapa yang tahu." "Apa maumu?" Badai memegang stir mobil dengan erat. Ada yang ia pendam. "Aku ingin segera menjadi istrimu! Belum jelaskah?" Aku terisak tak tertahan. "Baiklah." Badai menstarter mobil dengan begitu cepat. Aku sedikit takut. "Kau mau membawaku kemana?" "Kau persiapkan dirimu sebaik mungkin," jawab Badai. Ia menatap tajam jalanan yang kami lewati. Sedikit pun dia tidak melihatku. Aku menenangkan diri. Badai pasti membawaku ke rumahnya, pikirku. Aku menghentikan tangisanku. Sungguhkah Badai akan membawaku ke rumahnya? Aku merasa Badai mendengarkanku. Aku langsung mengusap air mataku yang tersisa. Sampailah kami di tempat yang memiliki taman yang indah. Apakah ini rumah Badai? Terlihat dua orang penjaga memakai setelan hitam. Siapa mereka? Aku melihat sekeliling, banyak deretan kamar di bawah lampu temaram. "Yang ber-AC atau biasa, Boss?" Salah satu laki-laki itu mendekati kami. Aku mulai gusar. "AC," jawab Badai singkat. Laki-laki berbadan kekar itu pun memberikan Badai sebuah kunci. "Nomor 15 ya, Boss! Kalau ada perlu apa-apa, pencet saja bell di sana." Laki-laki itu pun berlalu dengan meninggalkan tatapan yang menyeramkan kepadaku. Badai menuju kamar yang dituju. Aku tidak punya pilihan untuk tidak mengikutinya. Benar saja, ruangan dingin dan harum bunga. Dua botol mineral bertengger di meja lengkap dengan beberapa permen warna warni. "Kita sedang di mana ini, Badai?" Aku mulai gugup. "Tempat kau akan menjadi istriku," jawabnya cuek meletakkan kunci mobil. "Maksudmu?" Tanganku tiba-tiba terasa sangat dingin. "Bukankah kau sangat menginginkannya?" jawabnya sambil memainkan permen di atas meja. "Iya, aku sangat ingin jadi istrimu, Badai. Tapi mana keluargamu? Bukankah dalam adat kita, keluarga perlu tahu kita akan menikah?" Aku masih mencoba berpikiran positif pada laki-laki yang aku cintai itu. "Bi Erni 'kan sudah menyetujui kau pergi bersamaku. Aku rasa izin dari dia saja cukup," Badai makin mendekatiku. "Ta ... ta ... pi ..." Rasa takut mulai menjalar di seluruh tubuhku. "Kenapa, Sayang? Kau 'kan bersiteguh untuk jadi istriku. Sekarang aku mengabulkannya, Arsih." Badai memegang bahuku. Aku gemetar. Air mataku jatuh tak terkira. Sungguh, aku tidak menyangka Badai akan berpikiran sekotor itu. "Bukan begini yang aku maksudkan, Badai. Tolong jangan nodai aku. Aku tidak akan memaksamu lagi, tolong bawa aku pulang." Aku memohon, memelas dalam tangisanku. "Kita sudah sejauh ini, Arsih. Kau mematik apa yang aku pendam selama ini. Kau begitu menggoda bagiku, dan aku akan menjadikanmu istriku malam ini." Badai mendekatkan wajahnya padaku. "Tidak, Badai!" Aku mundur dengan cepat. Aku melemparinya dengan tas selempang yang menempel di tubuhku. Aku benar-benar sangat takut. "Kemarilah, Arsih. Jangan takut, kau akan kuperlakukan dengan lembut. Bukankah kau mencintaiku?" Badai mengernyitkan keningnya. Ia semakin dekat dan dekat. Aku terus melangkah mundur. "Iya aku sangat mencintaimu, Badai. Namun bukan berarti ini jalannya. Aku ingin kau mengambilku dari keluargaku dengan baik-baik. Aku ingin kau menikahiku bukan menzinahiku!" Aku berteriak melemparnya dengan sandalku. Badai seolah menganggap teriakanku tak bermakna. Ia langsung menerkamku seperti binatang buas. Ia mendekap tubuhku tanpa takut aku hampir saja mati karena tidak bisa bernafas. Aku mengigit tangannya namun ia seperti menikmati gigitanku. Aku meronta namun tidak berdaya. "Nikmatilah, Sayang. Bukankah kau menginginkannya? Jangan buat aku melakukannya dengan kasar." Tatapan laki-laki itu menjadi sangat menakutkan. Wangi parfumnya yang aku sukai berubah menjadi aroma busuk yang menyengat. Aku tiba-tiba sangat muak padanya. "Badai, hentikan ...." Suaraku melemah. Pria itu telah berkuasa atas tubuhku dan aku tidak bisa meronta lagi. Aku mencintainya bersamaan dengan membencinya. Aku menolaknya bersamaan dengan menikmati sentuhannya. Suara tangisan dan umpatanku semakin berubah menjadi racauan-racauan tak bermakna. Aku marah padanya namun aku mengutuk diriku lebih dari apapun. Aku telah usai. Darah segar memberikan noda pada seprai putih. Hanya kain itulah yang menyelimuti tubuhku. Aku telah menjadi gadis hina yang sehina-hinanya. Suaraku tak mampu keluar dari kerongkonganku. Rasanya sangat sakit tak berperi. Orang yang aku cintai begitu tega merenggut kehormatanku dengan paksa. Aku ternoda. "Sayang, terima kasih banyak ya." Badai mengelus pundakku. Aku membiarkannya, sudah tidak ada yang berguna dari tubuh seorang gadis yang hina. Aku melihatnya terlelap tanpa ada beban. Sungguhkah ini jalanku untuk mereguk kebahagiaan masa depanku? Apakah setelah ini, Badai akan menikahiku? Aku masih menangis. Sinar matahari pagi memasuki celah-celah ventilasi ruangan penginapan itu. Aku masih bersembunyi di dalam selimut. Perih terasa di bagian sensitifku, seperti terkoyak-koyak. "Kau masih tetap cantik, Sayang." Suara itu semakin mendekat lalu memelukku. Aku membuang wajah. "Aku mencintaimu, Sayang. Aku melakukan ini agar aku adalah laki-laki satu-satunya di hatimu. Setelah ini, akulah tujuan hidupmu dan kaulah satu-satunya bagiku. Kau akan menjadi istriku. Percayalah. " "Kau tidak berbohong?" "Percayalah." Ia mencium pipiku dan aku diam saja. "Kapan kau 'kan menikahiku?" cecarku lagi. "Segera." Badai tersenyum, membuat pengharapan baru untukku. Kali ini aku pasrahku diriku pada Badai. Hingga dia berkali-kali mengerang mengucap namaku. Aku tidak punya pilihan. Aku tak boleh menyakitinya. Aku takut dia akan kecewa dan meninggalkanku. Dia harus menjadi milikku seutuhnya. Aku pun menggila. Kehormatanku dan prinsip yang telah ditanam ayah dan ibuku tidak hanya luntur, namun musnah oleh ambisiku. Aku telah hilang. Ternoda. *** "Wak, ini kopinya," suaraku pelan seperti biasa. "Duduk, Anakku. Gimana keadaanmu? Sepertinya jarang Wak melihatmu." "Hmm ... mmm ... Arsih betah di kamar," jawabku tergagap. "Wak ini sudah tua. Pendengaran dan penglihatan sudah uzur. Sudah tidak maksimal lagi. Wak mohon, jagalah dirimu, Anakku." Aku tak menjawab. Rasanya air mataku saja yang ingin keluar dari peraduannya. Sungguh menderita menanggung beban moral. "Andai Wak masih punya penghasilan tetap seperti dulu, kau pasti akan kuliah seperti Ana." Laki-laki tua itu mengusap kasar wajahnya. "Tidak apa-apa, Wak," isakku mulai terdengar lembut. Aku tidak menangisi ucapannya, aku meratapi nasibku yang telah ternoda. Wak Yanto begitu mencintaiku dan memikirkanku tapi aku telah mengakalinya, membodohinya, membuatnya tidak tahu kebusukanku. Betapa kuingin bersujud di kakinya, memohon ampun maaf. Begitu sesak rasa di d**a. "Kalau tanah yang di dekat tanah ayahmu itu laku, Wak janji, akan menguliahkanmu, Arsih. Jangan menangis lagi, ya. Sabarlah. Cepat atau lambat, selama Wak-mu ini hidup, kau akan jadi sarjana." Mata laki-laki tua itu menatapku berbinar. Wak Yanto mencoba memberikan harapan padaku. Sungguh aku tidak menginginkan semua itu. Saat ini, aku hanya ingin Badai menikahiku dan menghilangkan noda pada tubuhku ini. 'Badai, kau di mana ...,' batinku menunggunya yang tak kunjung datang lagi. Sejak kejadian itu, ia tidak pernah ke rumah Wak lagi. Sudah hampir satu bulan dan selama itu, aku dipenuhi dengan kegamangan bagai tak punya pegangan hidup. "Arsih, ada pindang di dapur. Buat sambal bawang dan sayur bening kelor!" perintah Wak Erni dari ruang TV. Aku sedang menyapu rumah. Serasa kepalaku belakangan ini selalu pusing dan ingin tidur. Kantuk yang tiada menghilang walau tidur semalaman. "Nggih, Bi," jawabku singkat. Setelah rumah menjadi rapi dan bersih, dengan langkah gontai, aku pun segera menuju dapur. Kuambil bawang merah yang cukup banyak. Baru saja kumengupasnya, tiba-tiba aku merasakan mual yang sangat hebat di perutku. Aku berlari ke kamar mandi, serasa isi perutku akan menyeruak keluar. "Hoooooeeeeeeek ...!!!!" Aku memuntahkan semua yang telah kumakan. Beberapa kali kucoba mengeluarkannya hingga aku merasa lebih lega. "Arsih!!! Arsih!!! Kau kenapa, hah?!" Suara Wak Erni membuatku hampir tersungkur di dalam kamar mandi. "Gak ada Wak, ada ulat di bawang tadi, Arsih geli. Jadi mau muntah," bohongku. "Kok bisa anak petani, mual sama ulat. Aneh kamu! Ya sudah cepat, nanti Wak-mu pulang dari kebun, belum ada makan siang." Tubuhku lemah, kepalaku benar-benar pusing, namun aku harus tetap menjadi pelayan di rumah ini. "Badai ... kapan kau datang menjemputku?" lirihku mengusap air mataku. Setelah aku menyelesaikan tugasku dengan sangat susah payah, aku ke kamarku dengan kaki yang sudah sempoyongan. Aktivitas di dapur sangat menyiksaku. Bau terasi dan bau bawang bagai bau busuk bagiku. Aku merebahkan diriku, terkapar tak berdaya. Rasa mual begitu dahsyat. Ingin muntah lagi. Sudah hampir satu bulan, rasa tidak enak air liur dan kepala mudah pusing. Aku menganggap karena aku stress memikirkan Badai yang tak kunjung datang. "Atau ada hal lain? Ada apa denganku? Apakah aku???" Tiba-tiba, aku teringat, dulu Bi Imah, tetanggaku, setelah menikah beberapa bulan, pernah menceritakan hal yang hampir sama dengan apa yang aku rasakan sekarang "Apakah ini pertanda aku ha-ha-mil?" Tenggorokanku tercekat. Tubuhku seketika bergetar hebat. Keringat dingin bercucuran. Seketika semua seperti gelap. "Ya Allah. Tidak ya, Allah. Aku mohon, tidak!!!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD