eps 3

725 Words
Bayangan Semu "Ternyata kau di sini, Mas, bersama dia …" ucapnya tersenyum. ____________________________________ "Aku bisa jelasin, Sayang." ucap Mas Aska. Dia menghampiri wanita itu, lalu menggengam tangannya. Mencoba memberi pengertian ke dia. Terlihat jelas, Mas Aska tidak ingin kehilangan Mbak Anita. Entah kenapa d**a ini begitu sesak melihat tatapannya Mas Aska, meskipun aku juga sering ditatapnya seperti itu. Tapi, tatapan dia ke wanita itu begitu dalam. Apakah aku cemburu? Tuhan … sesakit inikah? "Kita bicara di rumah, Mas!" jawab wanita itu menahan amarah. "Dan kamu, harusnya menjauh dari suami saya." ucapnya menatapku lalang. Wanita itu keluar dan berjalan ke arah lift. Aku yang sedang mematung di belakang pintu hanya mengamati Mas Aska yang mungkin sedang bingung. Mas Aska melangkah masuk ke kamar dan kembali memakai jas lalu berjalan ke arahku. Kedua tangannya memegang pundakku dan berkata,"Mas pulang dulu, ya … jaga diri baik-baik, semuanya akan baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir." Aku masih diam, Mas Aska pun keluar meninggalkan aku sendiri di sini. Perlahan aku menutup pintu kembali berdiri diam dibalik pintu. Mengingat kejadian barusan, adegan yang seharusnya aku tak melihatnya. Tatapan Mas Aska begitu dalam dan takut kehilangannya. Perlahan aku duduk masih dibalik pintu, menangis, merasakan kesakitanku sendiri, membodohi diri karena mencintai lelaki beristri. Aku menangis sejadi-jadinya, teriak yang tertahan. Sesakit inikah? Aku bangkit berjalan menuju kamar duduk di pinggir ranjang, mengambil bantal yang biasa dia pakai, lalu memeluknya. "Mas … harusnya kamu tak memberiku harapan lebih, dan memintaku menikah denganmu!" teriakku di balik bantal. Barusan saja aku seperti orang yang paling beruntung diperlakukan seperti ratu oleh seseorang yang selalu mengatakan sayang padaku. Dan kini dalam sekejap orang itu mematahkannya begitu saja. Bukan aku yang salah, tapi dia … lelaki yang kuanggap seperti malaikat. Aku sudah berusaha menjauh tapi tidak bisa. Aku menangis sendiri di kamar ini tanpa penenang. Menyalahkan diri sendiri tapi bertolak belakang dengan kenyataan. "Aku benci kamu, Mas! Seharusnya kamu tak mengejar wanita itu! Seharusnya kamu tetap di sini bersamaku." Entah sudah berapa waktu aku menangisi lelaki itu, hingga aku terlelap tidur. Aku terbangun karena ingin buang air kecil, ruangan masih gelap, kamar pun gelap. Aku merayap menyentuh tembok hingga akhirnya ku temukan saklar lampu dan ku tekan tombolnya. Aku berlari kecil ke arah kamar mandi kemudian menuntaskan hajat kecilku. Setelah selesai aku membasuh muka, aku menatap diriku sendiri di depan cermin. Kembali. Aku mengingat kejadian satu tahun silam, di mana aku hidup dengan Ibu dan Ayah tiriku. Melihat Ayah yang kadang memukul Ibu ketika Ibu pulang jualan dan tidak mendapatkan uang. Hingga akhirnya Ibu sering sakit dan meninggal lalu melampiaskannya padaku. Ayah menjualku pada lelaki hidung belang hingga akhirnya aku bertemu dengan Mas Aska. Tetapi saat ini, rasa ini jauh lebih sakit dari apa yang aku rasakan dulu. Kembali aku membasuh muka dan mengelapnya. Aku berjalan keluar mencari HP-ku, lalu mencari nama Mira kemudian menelponnya. "Hallo, Ay …" sapa Mira ramah. "Mir," jawabku dengan suara serak. "Lu kenapa, Ay? Gue ke sana sekarang, ya." jawabnya khawatir dan tak lama kemudian sambungannya pun terputus. Mira memang sahabat yang bisa diandalkan, dia selalu ada di saat aku susah maupun senang dan selalu menasehatiku. Tak lama kemudian bel pintu pun berbunyi, aku melangkah dan membuka pintu. Benar saja Mira datang dengan dua kantong plastik putih. "Masuk, Mir …" ajakku. Dia pun masuk kemudian berjalan ke dapur dan meletakkan dua kantong plastik diatas meja. "Lu udah makan, Ay?" tanyanya. Aku menggeleng lemah, tidak bertenaga untuk menjawab pertanyaanya. "Lu kenapa, Ay? Cerita sama gue!" ucapnya kemudian duduk di depanku. "Mas Aska, Mir … dia ninggalin gue, tadi istrinya kesini dan dia meminta Mas Aska untuk pulang," ucapku menahan bulir mata supaya tidak jatuh. "Trus?" jawabnya antusias. "Dia pulang, tadi gue lihat tatapannya Mas Aska dalem banget sama dia seperti takut kehilangan. Gue sakit Mir, gue cemburu, gue benci tapi gue gak bisa melarang dia untuk pulang, gue gak tahu harus berbuat apa?" "Menjauh!" jawabnya pasti pasti. "Gak semudah itu, Mir!" "Kenapa? Cinta?" ucapnya. Aku hanya diam, malas juga berdebat dengan Mira. Dia tetap memaksakku untuk meninggalkan Mas Aska. "Ay, cinta lo salah! Lo mencintai lelaki beristri dan itu akan menyakiti diri lo sendir! Lo paham gak sih?" "Gue gak salah, Mir. Yang salah itu dia, sekarang lo pikir baik-baik, kalau rumah tangga dia baik-baik aja gak mungkin Mas Aska mau sama gue." Wanita bermata sipit itu menghela napas dan berkata,"Terserah, Lu deh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD