Mobil Datang

1132 Words
DIHINA KARENA MOTOR JADUL PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL Suara Gala dan Gina terdengar begitu nyaring. Mereka teriak memanggilku. Aku dan ibu yang masih sibuk di dapur pun setengah berlari menuju halaman. "Ma ... Mama. Papa datang!" Teriak Gina dengan riangnya. Aku pun tersenyum senang. Pasti Mas Huda bawa mobil kesayangan kami itu. Betapa kagetnya aku saat sampai di teras. Beberapa tetangga yang tengah arisan di rumah Mbak Sri pun melihat ke arah mami. Mas Huda yang kupikir pulang membawa alphird justru pulang membawa si putih. Mobil bak terbuka yang biasa disewakan untuk pindahan kontrakan. Astaghfirullah. Benar-benar menyebalkan! "Sayang, aku pulang bawa mobil kita," ucap Mas Huda dengan meringis kecil sambil menatapku. Kucium punggung tangannya dengan kesal. "Kenapa sih cemberut gitu?" "Kenapa bawa dia sih, Mas? Harusnya kan-- "Mobil sendiri apa nyewa, Da?" Teriak Mbak Ambar dari rumah Mbak Sri. Dasar kepo! Mas Huda sedikit kebingungan. Di pun menoleh ke arahku. "Mas yakin kalau kamu nggak pamer-pamer ke mereka soal rumah sama usaha kita. Itu akal-akalanmu saja kan, Sayang?" bisik Mas Huda makin membuatku kesal saja. Gagak sudah rencana yang kususun sebelumnya. "Kenapa bawa dia? Mana bisa buat jalan-jalan. Gimana sih, Mas?" ucapku sewot. "Iya nih, Papa. Mana bisa jalan-jalan pakai mobil gini," rengek Gala dan Gina hampir bersamaan. "Tahu tuh papamu," balasku lagi. "Kalian itu di kampung, bukan orang gedongan manggilnya ngapain papa mama. Emak bapak lebih pantes. Papa mama itu panggilan buat orang yang berada, orang kota yang rumahnya gedong-gedong," ucap Budhe Narni mulai julid. "Kenapa sih, Budhe? Memangnya ada larangan buat manggil papa mama? Kita juga punya rumah gedong, iya, kan, Ma?" Gina mencolek lenganku. Aku pun mengangguk saja. "Gedong apa? Apa ibumu bekerja sebagai pembantu di sana, Gin? Makanya punya rumah gedong?" ucap Mbak Sri lalu disertai gelak tawa yang lain. "Kalian ini selalu nyinyir ke Ningrum. Padahal dia kan nggak pernah ngribetin urusan kalian. Lihat itu Si Ningrum punya usaha onlineshop, tiap hari juga kirim paket. Buat apa kerja jadi pembantu?" Sahut Mbak Sarti dengan kesal. Biasanya dia diam saja tak menyahut obrolan mereka, tapi mungkin lama-lama kesal juga mendengar ocehan mereka yang keterlaluan. "Lah kamu juga ngapain belain Ningrum? Lagipula kita ini ngomong ada benarnya kok. Bisa-bisanya ngomong punya rumah gedong segala. Logikanya dipakai, Sar. Kalau punya rumah gedong, nggak mungkin mereka mau tinggal di kampung dengan gubuk reot begini," tunjuk Budhe Narni lagi membuatku semakin gemas. Mas Huda kenapa pula langsung masuk ke dalam, padahal aku ingin dia mendengarkan ejekan para tetanggaku yang keterlaluan itu. Rumah ibu memang sudah banyak yang rusak, mungkin karena nggak pernah ditinggali jadi rusak di sana-sini. Rencananya nanti mau aku renovasi. Nunggu Mas Huda datang biar enak ngobrolnya. "Yeee ... nggak percaya kalau kita punya rumah bagus ya, Ma? Kenapa sih budhe-budhe itu jahat ngomongnya?" tanya Gala tiba-tiba. Kuminta mereka masuk ke dalam saja mengikuti papanya. Mas Huda yang sepertinya sedang mandi. Kulihat belakang si putih membawa motor maticku. Motor yang biasanya kupakai buat keliling komplek perumahan. Jalan-jalan pagi atau sore sekadar kuliner tipis-tipis. Mungkin ini alasan Mas Huda membawa si putih, biar bisa buat ngangkut motorku sekalian. Jadi nggak ongkos double. "Lumayan motornya bisa buat nganterin anak-anak sekolah, daripada jalan kaki terus. Lagipula anak-anakmu itu manja, jalan kaki sampai sekolah aja berhenti berulang kali, kecapekan katanya," ucap Mbak Ambar lagi. "Sudah deh kalian ini, dari Ningrum sekolah seperti ya usil banget. Selalu saja ngeledek dia. Kaya' hidup kalian udah bener aja," sahut Mbak Sarti lagi. "Kurang kerjaan kali, Mbak. Apa kurang dosa?" timpalku kesal. Ibu yang tadi ikut masuk bersama Mas Huda kembali keluar. "Rum, ayo dilanjutin masaknya. Udah jangan kebanyakan ngerumpi nanti tambah dosa," ajak ibu sembari melirik ke arah kumpulan tetangga julid itu. "Dari dulu Bu Wahyuni memang paling menyayangi Ningrum, pantes aja kalau Sinta sama Mila sering cemburu. Udah ngurus tiap hari, tapi kaya' nggak pernah dianggap. Benar kata pepatah, dekat bau basi jauh bau wangi. Meski yang jauh nggak pernah bantu apa-apa." Aku menoleh ke belakang. Budhe Narni melengos saat aku menatapnya tajam. "Sudah, Rum. Jangan dengarkan mereka. Seperti yang ibu bilang, di kampung memang begini. Nanti lama-lama kamu juga kebal sendiri. Sudah, istighfar saja." Ibu mengusap punggungku untuk menenangkan. Aku pun mengikutinya untuk istighfar. Kebetulan Mas Huda sudah keluar kamar, sementara dua anakku sudah asyik di meja makan. "Goreng tempenya udah kelar, Bu?" "Sudah semua. Kasihan kalau suamimu belum sarapan, makanya ibu tadi buru-buru masuk lanjutin masaknya yang sempat tertunda." Aku baru tahu kalau ibu hanya menjauhkanku dari tetangga julid itu dengan alasan melanjutkan memasak. Padahal masakan sudah siap semua di meja makan. Tadi memang kurang sayur asem sama tempe goreng saja. Opor sama bacem tahu sudah aku masak lebih dulu. "Suami baru datang malah dicemberutin, Bu. Aneh memang anak ibu satu ini," protes Mas Huda sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Lagian malah bawa si putih. Buat apa coba? Mana bisa buat jalan-jalan sekeluarga. Gimana sih kamu, Mas." "Iya tuh, Pa. Kita pengin keliling kampung juga, masa' selalu diledekin teman-teman katanya orang kota tapi ke sekolah jalan kaki terus." "Bukannya teman-teman juga banyak yang jalan kaki, Ga? Malah sehat dong sekalian olah raga." "Iya, Pa. Banyak, tapi kadang diantar naik motor juga kalau hujan. Aku sama Gina jalan kaki terus, Mama kan nggak bisa naik vespa papa," lanjut Gina ikut protes. "Makanya itu papa bawa ke sini motor matic mama, jadi bisa antar kalian ke sekolah. Lagian sekarang papa kan di kampung juga, jadi bisa antar kalian nanti misal mama sibuk," balas Mas Huda santai. "Tetap aja nggak bisa jalan-jalan. Iya nggak, Mas?" ucap Gina ke kakaknya. Gala pun mengangguk pelan. "Kalian ini, kaya' di Jakarta nggak pernah jalan-jalan saja sih? Kalau terpaksa mau jalan-jalan ya pakai si putih itu. Muat banyak, satu RT juga masuk. Nanti atasnya dikasih terpal biar nggak kehujanan dan kepanasan." Mas Huda kembali tersenyum tipis, membuat kami semakin kesal saja. "Jangan cemberut. Itu di dalam si putih ada makanan favorit kalian. Ambil saja, ayah beli semalam," ucap Mas Huda pada dua buah hatinya. Gala dan Gina pun berlarian keluar. Paling Mas Huda beliin mereka pizza seperti biasanya. Meski aku pengin juga karena sudah lama nggak makan, tapi nanti dulu aku kan masih ngambek. "Di kampung begini memang cocoknya mobil bak terbuka seperti si putih gitu, Dek. Banyak fungsinya, bisa buat angkut-angkut hasil sawah juga. Barang kali ada yang mau nyewa, kan? Lagipula kamu bilang masih banyak jalan jelek dan berlubang berarti memang cocoknya si putih yang Mas bawa. Bener nggak, Bu?" Ibu yang masih belum paham obrolan kami pun mengangguk saja. Ibu memang nggak tahu kalau kami memiliki mobil mewah dan segala usaha Mas Huda. Makanya hanya senyum-senyum saja sedari tadi. "Nanti bisa juga disewakan buat angkut ternak atau dagangan ke pasar," sahut ibu kemudian. Mas Huda pun terlihat semakin senang. Dia mengangkat-angkat alisnya ke arahku karena merasa dibela oleh ibu. Padahal ibu tak tahu maksud kekesalanku yang sebenarnya. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD