Terbongkar

1004 Words
DIHINA KARENA MOTOR JADUL PADAHAL PUNYA SHOWROOM MOBIL Bakda ashar, Mas Huda bersihin halaman belakang. Dia bilang mau bikin kolam lele daripada nggak ada kesibukan. Gina dan Gala pun begitu antusias membantu papanya, membakar sampah dedaunan kering dan bekas sayuran dari dapur. Sambil memperhatikan mereka, aku mulai tanya-tanya keseharian ibu di rumah Mbak Santi dan Mila. Selama aku tinggal di sini bersamanya, ibu memang belum pernah cerita apa-apa. Justru seolah menutupi semuanya. "Bu, saat di rumah Mila dan Mbak Sinta sore-sore begini ibu ngapain?" tanyaku mulai mencari informasi tentang kehidupan ibu di rumah dua saudaraku itu. Ibu hanya menghela napas lalu kembali menyeruput teh hangatnya. "Ibu nggak disiksa Mila sama Mbak Sinta, kan?" tanyaku asal. Sengaja agak ekstrim biar ibu mau bercerita. "Huusstt. Kamu ini, masa' ada anak nyiksa ibu kandungnya. Kamu ada-ada saja," jawab ibu cepat. Aku pun hanya nyengir saja. "Lagian ibu nggak mau cerita. Aku juga pengin tahu keseharian ibu bersama mereka, kan?" Lagi-lagi ibu menghela napasnya lalu menoleh ke arahku. "Kalau ibu ceritakan, nanti kamu marah nggak sama adik dan kakakmu?" Alisku pun mengkerut. Marah? Marah kenapa coba? Wah jangan-jangan memang mereka memperlakukan ibu semena-mena. Makanya ibu selalu menolak untuk menceritakan kesehariannya di sana. "Nah, kan. Makanya ibu malas cerita-cerita. Nanti kalian berantem lagi," pungkas ibu. "Aduh, Bu. Nggak marahlah. Toh sekarang ibu sudah sama aku. Kalau memang Mbak Sinta sama Mila dulu belum bisa merawat ibu dengan baik ya nggak apa-apa. Mungkin memang lagi pada sibuk," jawabku sekenanya. Berharap ibu kembali menceritakan semuanya padaku. "Iya, mereka memang sibuk. Adikmu kerja setiap hari. Bahkan kadang sabtu juga lembur. Libur hari minggu buat dia istirahat," ucap ibu kemudian. Mataku membola, tapi aku berusaha bersikap biasa saja. Nanti ibu kumat lagi, mengurungkan niatnya buat cerita. "Jadi Mila kerjanya full, Bu? Sampai sore? Padahal dia bilang sama aku kerjanya cuma sampingan." "Sampingan gimana? Sampai sore itu kan kerja di rumah konveksi gitu. Dari jam delapan pagi sampai empat sore," balas ibu lagi. Ibu terlihat kesal, mungkin karena pertanyaanku dirasa cukup menyudutkannya. Padahal maksudku tak begitu. Aku hanya mendengarkan cerita dari Mila saja selama ini. Cerita yang kupikir benar, tapi ternyata justru sebaliknya. "Waduh, gimana sih, Mila. Dia bilang kerja sampingan, nggak full jadi masih banyak waktu ngurus ibu cuma akhir-akhir ini ibu yang nggak mau diurus. Minta aku saja yang pulang gantian rawat ibu," balasku lagi. Rasanya aku mulai tersulut emosi, tapi mencoba untuk tetap tenang. Aku harus bisa mencuri informasi itu dari ibu, apalagi tentang transferanku tiap bulan. Saat ini, aku benar-benar kaget mendengar penjelasan ibu dan Mila yang bertolak belakang. "Itu dulu. Dulu dia kerja di warung soto gitu, pulang tengah hari. Cuma hutang Mila banyak, jadi nggak cukup uangnya buat bayar bank plecit itu. Tiap dua hari sekali ada saja yang datang nagih setoran." Aku pun semakin kaget mendengar cerita ibu. Jangan-jangan memang benar kalau duitku dipakai dia juga buat bayar utang. Mila tak pernah jujur untuk apa saja yang yang selalu kukirimkan tiap bulan. Dia bilang habis untuk biaya berobat ibu dan jajan. Terkadang buat beli daster-dasternya. Meski kulihat daster ibu masih daster lama yang sudah pudar warnanya. "Ibu pusing kalau lihat dia sama mas plecit itu ngobrolin hutang. Hipertensi ibu sering kambuh, makanya nggak betah di sana. Lagipula ibu capek, mau istirahat." "Loh ... capek gimana lagi ini, Bu?" tanyaku lagi. "Kalau Mila kerja kan ibu juga yang jagain Mika. Mika nggak mau diam di rumah, maunya main terus di rumah tetangga. Ibu jadi nggak nyaman. Andi kan juga kerja di pabrik tahu di kampung sebelah. Pabrik milik si Amin itu. Makanya ibu kecapekan, urusan bersih-bersih rumah memang Mila, tapi masak seolah jadi kerjaan wajib ibu karena mereka kan nggak di rumah. Mau nggak mau ibu masak juga." "Astaghfirullah, Bu. Itu mah namanya bukan Mila jagain ibu, malah ibu yang jagain anak dan keluarganya. Gimana sih dia?" "Nah, kan. Makanya ibu malas cerita sama kamu, pasti nanti ujung-ujungnya berantem." "Nggak gitu, Bu. Cuma omongan Mila ini kok nggak sinkron. Sama aku begini, sama ibu ternyata begitu. Kalau Mbak Sinta gimana, Bu? Apa dia sama saja?" "Sinta nggak full kerjanya. Cuma bantuin pasang manik-manik atau payet gitu. Nanti dia ambil ke rumah Pak RT beberapa kebaya buat dipasang payetnya. Kalau udah baru dibalikin dan dapat upah. Cuma ya nggak seberapa hasilnya. Makanya dia lembur-lembur. Pagi tiap suaminya berangkat kerja kadang dia belum bangun. Tiap pagi juga ibu sudah masak buat sarapan mereka sekeluarga, meski masaknya simpel-simpel aja, tapi juga capek rasanya. Apalagi anak-anak sama suaminya nggak mau masakan yang diangetin, semua harus masakan baru." Ibu kembali menghela napas. Kuucap istighfar lagi dan lagi. Kenapa dua saudaraku itu tega menutupi semua ini padaku. Kupikir selama ini ibu memang aman dan nyaman bersama mereka. Ternyata dugaanku salah besar. "Kamu harus janji sama ibu, Rum. Jangan ungkit masalah itu lagi sama kakak dan adikmu. Ibu sebenarnya kasihan sama mereka itu. Demi kredit motor sama mobil akhirnya jadi begitu. Ibu sebenarnya ingin bantu, tetap di sana gitu cuma badannya nggak kuat. Malah sering sakit-sakitan. Kalau sakit kan malah merepotkan mereka," ujar ibu lagi sembari menatapku lekat. "Aduh gini nih kalau gengsi digede-gedein. Kalau memang nggak sanggup nyicil mobil ya udah pakai motor dulu. Kenapa mereka paksain sih? Heran. Sudah aku kasih empat juta tiap bulan kok ibu masih ditinggal-tinggal, malah seolah dijadikan asisten rumah tangga mereka." "Apa, Rum? Kamu bilang ngirim empat juta tiap bulan?" Ibu mendelik kaget. Aku pun sama kagetnya karena ibu seolah tak percaya. "Iya, Bu. Memangnya Mila sama Mbak Sinta nggak bilang?" Ibu menggeleng pelan. "Dia memang bilang tiap kali kamu transfer, tapi bilangnya cuma lima ratus ribu bukan empat juta." "Astaghfirullah. Jangan-jangan uangnya mereka pakai buat bayar cicilan atau hutang, Bu? Soalnya kata tetangga mereka sering hutang dengan alasan beliin ibu ini dan itu. Makanya mereka sekali menyindirku anak durhaka. Sudah nggak ngurus ibu eh nggak mau kasih duit juga buat kebutuhan ibu." Sekalian saja kubeberkan sindirian tetangga padaku, biar ibu tahu kalau selama ini aku tak seperti yang ibu atau tetangga pikirkan. Aku sudah berusaha memberikan uang yang cukup untuk ibu tiap bulan, tapi ternyata diselewengkan. ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD