1 || Gadis Tak Bernama

2259 Words
“Siapa tuh, Ga?” Tyaga yang tengah mengunyah permen karet sembari memainkan ponsel lantas mengangkat wajah, matanya mengikuti arah pandang Abrisam pada rumah bercat putih bersih yang berjarak beberapameterdari mereka. Matanya menyipit, tepat di bawah sinaran lampu jalan di depan gerbang rumahnya ada seorang gadis berambut panjang hitam pekat tengah berdiri sambil menganggukkan kepala seperti mendapatkan nasehat dari seseorang—padahal ia sendirian. Matahari sudah tak tampak, jadi mereka berempat membeku selama sekian detik di tempatnya. Mereka tidak takut, hanya heran melihat seorang gadis berdiri sendirian. “Itu orang beneran, kan?” tanya Isal lagi. Qori mengedikkan bahu. “Mungkin.” “Cakep, cuy!” seru Pranaja seraya berlari ke arah gadis itu. Qori geleng-geleng kepala melihat Rana yang kecentilan. “Kapan coba tu anak tobat? Udah punya pacar, masih aja gatel ke cewek lain.” Isal—panggilan akrab Abrisam—membenarkan letak kacamatanya, bergaya seperti detektif yang baru memecahkan kasus. “Menurut penelitian gue selama sahabatan sama Rana, dia bakalan diputusin ceweknya tiga hari lagi.” Empat cowok berbeda karakter itu baru saja pulang dari pertandingan futsal antar sekolah. Sayangnya, SMA Cendrawasih—sekolah mereka—harus rela kalah dari SMA Rajawali. Tyaga yang ikut berpartisipasi dalam perlombaan hanya mengelap keringat di dahibegitu pertandingan selesai, berbeda dengan Rana yang langsung menyerang wasit. Dia bersikeras kalau pria berseragam kuning terang seperti bunga matahari itu berlaku tidak adil. Pelanggaran yang dilakukan SMA Rajawali seperti tidak terlihat di matanya. Sempat terjadi keributan di lapangan kecil itu, tapi untungnya bisa dihentikan oleh Abqori dan Isal yang langsung menghentikan amukan Rana. “Kok diem aja sih?” suara Rana terdengar begitu penasaran. Gadis itu tidak menjawab, hanya menatap Rana dengan sorot takut. Tyaga sama sekali tidak memperhatikan, hanya sibuk main game. Sedangkan Isal sudah geleng-geleng melihat sifat agresif Rana. Qori yang memiliki jiwa keadilan paling tinggi diantara mereka menghela napas, melangkah lebar-lebar dan menepuk pundak Rana dengan keras hingga pemuda itu menoleh kesal. “Apa, sih?” tanyanya dengan kening berkerut. “Jangan gitu lah sama cewek, kaleman dikit,” tegur Abqori. Rana mengedikkan sebelah bahu hingga tangan Qori terlepas dari atasnya. “Gue nanyanya baik-baik kok, tapi dia diem aja. Nggak mau jawab sama sekali.” Tyaga berhenti melangkah ketika Isal ikut memperhatikan gadis yang sangat asing di komplek perumahan mereka. Pemuda itu sempat melihat si gadis dari ekor matanya, tapi ia kembali menundukkan kepala dan berlaku tidak peduli pada gadis yang sudah merapatkan punggungnya di tembok pagar rumah Tyaga. “Orang baru kali?” celetuk Isal, memperhatikan wajah gadis itu. “Matanya biru, cuy,” Rana bergerak mendekat, tapi ditarik Qori karena sangat tidak sopan jika memperhatikan wajahnya terlalu dekat. Apalagi mereka tidak saling mengenal. “Udah, udah, kasian tau,”Abqori menjepit leher Rana agar pemuda itu tidak kembali mendekati si gadis. “Lo nggak liat mukanya pengen nangis gitu?” “Inget bini juga lo,” Isal menggeplak keras kepala Rana. “Jangan nyeret kita ke dalam pertengkaran drama picisan a la Pranaja-abal.” “k*****t lo pada!” Rana balas menendang kaki Isal, tapi gagal karena pemuda berkacamata itu sudah mundur beberapa langkah dengan deraian tawa. Baldric yang sejak tadi berada di sebelah si gadis hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan mereka bertiga. Hanya pemuda yang menunduk dalam sambil memainkan ponsel itu lah yang terlihat tidak peduli akan kehadiran gadis ini. Padahal kedatangannya kemari adalah untuk bertemu dengan Tyaga. Baldric yang tak disadari keberadaannya oleh mereka berempat lantas menyenggol lengan si gadis hingga ia mengangkat wajah dan melihat ke arah Tyaga. “Nyaaa!” [Itu dia!] Gadis itu melompat girang, sampai-sampai tak sadar kalau tiga pasang mata menatapnya kaget karena teriakan melengkingnya. Tyaga yang sebelumnya hanya menunduk kini mendongak, hampir saja terjungkal ke belakang kalau ia tidak pintar menyeimbangkan tubuh. Gadis bermata biru laut itu sudah memeluk Tyaga dan menggosokkan pipinya berulang kali di d**a pemuda itu. “s****n gue keduluan Tyaga,” sembur Rana frustrasi seraya menyugar rambut. “Sejak kapan Tyaga deket sama cewek?” Qori melirik Isal. “Nggak inget siapa Clara?” “Oh, ya,” Isal terkekeh. “Gue lupa dia punya satu mantan.” Tiga pasang mata itu masih memperhatikan gadis berpakaian hitam dan sepatu teplek putih. Mereka memandangi dari atas sampai bawah, merasa kagum karena bisa-bisanya ia menempel erat di tubuh Tyaga yang terkenal dingin pada perempuan. “Jadi ...” tiga pemuda itu menunjuk Tyaga yang hanya diam menunduk, memperhatikan gadis yang ditaksir lebih muda beberapa tahun dari mereka. “Dia siapa lo?” tanya mereka bersamaan. Tyaga balas menatap mereka. “Siapa? Gue nggak kenal.” # # # “Lo yakin nggak kenal dia?” tanya Isal. “Enggak, gue nggak kenal.” “Lo amnesia kali, Ga? Masa iya nggak kenal?” Rana menggetok kepala Tyaga berulang kali dengan kepalan tangannya. Mungkin pemuda itu kehilangan sebagian ingatan karena sempat terjatuh di lapangan futsal tadi. “Enggak, Pranaja,” sahut Tyaga. “Serius?” kali ini Qori ikut duduk bersila seperti Rana dan Abrisam yang sudah duduk tenang di hadapan Tyagaplus, si gadis yang sama sekali tidak terlihat tanda-tanda akan melepaskan pelukannya. Wajah gadis itu bersembuyi di balik lengan Tyaga, takut karena diperhatikan intens oleh para sahabat lelaki yang sejak sore ia tunggu kedatangannya. “Serius. Nggak ada untungnya juga kalo gue bohong.” “Iya sih...,” Qori mengusap dagunya pelan, memperhatikan gadis yang masih menempel erat di lengan Tyaga. “Hei,” Qori memanggil gadis itu, tapi ia tidak bergerak dari posisinya. “Nama kamu siapa? Kamu kenal sama Tyaga?” “Percuma, cewek kayak dia bakalan diem aja.” “Tau apaan lo tentang cewek?” Rana menyenggol lengan Isal dengan keras. “Pacaran aja nggak pernah.” “Mendingan gue dari pada cowok playboy cap pentolan korek kayak lo.” “Lo kata kepala gue sekinclong pilus?” Rana mulai naik darah, tapi Isal hanya tertawa menanggapinya.Qori memutar bola matanya malas dan melerai dua orang yang masih sibuk adu bacot. Sejak kecil, keduanya memang sering berkelahi, dan Qori lah yang menengahi meski akhirnya ia ikut ribut juga. Tyaga? Hanya diam memperhatikan. “Bisa lepas nggak?” diantara keributan para sahabatnya, Tyaga melirik gadis yang sejak tadi tidak mau membuka mulutnya. “Aku harus masuk ke dalam rumah.” Tyga terbiasa memakai aku-kamu pada orang yang tak dikenalnya. Meski ia terkenal dingin terhadap wanita dan minin ekspresi, namun sikap sopan harus tetap melekat erat dalam kehidupan sehari-harinya. “Nyaaa?” [Kenapa harus masuk?] Tyaga mengernyitkan kening. Apa gadis ini baru saja menjawab ucapannya dengan kata ‘Nyaaa’?Kenapa aneh sekali? Mata Tyaga melirik ke arah sahabatnya, namun ia tidak menemukan tanda-tanda kalau mereka bertiga mendengar ucapan gadis ini. “Kamu bilang apa barusan?” tanyanya memastikan. “Nyaaa?” [Kamu nggak ngerti?] dia memiringkan kepala, bingung. “Kamu ngerti bahasaku, nggak?” Tyaga merubah posisi duduknya, menghadap si gadis seraya berusaha melepaskan tangannya dari pelukan sesak. Namun gadis itu menolak untuk melepaskan diri dan beralih menggenggam erat lengan Tyaga. “Nyaaa!” [Ngerti!] cengiran lebar tampak di wajahnya. Seruan kecil yang keluar dari bibir gadis itu membuat tiga pemuda yang sejak tadi saling memukul kepala serta beberapa bagian tubuh lainnya langsung menoleh. Kening mereka sama-sama berkerut dalam. Bingung karena melihat gadis itu tersenyum sambil memandangi Tyaga, kemudian kaget karena ternyata suara ‘Nyaaa’ yang sebelumnya mereka dengar bukanlah ilusi semata. “Dia abis ngomong?” Qori yang pertama kali mengeluarkan pertanyaan. Tyaga mengangguk. “Mungkin.” “Suaranya ‘nyaaa’ doang?” Isal menaikkan kacamatanya, memandang lekat si gadis. “Iya,” jawab Tyaga singkat. “Udah gue tebak dia bukan berasal dari sini,” ucapan Rana membuat tiga lainnya menoleh dengan sorot penasaran. “Kalian pada nggak liat? Mata dia biru! Bule masuk kampung, woy!” teriaknya heboh sambil menunjuk-nunjuk si gadis. Pletak. Abrisam sang ringan tangan memukul kepala Pranaja dengan keras. “Berisik banget lo. Norak tau nggak?” dia terganggu. Rana meringis sembari mengusap kepalanya yang entah sudah berapa kali kena geplak Isal. Saat pertengakaran itu akan dimulai kembali, Qori dengan cepat duduk diantara mereka dan menjauhkan keduanya dengan mendorong wajah mereka ke sisi yang berbeda. Tatapan Qori masih mengarah pada Tyaga meski Isal dan Rana berontak minta dilepaskan. “Trus sekarang mau gimana?” tanya Abqori. Tyaga melirik si gadis tanpa ekspresi berarti. “Ya udah biarin aja,” kemudian bangkit, tapi tangan gadis itu masih tetap melekat di tangan Tyaga. “Nanti juga pulang sendiri,” tangannya merenggangkan genggaman si gadis hingga terlepas. “Nyaaa?” [Kamu mau ke mana?] Helaan napas terdengar dari bibir Tyaga, membuat tiga sahabat lainnya sadar kalau pemuda itu sudah berada di ambang batas kesabaran. Dan benar saja, dengan gerakan lambat Tyaga melepaskan tangan gadis itu dan langsung meninggalkannya bersama Qori, Isal, dan Rana tanpa tambahan sepatah dua kata. “Lah dia pergi ...,” Isal bingung. Mereka bertiga saling pandang sebelum benar-benar mengalihkan fokusnya pada si gadis yang sudah menunduk lesu dengan kedua tangan memeluk tubuhnya. “Hei, rumah kamu di mana?” Qori akhirnya bertanya, tangannya terjulur ingin menyentuh lengan si gadis namun ia malah mundur menjauh. Qori menghela napas, menatap Isal dan Rana dengan pandangan putus asa karena kebaikannya ditolak mentah-mentah. “Gimana dong ini?” Abrisam semakin bingung harus melakukan apa untuk gadis yang seperti tersesat dan hanya mengenal Tyaga ini. “Gue bawa pulang aja deh—” “Jangan harap hal itu bakal terjadi,”Abqori menempeleng kepala Rana, disambut cibiran kesal. “Yaaa, abis gimana? Mau ditinggal sendirian? Kalian tau sendiri kan daerah sini akhir-akhir ini rawan,” bela Rana kemudian melirik Qori. “Lo yang bawa pulang gih.” “Nggak bisa,” Qori menggeleng. “Di rumah lagi ada keluarga dari pihak bokap. Ntar dikira gue bawa calon-bini-yang-udah-melendung,” ucapnya pelan kemudian melirik Isal. Sadar makna tatapan Abqori, Isal langsung menggoyangkan kedua tangannya dengan cepat. “Nggak! Lo tau sendiri kan orang tua gue kolot banget. Nggak ada acara nginep-nginepan untuk lawan jenis.” Mereka bertiga menghembuskan napas panjang secara bersamaan, kemudian melirik jendela di lantai dua dengan gorden yang tertutup rapat. Itu adalah kamarTyaga. Pemuda itu memang suka keterlaluan kalau sudah menyangkut masalah perempuan. Padahal gadis ini mengenalnya. Mungkin saat ini yang terbaik adalah membawa gadis ini ke pos satpam atau kantor polisi? # # # “GUE NGGAK KUAT!” teriakan Rana dari ujung sambunganmembuat Tyaga menjauhkan ponselnya dari telinga. “Cewek tanpa nama itu sama sekali nggak mau beranjak dari tempatnya!” Tyaga menghela napas, berjalan mendekati jendela dan menarik tirainya sedikit. Mengintip ke arah di mana ia meninggalkan si gadis dengan tiga sahabatnya. Sekarang hanya tinggal Rana yang masih bertahan setelah dua jam berlalu. Pemuda itu memang tinggal sendirian karena orang tuanya yang bekerja di luar kota, jadi ia tak ada alasan untuk pulang cepat karena ‘dicari orang tua’. “Lo bujuk dia coba,” ucap Tyaga pelan. Matanya masih tertuju pada Rana yang sekarang sudah berjongkok di hadapan si gadis, tangannya sesekali terjulur ingin menarik ia untuk bangkit. Namun ditanggapi dengan gelengan kepala hingga tangisan yang terdengar langsung di telinga Tyaga yang masih dalam sambungan telepon. Spontan saja, tangan pemuda itu membuka tirai lebar-lebar. Hampir menempelkan tangannya pada kaca jendela saking penasaran akan alasan gadis itu menangis. “Hanjer dia nangis,” Rana panik, dia menoleh ke sana ke mari dan akhirnya manik matanya terpaku pada Tyaga yang tengah memandangnya dari dalam kamar. “Setan! Keluar lo! Tega bener liat gue menderita kayak gini!” teriaknya sebal. Melihat jari tengah yang dilemparkan Rana untuknya membuat sudut bibir Tyaga tertarik ke atas, tersenyum tipis hampir tak terlihat. Kemudian ia mengambil jaket tebalnya dan menuruni anak tangga satu persatu. Tidak sampai lima menit, ia sudah sampai di halaman dan mematikan sambungan telpon karena Rana sudah berkacak pinggang melihatnya. “Jadi dari tadi lo diem di atas sana, penguntit?” katanya kesal. Tyaga hanya mengedikkan bahu sembari membuka gerbang. “Gue baru selesai mandi sama makan malem,” ucapnya singkat kemudian menghampiri si gadis yang masih menyembunyikan wajah sembabnya di balik lipatan tangan. “Udah deh, gue nyerah,” Rana menghela napas. “Dia kenal sama lo dan hanya mau jawab pertanyaan dari lo. Intinya, dia cuma mau sama lo.” Tidak ada respon apa pun dari Tyaga sampai Rana memutuskan untuk mengangkat kakinya pergi dari hadapan mereka berdua. Tyaga menghela napas, menyentuh pundak gadis itu tapi langsung ditepisnya. Tidak ada perasaan kesal, Tyaga justrumelebarkan jaket yang tadi ia sampirkan di lengan laludipakaikan pada tubuh gadis itu. “Hei, ini aku,” saat Tyaga memanggilnya, gadis itu langsung mendongak. Saat itulah Tyaga sadar bahwa gadis ini hanya mau berbicara dengannya. Mungkin. “Kenapa masih di sini?” dia tak tega juga kalau gadis ini sendirian di tengah malam. “Udah larut. Harusnya kamu pulang.” Dia menggeleng keras, mendekati Tyaga namun pemuda itu mundur ke belakang. Gadis itu menatap Tyaga dengan mata berkaca-kaca. Tidak sampai lima detik, Tyaga menepuk puncak kepala gadis itu satu kali.Dan saat itu juga lah si gadis memejamkan kedua matanya. Sepertinya sangat menyukai sentuhan Tyaga. Tapi sayangnya, Tyaga tidak menyadarinya dan mengangkat tangannya dari puncak kepala gadis itu. Matanya menyisir sekitar, sadar kalau malam semakin pekat dan suasana semakin senyap. “Kamu bisa kasihtau alamat rumah? Orang yang kamu kenal? Atau nama?” Bukannya menjawab, gadis itu justru menggeleng. Dia ingin memberitahu Tyaga kalau tak punya rumah, tidak mengenal siapa pun selain dirinya, atau sebuah nama. Dia ingin di samping Tyaga. Dia ingin berbalas budi atas kebaikan kecil yang telah didapatkannya. Karena dia adalah seekor kucing yang takkan melupakan kebaikan seseorang. Karena bocah kecil yang mengaku bernama Baldric itu berkata kalau ia hanya memiliki sedikit waktu untuk bersama Tyaga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD