2 || Peliharaan Kecil

2374 Words
Mata Rana hampir saja keluar dari tempatnya ketika melihat Tyaga datang bersama gadis yang tadi malam membuat ia dan Abrisam berkelahi berulang kali. Tidak seperti ia yang menarik lengan si gadis dengan susah payah agar mengikuti kemauannya, Tyga dengan santai memanggil si gadis dengan isyarat tangan agar tidak memandangi salah satu siswi. Dalam sekian detik, gadis itu mengangguk lalu berlari mendekati Tyaga. Hebat. “Nurut banget dia sama Tyaga,” decakan kagum terdengar dari bibir Pranaja. Pandangan Isal mencari maksud pembicaraan sahabatnya. “Lo harus belajar banyak sama Tyaga buat naklukin cewek,” sahutnya saat melihat Tyaga tengah berjalan bersisian dengan si gadis. “Dibalik sikap dinginnya Tyaga, dia memang paling bisa naklukin cewek,” Qori yang baru datang langsung masuk ke dalam pembicaraan mereka dan memperhatikan gerak gerik Tyaga bersama gadis itu. “Nggak inget emang gimana dengan mudahnya dia dapetin Clarabell hanya dalam waktu dua minggu?” Pranaja mengangguk. “Gue yang ganteng gini aja susah banget dapet perhatian Clara.” “Sok ganteng,” Abrisam lagi-lagi menempeleng Rana. Rana dan Isal saling beradu makian dan jitakan kepala sampai tarik menarik makanan yang mereka beli di kantin tadi. Kedua pemuda itu memang berangkat bersama dan langsung duduk di pinggiran lapangan untuk menunggu kedatangan Qori serta Tyaga. Kalau pagi ini tidak mendung, Pranaja serta Abrisam sudah dipastikan akan mendekam di ruang kelas. Mereka lebih senang angin dingin yang berhembus sebelum hujan datangdari pada sorotan kehangatan sinar mentari. “Tumben lama?” Qori menyapa begitu Tyaga sampai di hadapan mereka. Tyaga melirik gadis yang mengkerut di sebelahnya. “Gue punya ekor.” Pertengkaran antara Rana dan Isal langsung berhenti. “Lo berevolusi jadi monyet?” tanya mereka berbarengan. “Begs,” Tyaga berjeda, “ekor itu maksudnya si dia nih.” “Oooh ...,” Isal dan Rana seperti anak kembar. Qori hanya bisa terkekeh geli melihat makna risih dari arah pandang Tyaga pada si gadis yang balas memandang pemuda itu dengan sorot berbinar-binar. Mungkin dia sama sekali tidak menyadari bahwa Tyaga sedang kesal? Sebenarnya juga, dia penasaran dengan gadis ini. Kenapa dia hanya mau menempel dengan Tyaga? Dia dan dua sahabatnya itu kan bukan orang jahat atau apa. “So, kenapa lo ngajak dia ke sekolah?” tanya Isal langsung. Tyaga mendesah pendek. “Bisa porak poranda rumah gue kalo dia ditinggal sendirian.” Dipandang bertanya dengan tiga sahabatnya memaksa dia untuk menjelaskan secara rinci. “Dia tidur di kamar tamu. Kamaryang sebelumnya rapi jadi berantakan abis. Sprei udah nggak kepasang rapi, sarung bantal juga udah bertebaran. Selimut tergeletak di lantai. Belum lagi gorden kamar yang beberapa udahlepas dari kaitannya,” Tyaga mendesah berat memandangi gadis itu. “Parah nih cewek. Gue nggak kuat nampung dia,” tambahnya. “Nyaaa..., nyaaa?” [Nampung itu..., apa?] Gadis itu memiringkan wajah dengan mata membulat, memandangi Tyaga penuh pertanyaan namun hanya dibalas dengan wajah datar tanpa ekspresi. “Maniiis!!!” Rana tiba-tiba histeris, membuat si gadis bersembunyi di balik tubuh Tyaga karena kaget bukan main. “Biar gue yang nampung diaaa, gue relaaa,” pintanya seperti orang mabuk. Kesal karena melihat kekonyolan Rana, Abrisam memukul keras punggung cowok itu. sebenarnya Pranaja ingin sekali membalas pukulan itu, namun niatannya tak terlaksana karena bel sudah berdering. “Awas nanti,” sahut Rana dengan kepalan tangan mengarah pada Isal. Deringan bel itu ternyata jugamembuat si gadis terlonjak kaget. Tapi Tyaga sama sekali tidak memperhatikan dan tetap berjalan di depan si gadis yang mengikutinya tanpa henti. Rasa penasaran Qori semakin membumbung tinggi melihat sikap agak berbeda dari si gadis, tapi ia berusaha tidak peduli dan berjalan santai ke arah kelas mereka. 12-IPA-1. “Gue ke perpus dulu,” celetukan Tyaga membuat tiga kepala menoleh. “Ngapain?” Isal, si anggota merangkap asisten penjaga perpustakaan bertanya bingung karena terlalu pagi jika ingin meminjam atau mengembalikan buku ke sana. “Perpus belum buka jam segini.” “Mau ngiket dia di pohon deket perpustakaan,” ucap Tyaga seraya menunjukkan tali  tampar. Tali yang bentuknya mirip tali tambang dan biasa digunakan untuk mengerek bendera di tengah lapangan itu menarik perhatian si gadis. Dengan mata berbinar, tangannya langsung berusaha menggapai tali yang sudah diacungkan tinggi-tinggi oleh Tyaga agar gadis itu tak mendapatkannya. Sadar kalau Tyaga mulai bertindak gila, Qori menggeplak kepala pemuda itu tanpa sungkan. “Lo sedeng apa gimana? Dia cewek. Bukan anjing yang bisa lo rantai.” Tyaga diam, memperhatikan si gadis yang masih sibuk melompat-lompat lucu. Setelah desahan pendek, akhirnya Tyaga memberikan tali itu pada si gadis lalu pandangannya beralih pada Qori. “Kalo nggak gitu, dia bakalan ngikut ke kelas.” “Ada apa ini? Kalian tidak mendengar bel masuk?”  Tyaga dan Qori serta-merta menoleh kaget ke arah Bu Daisy. Seketika sadar bahwa dua lelaki yang tadi bersama mereka sudah masuk kelas dan duduk tenang di kursinya. Kamvert emang Isal sama Rana, mereka merutuk dalam hati. “Dia siapa?” tanya Bu Daisy ketika melihat si gadis yang sibuk bermain dengan talinya. Qori menggaruk kepalanya yang tak gatal, sedangkan Tyaga melirik si gadis dengan wajah berpikir keras. Bingung juga bagaimana menjawab pertanyaan Bu Daisy. Ingin bilang tidak kenal, tapi tidak mungkin. Secara, sejak tadi gadis itu bersama mereka. “Dia saudara sepupu saya Bu, sedang dititipkan,” Tyaga menarik si gadis mendekat dan menunjukkan wajahnya pada Bu Daisy. “Sikap dia agak sedikit berbeda dengan gadis lain, jadi nggak bisa ditinggal sendirian.” “Keluarganya di mana?” Bu Daisy tampak memperhatikan dengan seksama penampilan gadis ini. Kalau dilihat-lihat, ia seperti tengah memakai kostum untuk suatu tokoh. Dan yang lebih unik, suara dencingan dua bel kecil sebagai hiasan kepalanya selalu terdengar saat dia bergerak. Jelas saja, kepalanya selalu berputar mencari keberadaan Tyaga seperti pemuda itu bisa hilang kapan pun. “Di luar negeri,” jawab Tyaga spontan. Qori heran serta takjubTyaga bisa berbohong selancar itu. “Tapi dia tidak akan bertindak aneh seperti mencelakakan orang lain atau berbuat gaduh, kan?” tanya Bu Daisy sambil menyipitkan mata. Dia memperhatikan warna pupil yang sangat jarang dilihatnya untuk orang Indonesia, biru.Kalau diperhatikan, sikap gadis ini memang agak aneh, pikirnya. “Tidak Bu, saya pastikan dia akan menurut dengan perkataan saya.” “Wow,” Qori menaikkan sebelah alis, Tyaga benar-benar di luar dugaan. “Baiklah,” Bu Daisy mengangguk samar kemudian masuk ke dalam kelas. Ia menunjuk salah satu anak yang duduk di paling belakang dekat jendela, menyuruh ia untuk pindah dan duduk di meja paling depan—tempat duduk Tyaga. Setelah pemuda dengan rambut cepak itu pindah dengan wajah ogah-ogahan, Bu Daisy yang juga wali kelas mereka langsung memanggil Tyaga. “Kamu dan Abqori duduk di bangku paling belakang,” titah Bu Daisy. “Pastikan dia tidak berbuat gaduh,” mereka berdua mengangguk. “Ibu harap kamu bisa menemukan seseorang untuk menjaganya, Tyaga.” “Saya akan menemukannya secepat mungkin, Bu,” jawab Tyaga sopanlalu menggandeng si gadis masuk ke dalam kelas. # # # Selama jam pelajaran berlangsung, gadis itu duduk bersandar pada kaki bangku Tyaga. Beberapa anak yang duduk di deretan belakang mencuri pandang ke arah gadis itu tiap kali ada kesempatan. Tapi ketika Tyaga balik memandangi mereka, cepat-cepat mereka mengalihkan pandangan ke arahlain. Mereka langsung berhenti memperhatikan si gadis. Qori bersandar, menaikkan kedua tangannya dan membentuk kepalan untuk menyangga kepala. Ekor matanya melirik Tyaga yang sibuk memperhatikan si gadis dengan mainan tali tamparnya. “Kenapa?” dia penasaran mengapa Tyaga begitu fokus pada gadis itu. Tyaga tersentak setengah detik lalu pandangannya beralih pada Abqori. “Enggak,” dia menggeleng kemudian lanjut melengkapi catatan. Setelahnya, tak ada pembicaraan yang mengalir diantara mereka. Qori tau sekali, sudah sejak kecil Tyaga pendiam dan tak banyak tingkah. Dia jarang mengobrol dengan orang lain. Bahkan pada mereka bertiga pun, Tyaga sangat membentengi dirinya. Dan alasan yang diberikan ketika Qori bertanya mengapa Tyaga begitu tertutup, jawaban yang sangat masuk akal terdengar, “gue males ngomong kalo nggak penting-penting amat”. Makanya ketika ia dan Clarabell pacaran, semua siswa di sekolah mau pun luar sekolahyang mengenal pasangan itu gempar. Banyak desas-desus yang mengatakan kalau Clara lah yang menembak Tyaga. Entahlah, yang pasti Tyaga tak pernah membuka mulut tentang kisah cintanya yang hanya berjalan sekitar tiga bulan.Pun Clara, si Ratu Anggun pasti akan menjawab pertanyaan seputar percintaan dengan senyuman manis. Lamunan Abqori buyar ketika bel tanda sekolah berakhir berbunyi. Dia membenarkan posisi duduk, menyiapkan peralatan tulis sekalian mendengarkan untaian kalimat penutup dari sang guru. Lagi-lagi, ekor matanya gatal melirik teman sebangkunya. Si gadis yang sebelumnya hanya duduk sembari memainkan tali kini sudah berdiri, kedua tangannya menyentuh masing-masing pundak Tyaga. Senyum merekah itu tak sekali pun pudar, bahkan matanya semakin berbinar saat melihat Tyaga memasukkan barang ke dalam tas. Aneh. “Tyaga,” suara yang belakangan masih terdengar di sekitar empat sahabat itu membuat Qori duduk tegap dan Tyaga mengangkat wajah. Si empunya nama tidak menjawab, hanya diam dengan sorot penuh pertanyaan. Gadis yang berdiri di belakang Tyaga kini sudah beralih mengalungkan lengannya di sekitaran pundak Tyaga, membuat Clara tersenyum terpaksa. Qori tidak peduli dengan apa yang ingin dilakukan Clarabell, tapi Rana dan Isal sudah bangkit dari duduknya dan menghampiri mereka tepat saat guru keluar kelas. Mereka berdua penasaran maksud tujuan Clarabell datang ke kelas Tyaga. “Pacar?” Clara melirik gadis yang tak henti memandangi Tyaga. Tyaga hanya menggeleng singkat. “Ada apa kemari?” “Oh, hari ini kamu nggak ada ekskul futsal, kan?” dia mengambil sejumput rambut lalu menyelipkannya di belakang daun telinga. “Gimana kalo pulang bareng? Sepertinya kita perlu membicarakan sesuatu.” Ada sorakan kecil yang terdengar dari bibir Rana, tapi langsung dihentikan oleh Isal dengan toyoran di kepala. Hampir saja Pranaja dan Abrisam kembali bertengkar kalau-kalau Qori tidak bangkit dan menghentikan mereka. Kaget karena Abqori yang bangkit dari duduknya membuat Clarabell tersentak sekian detik sebelum kembali memandang Tyaga yang menatapnya tanpa berniat membalas. “Gimana?” akhirnya gadis itu bertanya lagi. Tyaga sempat berpikir dalam keheningan, tapi saat pelukan tangan gadis yang sejak tadi malam berada di sisinya mengerat, pemuda itu menghela napas. Tidak mungkin juga dia membawa gadis ini dalam pembicaraan mereka. Meski ia tidak bisa berbicara apa-apa, mungkin, tapi dia mengerti ucapan seseorang. “Maaf, mungkin lain kali kita bisa pulang bareng,” ujarnya seraya berdiri, diikuti si gadis yang langsung beralih memeluk lengan Tyaga. Bisik-bisik pun terdengar,namun hanya sesaat karena senyum sopan Clara pada beberapa gadis membuat mereka tertunduk malu. Clarabell merupakan sosok yang dikagumi karena ia tidak pernah marah dan selalu menampakkan senyum. Tak aneh kalau dia mendapatkan julukan Si Ratu Anggun. Sesaat setelah Clarabell berjalan keluar kelas, Tyaga bangkit dengan si gadis kucing yang mengekorinya. “Nyaaa?” [Dia siapa?] Tyaga melirik, tapi tidak membalas apa-apa karena ia memang tidak mengerti maksud ucapan si gadis. Kakinya tetap melangkah, berniat ingin menghampiri tiga sahabatnya yang sudah bercanda di pinggir lapangan namun terhenti karena tiba-tiba saja ia harus ke toilet. “Kamu bisa tunggu aku di sana?” Tyaga menunjuk ke arah gerombolannya. “Nyaaa?” [Kenapa?] Mungkin karena kesal, Tyaga sempat menghirup napas dalam seraya menutup matanya rapat singkat lalu memandang si gadis yang hanya memiringkan wajah. “Kamu nggak bisa ngomong?” dia gemas, sungguh. “Nyaaa.” [Bisa.] si kucing menganggukkan kepala. “Oke, aku ngerti kamu nggak bisa,” Tyaga menghirup napas dalam lalu mengeluarkannya sangat perlahan seakan itu membuang beban hati. Hatinya lelah karena selalu mendapat jawaban yang sama tiap kali bertanya. “Ikuti aku,” ia beralih menarik tangan si gadis, membimbingnya mendekati ketiga lelaki yang langsung berhenti berbincang ketika mereka berjarak beberapa langkah. “Halo gadis maniiisss!” Rana langsung menyambut si gadis dengan cengiran lebar. Gadis itu tidak membalas, justru mengkerut ketakutan di sisi Tyaga. Abrisam yang berada di belakang Rana langsung menggeplak kepala pemuda itu dengan deraian tawa, sedangan Qori hanya tersenyum geli karena keramahan sahabatnya ditolak mentah-mentah. “Ngeselin,” dia mencebik sebal. Qori menyenggol pundak pemuda itu. “Sensian amat kayak cewek.” “Emangnya cewek doang yang bisa sensi?!” Pranaja mendadak sewot. “Hati gue terluka men. Apa penolakan tadi malem nggak cukup memuaskan dia?” sambungnya sedih. “Turut berduka untuk kehancuran skill Bastiaan Pranaja dalam menaklukan wanita,” Isal prihatin, yang langsung dibalas sikutan keras di rusuk. Pemuda berkacamata itu meringis kesakitan, membungkukkan setengah tubuhtapi tergelak puas. Qori yang berada di samping Rana langsung menghentikan keduanya karena Tyaga terlihat menunggu mereka untuk diam. Tyaga memang pendiam, tetapi jika ia diam tanpa berfokus pada hal lain artinya ia mau mengungkapkan sesuatu. “Kenapa, Ga?” Qori memang paling pengertian. “Jagain dia bentar,” Tyaga mendorong pelan tubuh si gadis kucing mendekati Qori, hampir menabrak kalau pemuda berwajah kalem itu tidak menahan pundak si gadis. “Nyaaa!” [Nggak mau!] si gadis langsung menolak, merapat pada Tyaga. Karena ia menempel lagi, Tyaga menghela napas dan memandanginya lekat. “Denger, aku mau ke kamar mandi sebentar dan kamu, tunggu di sini sama mereka,” ia melirik ketiga sahabatnya, tapi gadis itu menarik ujung lengan seragam Tyaga. “Mereka nggak jahat ...” Tyaga meyakinkan. “Nyaaa! Nyaaa!” [Nggak mau! Mau ikut!] Mata gadis itu membulat, jemarinya merambat menjadi remasan kuat sampai kain seragam Tyaga lecek. Tyaga mendesah panjang, menurunkan tangan gadis itu lalu mengusap puncak kepalanya dengan perlahan. “Di sini dulu, oke?” dari malam, Tyaga selalu melakukan ini jika gadis itu tidak mau memisahkan diri darinya. Pandangan gadis itu memelas tak terima, tapi akhirnya ia melepaskan cengkraman dan membiarkan pemuda itu melangkah menjauh, meninggalkannya bersama tiga orang yang kemarin memaksanya pergi dari rumah Tyaga. Dia hanya diam memandangi sosok Tyaga yang menuju toilet pria di ujung lorong dekat kantin. “Menurut lo, dia itu siapa?” senggol Isal pada dua orang diantaranya. Qori melirik si penanya. “Manusia lah.” Jawaban menyebalkan itu mendapat decihan sebal dari Abrisam. “Dia kayak peliharaannya si Tyaga deh.” Isal dan Abqori menoleh dengan kening berkerut mendapatkan kesimpulan dari analisa aneh di otak eror seorang Pranaja. Awalnya Rana masih memperhatikan si gadis yang sudah berjongkok sembari memainkan sepatunya, namun ketika perasaan risih karena merasakan tatapan aneh dari dua sahabatnya membuat ia menoleh sebal. “Apa?!” sahut Pranaja galak. “Dia marah,” Isal buru-buru membekap mulut agar tawanya tidak berhamburan. Sedangkan Qori hanya memandang arah lain, pura-pura tidak mendengar ledekan Abrisam. Pranaja itu paling sensitif kalau usahanya mendekati perempuan gagal, dan hal lainnya sih. Jadi intinya dia adalah yang paling asik dikerjai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD