BAB 14. TELPON DI TENGAH MALAM

1315 Words
Heka memasuki sebuah club malam eksklusif di kota Batu. Tubuh indahnya menarik perhatian para pengunjung. Memaksa pandangan mata mereka tertuju padanya. Sebuah gaun merah yang Heka kenakan di dalam sebuah club malam terlihat sangat memukau dan memanjakan mata. Heka menarik kursi. Dia memilih meja bartender untuk melepaskan keresahannya. Lagi pula Heka hanya perlu memesan, tidak perlu waitress mendatanginya. Pekerja bartender yang akan langsung melayaninya. Heka tersenyum manis kepada pegawai bartender yang sedang memainkan shaker minuman dan melemparkannya ke udara. "Nona.. kau mau sesuatu?" pegawai club malam itu mendekatkan wajahnya. Menunggu pesanan Heka. "Berikan aku sebotol rum dengan minuman bersoda rasa lime." ujar Heka. Dia memperhatikan name tag yang tertempel di d**a pegawai club malam itu. Bartender itu mengambilkan pesanan Heka, dan meletakkannya di atas meja. Dia membuka tutup botol lalu menuangkannya untuk Heka. "Cantik sekali..." gumamnya di dalam hati. "Adrian.. mari minum bersamaku," ujar Heka sambil menunggu sajian yang Adrian berikan. "Saya sedang bekerja Nona," tolak Adrian halus. "Kurasa satu atau dua sloki tidak masalah," Heka memberikan kerlingan dan seulas senyuman manis. "Baiklah, aku tidak mungkin bisa menolak permintaan wanita secantik Anda," Adrian menuangkan minuman untuk dirinya. Bunyi dentingan gelas Adrian dan Heka terdengar samar di antara kerasnya musik yang mengalun. Andrian kembali sibuk dengan pekerjaannya. Melayani pembeli dan melayani permintaan waitress yang membawa setumpuk pesanan. Sesekali Adrian memainkan botol minuman, pada pangkal botol terdapat api yang menyala. Dia melemparkan ke udara lalu ditangkap menggunakan tangannya yang terselip di belakang punggung. Atraksi Adrian menarik para pengunjung mendekat. Mereka merasa sangat terhibur. Heka bertepuk tangan, terkadang ia tertawa melihat Adrian. Beberapa lelaki datang mendekati Heka, namun dia menolak mereka dengan mengatakan dia ingin sendiri. Heka terus mereguk minumannya, sloki demi sloki. Kepedihan hatinya atas penolakkan Rayhan membuatnya 'lost control.' Heka terlihat sangat kacau. Dia merasa tenggelam di dalam kesedihan tanpa dia mampu istirahat untuk mengambil napas. "One, two, three drink..!" "One, two, three drink!" Heka bermain gunting batu kertas dengan Adrian. Heka sangat mabuk. Bahkan belum sampai pada hitungan ketiga pun dia telah mengosongkan kembali gelasnya. Dia terlihat bahagia dan tertawa. Namun Heka sebenarnya menertawakan dirinya sendiri. Dia merasa terhina, terpuruk. Dia menertawakan kehidupannya, menertawakan ketidakberuntunganya. Heka tertawa gelak. Namun embun menetes dari sudut matanya. **** Rayhan mengangkat kepala Mia yang berada di atas lengannya dengan sangat perlahan. Suara getar terus menerus dari ponselnya, membangunkan Rayhan dari indahnya menjelajah alam mimpi. Rayhan menggerutu di dalam hati, siapa yang telah membangunkan tidurnya pada jam tengah malam seperti ini. Meski kesal, malas dan mengantuk, tak mengurungkan niatnya untuk beranjak dari tempat tidur. Bangkit dari hangatnya berpelukan dengan sang istri. Bunyi getar ponsel itu sangat mengganggunya. "Halo..." ujar Rayhan dengan nada bicara yang tidak nyaman untuk didengar. "Halo," sahut suara lelaki di ujung sana, suaranya tidak begitu terdengar jelas. Suaranya membaur dengan dentuman musik yang keras. "Bapak, saya adalah bartender Oceana Club, istri Bapak saat ini terlalu mabuk untuk pulang sendiri. Dia berada di meja kami saat ini." "ISTRIKU?!" Rayhan terperangah, dia melihat ke atas tempat tidurnya yang hangat. "Istriku sedang tidur! Dia ada di dalam rumahku, bersamaku!" Rayhan merasa sangat kesal. Dia terbangun pada waktu dini hari hanya untuk sebuah lelucon yang sangat tidak lucu. Bisa dibilang sangat memuakkan baginya. "Nona..., Nona..., Siapa namu Nona?" Lelaki itu menggoyang-goyangkan lengan wanita di depannya. "Dia berkata namanya Heka..." suara lelaki itu mengejutkan Rayhan. Dengan langkah cepat namun tanpa suara, Rayhan meninggalkan kamar. Dia menutup pintu, dan terus melangkah menjauhi kamarnya. "Dia bukan istriku!" sahut Rayhan tegas setelah dia menjauh. "Tapi wanita ini bilang, Anda adalah suaminya. Saya mendapatkan nomor ini darinya. Sebaiknya Anda menjemputnya Pak!" lelaki itu berkata dengan nada memaksa. "Ah... baiklah, baiklah!" Rayhan menyudahi pembicaraan mereka. Rayhan membersikan dirinya di kamar mandi. Dia bersiap, kemudian berangkat menuju Oceana Club. Di sepanjang perjalanan, Rayhan terus menggerutu dan mengomel tiada henti. Dia begitu kesal pada Heka yang sangat meyusahkannya. Padahal, baru tadi siang Rayhan melemparkan tubuh wanita itu ke lantai. Rayhan memukul-mukul kemudi mobil puluhan kali. Wajahnya tampannya terlihat sangat gusar. Dia harus beranjak dari hangatnya tubuh sang istri demi wanita gila yang mirip anjing gila. Terus menggonggong padanya, terus berusaha menggigitnya. Rayhan memasuki Oceana Club, dia mengedarkan pandangan di antara jejalnya manusia. Rayhan berjalan di sela-sela para tubuh yang meliuk mengikuti hentakan musik. Wajah tampan dan tubuh indah Rayhan tampak lebih memikat dengan cahaya lampu yang dimainkan dengan cantik. Silih berganti warna, menambah keasyikan mereka menikmati kesenangan. Rayhan menemukan seorang wanita, wajahnya tertelungkup di atas meja, bertopangkan tangan dia menyandarkan kepalanya yang terasa berat. Rayhan mengenali wanita itu. "Kau yang menghubungiku?" tanya Rayhan pada pegawai club yang sedang meramu minuman. Dia melihat sebuah nama Adrian menempel pada seragam lelaki itu. "Apakah Anda suami nona ini?" lelaki itu menunjuk Heka yang tidak sadarkan diri. Mungkin dia tertidur. Rayhan menghela napas panjang. Dia mengangangkat bahunya. Kalimat suami terdengar berat bagi Rayhan. Dia tidak ingin mengakuinya, namun mereka memang menikah dan belum bercerai. "Ya.., aku yang menghubungimu." Adrian berkata dengan nada cuek. "Berapa banyak dia minum?" Rayhan kembali bertanya. Dia melihat ke arah Heka yang masih tidak bergerak. Adrian menunjuk sebuah botol Bacardi yang hanya tinggal seperempatnya. Rayhan menarik kursi dan duduk di sisi Heka. Rayhan menggoyangkan Heka dan memanggil namanya beberapa kali. Rayhan mendekatkan wajahnya ke telinga Heka, "Ayolah Heka! Aku tau kau belum semabuk itu." Rayhan tersenyum. Bagi kebanyakan orang lain, minum sebanyak itu tentu saja akan membuat mereka kehilangan kesadaran. Namun tidak demikian dengan Heka. Heka besar dan tumbuh bersama tuak, dia telah terbiasa dengan minuman beralkohol. Toleransi tubuhnya terhadap alkohol menjadi sangat tinggi dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Heka telah mengonsumsi tuak sejak dia berusia 16 tahun. Warga desa Heka terbiasa minum tuak bersama di malam hari, sambil bersenda gurau, bercengkrama bersama sahabat dan kerabat. Heka mengangkat wajah cantiknya yang kemerahan. Dia memang sangat mabuk, tapi tidak separah yang dipikirkan orang lain. Tidak sampai kehilangan kesadaran. "Aray... Sayangku.." Heka tersenyum. Dia bahagia melihat Rayhan bersedia datang untuknya. Heka berdiri dari kursinya. Dia mengalungkan kedua tangannya di leher Rayhan. Wajah mereka begitu dekat. Mau tidak mau Rayhan melihat 'istrinya' itu lebih dekat dan seksama. Heka luar biasa sangat cantik. Iris matanya berwarna coklat terang. Kulitnya semulus porselen. Senyumannya terlihat sangat menawan, melekat manis pada bibirnya. Heka pun masih muda. Tentu menarik pandangan mata. Rayhan menyelami bola mata Heka, terlihat cinta yang besar di dalam sana. Rayhan teringat betapa kasar perlakuannya kepada Heka. Dia sedikit menyesalinya. "Kau kenapa? Mengapa kau berada di tempat ini Heka?" Rayhan menatap lekat wajah cantik yang hanya berjarak beberapa puluh inci darinya. Pertanyaan itu hanyalah kata-kata pembuka pembicaraan. Tentu saja Rayhan mengetahui mengapa Heka mengabiskan malam dengan minum-minum di club malam. "Aku sangat mencintaimu Aray, aku sangat kehilanganmu. Aku kehilangan dua orang yang kucintai sekaligus. Aku kehilangan seorang putera, lalu kehilangan suamiku." Sudut matanya menitikkan embun hangat. "Saat-saat itu sangat sulit untuk kulewati. Aku selalu berharap seandainya ada dirimu di sisiku," bibir Heka bergetar. Wajah Rayhan bekabut. Hatinya pun terasa sedih. Dia dapat merasakan apa yang Heka rasakan. Dia sendiri pun terguncang saat itu. Apalagi Heka, dia adalah wanita yang mengandung dan melahirkan Yuka. "Kau yang menolakku saat itu Heka, aku memintamu puluhan kali, bahkan mungkin ratusan kali untuk ikut denganku. Untuk hidup bersamaku." Rayhan bertutur dengan kata-kata yang lembut. "Saat ini aku yang meminta kepadamu Aray, berikanlah aku kesempatan." Heka menatap Rayhan penuh pengharapan dengan kedua matanya yang terlihat sayu "Heka..." ujar Rayhan pelan. Rayhan menyapukan padangan ke wajah cantik 'istrinya' dengan seksama. Heka sangat cantik. Dia sama sekali tidak terlihat 'menjijikkan' saat ini. Dia hanya nampak seperti seorang wanita cantik yang begitu rapuh dan butuh perlindungan. Wajahnya yang kemerahan karena mabuk terlihat memukau. Matanya yang sayu nampak menggoda. Hembusan napas Heka yang bercampur aroma alkohol membangunkan hasrat. Bibirnya seumpama kelopak mawar yang indah. Memancing keinginan untuk mengecup dan melumat tanpa ampun. "Heka..." ujar Rayhan seraya menyibak rambut Heka yang menutupi wajahnya, "kau begitu cantik." Lelaki itu berbicara pelan, hampir seperti bisikan mesra di pendengaran Heka. "Sayang..." Heka memajukan wajahnya. Mendekatkan bibirnya pada bibir Rayhan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD