RR Part 5 Cuti

1520 Words
Malam itu, meskipun pada awalnya Riska bisa dengan cepatnya kehilangan kesadaran dan masuk ke alam mimpi, namun tidurnya tidak begitu nyenyak. Dalam mimpinya, Riska seperti tersesat di sebuah hutan dengan pohon-pohon yang tinggi sekali. Sinar matahari pun hanya sedikit masuk melalui celah-celah dedaunan yang rimbun. Belum lagi kabut yang begitu saja datang secara tiba-tiba, mengantarkan hawa dingin di sekujur tubuhnya. Riska mencoba untuk tenang dan mencari jalan keluar, menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mencari tanda-tanda kehidupan. Namun dia tidak menemukan apapun selain udara yang semakin dingin dan membuat nafasnya semakin sesak karena panik. Riska merasa tubuhnya sedikit terguncang saat dia berlari entah ke arah mana. Hingga kemudian dia mendengar sayup-sayup suara memanggil namanya. Maka Riska semakin kencang berlari mendekat ke arah asalnya suara, meskipun dia belum melihat sosok siapapun di sana. “Ris… Riska…” Suara itu terdengar jelas dan tidak asing di telinganya. “Riska… Riska... Bangun…” Riksa semakin kencang menggoyangkan lengan sang istri agar wanita itu bangun dari tidurnya. Sejak beberapa saat lalu, Riksa terbangun dari tidurnya karena merasa terganggu dengan kasur yang bergerak-gerak. Ternyata di sebelahnya ada Riska yang sepertinya sedang mimpi buruk. Saat baru membuka mata, Riksa sempat tertegun melihat sesosok wanita yang ada di sampingnya itu. Kesadarannya belum terkumpul sepenuhnya, hingga dia agak terkejut melihat seorang wanita dengan piyama tidur berwarna pink itu ada di sampingnya. Saat memperhatikan dengan lebih seksama pada wajah Riska, lelaki itu baru sadar bahwa wanita yang ada di sampingnya itu adalah istrinya sendiri. “Riska, bangun.” ujar Riksa masih berusaha membangunkan Riska dengan menggoyangkan lengan wanita itu. Akhirnya, Riska berhasil membuka kedua matanya meskipun dengan susah payah. Sama seperti Riksa yang kebingungan saat bangun tadi, Riska juga seperti itu. Mendapati Riksa di sampingnya, berada di atas tempat tidur yang sama dengannya membuat kepalanya berdenyut nyeri, terlebih dia bangun dengan kondisi yang kurang baik akibat mimpi buruknya tadi. Namun saat melihat sekeliling dan mengenali bahwa ini adalah kamar hotel, Riska sadar bahwa orang yang ada di sampingnya ini adalah suaminya. “Kenapa? Mimpi buruk?” tanya Riksa sambil merebahkan dirinya kembali. Riska menoleh ke arah nakas dimana ponselnya tergeletak di sana. Sambil mengambil ponselnya Riska mengangguk, “Iya, Bang. Aku mimpi buruk.” Setelah melihat jam yang tertera di layar ponselnya, Riska meletakkan kembali ponselnya. Lalu bergerak mengambil sebotol air mineral dan meminumnya. “Makanya sebelum tidur jangan lupa berdoa.” sahut Riksa yang kini kembali memejamkan mata, karena waktu masih menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. “Iya, maaf kalau aku ganggu abang tidur.” jawab Riska yang tidak didengar oleh Riksa. Karena lelaki itu sudah kembali merebahkan diri dan menarik selimutnya. Kemudian tertidur dan terdengar lagi dengkuran halus dari bibirnya. Riska yang sudah terlanjur bangun, memilih untuk bangkit dari tempat tidur. Dia bergerak menuju ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya sekaligus berwudhu. Karena sudah terbangun, sekalian saja dia sholat malam, pikirnya. — Pukul setengah tujuh pagi, Riska sudah selesai mandi dan bersiap-siap untuk sarapan bersama keluarganya yang masih menginap di hotel ini juga. Sejak terbangun tadi dia tidak bisa tidur lagi. Sedangkan Riksa masih tertidur pulas hingga Riska membangunkannya untuk sholat subuh. Selepas selesai sholat subuh, Riksa kembali bergelung di bawah selimut yang hangat. Mungkin dia kelelahan akibat acara semalam, pikir Riska. Saat ini suaminya itu masih berada di kamar mandi. Sembari menunggu Riksa selesai mandi, Riska memilih untuk duduk di balkon kamar yang menghadap tepat ke arah kolam renang di bawah sana. Sambil menikmati udara pagi, Riska membuka ponselnya untuk membalas beberapa pesan yang masuk. Sebagian besar mengucapkan selamat atas pernikahannya. Riska sendiri mengambil cuti selama beberapa hari saja, mengingat tidak ada pembicaraan mengenai rencana bulan madu atau liburan ke suatu tempat dengan suaminya. “Ris, udah siap? Ayo, udah ditungguin semuanya.” Suara Riksa kadang memang masih membuat Riska terkejut saat mendengarnya. Entah perasaannya saja, atau memang karena nada suara Riksa saat itu agak tinggi. Namun Riska mencoba berpikir positif, mungkin tadi dia terlalu fokus pada ponselnya. “Iya, Bang. Riska udah siap kok.” jawab Riska sambil bergegas masuk dan menutup pintu yang menghubungkan antara balkon dengan kamar mereka. “Abang libur berapa hari?” Tanya Riska untuk memecah kesunyian di antara mereka. Sebab sejak keluar dari kamar dan memasuki lift, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Riksa. Tidak ada obrolan atau basa basi apapun. Jangan bayangkan mereka bergandengan mesra seperti pasangan pengantin baru lainnya. Riksa berjalan agak cepat, sehingga membuat Riska mempercepat langkah kakinya agar tidak tertinggal jauh di belakang sang suami. “Dua hari aja. Kemarin sama hari ini. Besok sudah masuk kerja.” Riska agak terkejut mendengar jawaban dari suaminya itu. Dua hari? Itu libur menikah atau izin sakit? Singkat sekali jika Riksa hanya mengambil waktu liburnya selama dua hari. Dan lagi Riksa tidak bekerja pada orang lain, melainkan menjalankan usahanya sendiri. Riksa menjalankan usaha rumah makan sejak awal dia lulus kuliah dulu. Merintis usahanya sendiri dari nol, dengan bantuan modal dari kedua orang tuanya tentu saja. Kini rumah makan milik Riksa memiliki dua cabang di kota ini. “Kok cuma sebentar?” tanya Riska polos. Suaminya itu tidak menjawab atau menanggapi pertanyaan Riska. Dia terlihat melambaikan tangannya ke arah sebuah meja dimana sudah berkumpul kedua orang tua Riska dan juga Riksa. “Pagi, Mah.. Pah… Mama, papa.” Riska menyapa semua orang yang ada di sana. “Duh, pengantin baru. Siang bener bangunnya. Mamah sudah hampir selesai makan nih.” Goda Layla, ibu mertuanya. Riska hanya tersenyum menanggapi godaan itu, “Maaf ya, jadi nungguin kita.” “Nggak masalah kok, Ris. Ayo sarapan dulu. Kalian nggak lapar emang?” kali ini giliran Bachtiar, ayah mertuanya yang berbicara. Merasa jengah dengan pembicaraan yang sebenarnya biasa saja, Riksa mengajak istrinya berkeliling untuk memilih menu sarapan yang disajikan. Riska memilih mengambil buah-buahan terlebih dahulu pada sebuah piring kecil. Dia suka sekali memulai makan dengan buah-buahan. Jika orang lain terbiasa memakan buah saat selesai makan, maka Riska justru sebaliknya. Dia lebih suka menikmati buah-buahan sebelum menikmati makanan utamanya. “Bang, mau buah?” tawar Riska pada suaminya yang sedang menunggu omelet pesanannya dibuat. Riksa menggeleng. Mereka berdua lalu kembali ke meja tempat keluarganya berkumpul dengan membawa masing-masing dua buah piring di tangannya. Riska membawa sebuah piring berisi roti panggang dengan telur mata sapi dan sosis panggang, juga piring kecil berisi buah-buahan tadi. Sementara itu Riksa memilih menu sarapan berupa omelet dan nasi goreng. “Kalian ada rencana bulan madu kemana nih?” tanya Sylvia, ibu dari Riska. Riska menggeleng, “Belum ada rencana, Ma.” Layla mengerutkan keningnya heran, “Oh ya? Bener, Bang?” Riksa mengangguk santai, “Kerjaan aku masih banyak yang belum bisa ditinggal, Mah. Jadi ya sementara ini, belum ada rencana apa-apa.” jawab Riksa. “Kalo gitu, sambil nunggu rumah kamu siap huni, kalian berdua tinggal sama Mamah aja gimana?” Riska otomatis saling berpandangan dengan mamanya, Layla. Layla tersenyum lembut sambil mengangguk pelan tanda setuju. Riska ingat sebelum resmi menikah dengan Riksa, mamanya pernah berpesan padanya untuk selalu menuruti kehendak suami, karena saat menikah sang suamilah yang bertanggung jawab sepenuhnya padanya. “Aku terserah Riska aja, Mah. Kalau dia mau, aku nggak masalah.” jawab Riksa santai. “Gimana Riska?” Riska mengangguk, “Aku ngikut apa kata Abang aja, Mah.” “Nggak lama kok, rumahnya Abang tinggal finishing aja, sama beli furniture.” sahut Sylvia dengan riang karena kini dia akan memiliki teman di rumah. “Berapa lama lagi selesai rumahnya, Sa?” tanya Dhefan, ayah Riska. “Mungkin sekitar satu bulan, Pa.” “Pokoknya nanti Mamah temenin kamu belanja perlengkapan rumah. Sofa, meja, televisi, isi kamar, isi dapur, semuanya Mamah bantu pilihin.” “Kok jadi Mamah yang semangat banget?” cibir Riksa pada sang mama. “Iya dong. Nggak boleh emang?” sahut Sylvia, “Kapan kamu mau ajak Riska liat-liat rumah kalian? Besok?” Riksa menggeleng sambil mengunyah omeletnya, “Besok aku kerja, Mah.” Sylvia terlihat kesal, “Itu restoran nggak bakal hilang kamu tinggal sebentar. Astaga, heran Mamah sama kamu, Bang. Kamu itu baru menikah. Libur yang agak lama dong, pergi kemana gitu. Bikinin Mamah cucu.” Riska hampir saja tersedak makanannya saat mendengar omelan Sylvia pada sang anak. Wajah Riska memerah dan terasa panas. “Nggak apa, Mah. Abang masih sibuk jadi nggak bisa tinggalin kerjaannya. Lagipula, kita jadi ada waktu buat belanja seperti yang mamah bilang tadi kan?” jawab Riska pelan. “Kamu ambil cuti berapa hari, Sayang?” tanya Layla pada putrinya. “Empat hari, Ma. Lumayan, lepas dari kerjaan sejenak.” “Iya betul itu. Nanti Mama sama Mamah yang temenin kamu refreshing. Iya nggak, Lay?” tanya Sylvia yang dijawab dengan anggukan oleh Layla. Sylvia lalu melanjutkan, “Biarin aja Abang sibuk kerja. Nanti kita senang-senang habiskan uang Abang.” Kedua mata Sylvia mendelik ke arah Riksa yang tetap saja cuek melanjutkan makan. Sementara lelaki itu, tetap berwajah datar menikmati menu sarapannya. Seolah tidak peduli dengan apa yang dibicarakan oleh orang di sekitarnya. Mungkin saja, Riksa memang tidak peduli. Karena dalam pikirannya saat ini masih dikuasai oleh satu nama. Yang sebenarnya sudah harus dia lupakan sejak kemarin, saat dia mengambil tanggung jawab sebagai seorang suami bagi istrinya. —
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD