Ada kalimat yang pernah didengar oleh Riska yang saat ini terbayang-bayang begitu saja di benaknya. Kalimat yang pernah diucapkan oleh mendiang neneknya dulu. Pesan dari beliau kala sedang duduk bersantai di teras rumah bersama cucunya.
“Cu, nanti kamu kalau sudah menikah harus ikut suami kamu, dimana pun dia berada. Sebagai seorang istri, kamu harus melayani suami dan menjaga rumah tangga kamu sebaik mungkin.” Pesan beliau sembari membelai rambut Riska yang saat itu berbaring di pangkuannya.
“Kalau misal nanti aku dapat jodoh bukan orang sini, gimana Nik?” Ninik adalah panggilan Riska untuk sang nenek.
“Ya tetap kamu harus ikut suami kamu. Karena setelah menikah, kamu adalah tanggung jawab suami kamu, bukan lagi tanggung jawab Mama sama Papa.”
Riska menerawang jauh seraya memikirkan orang-orang di sekitarnya. Salah satu tetangga yang merupakan teman masa kecilnya dulu sudah menikah. Dan saat ini dia tinggal terpisah dari suaminya karena dia bekerja di Jakarta dan sang suami tugas di Kalimantan.
“Tapi, Nik… April teman Riska itu, dia masih tinggal di sini.”
Sang Ninik tersenyum kecil, “Nanti kamu pasti paham, kenapa istri harus ikut suami. Karena kalau suami dan istri tinggalnya berjauhan, resikonya besar bagi pasangan yang belum sanggup untuk menjalani itu.”
“Resiko?” Tanya Riska sembari bangun dari pangkuan Niniknya, menatap wajah teduh itu dengan pandangan bingung.
“Laki-laki dan perempuan itu menikah salah satunya untuk saling berbagi. Saling melengkapi. Kalau pulang kerja lagi capek, ada yang temani. Kalau lagi ada masalah, ada teman diskusi buat cari solusi.”
Riska mengangguk paham seraya tersenyum.
“Nah kalau pasangannya jauh, gimana mau saling berbagi. Kalau cuma lewat telepon, rasanya nggak akan cukup. Kadang kalau lagi ada masalah, kita perlu keberadaan pasangan kita yang pasti bisa menenangkan kita.”
Sang Ninik lalu melanjutkan, “Nanti, kalau kamu mau pindah, keluar dari rumah ini ingat pesan Ninik ya. Setelah kamu pamitan sama Mama dan Papa, lalu melangkahkan kaki keluar dari rumah, jangan lagi kamu menoleh ke belakang. Kamu harus mantap, niatkan dalam hati bahwa kamu akan mengabdi pada suami kamu.”
“Kenapa nggak boleh noleh, Nik?” Tanya Riska bingung.
Ninik hanya tersenyum sebagai jawaban dari pertanyaan Riska.
---
Riska tersentak dari lamunannya saat pintu kamarnya terbuka. Suaminya datang mendekat untuk membantu Riska membawa dua buah koper besar berisi pakaiannya. Hari ini dia akan pindah ke rumah mertuanya, sembari menunggu rumah mereka siap huni.
“Sudah, ini aja koper kamu? Tanya Riksa.
Riska mengangguk, “Iya, Bang. Sudah.”
“Ayok.” Ajak Riksa sembari menenteng kedua koper Riska di tangan kanan dan kirinya. Riska mengangguk, lalu berdiri dan sejenak memandangi kamarnya. Padahal sewaktu-waktu Riska masih bisa berkunjung kemari, tapi rasanya dadanya sesak seakan dia akan meninggalkan kamar ini, juga rumah ini untuk terakhir kalinya.
Sepasang suami istri itu kemudian berpamitan. Riska memeluk erat kedua orang tuanya. Tidak bisa dipungkiri, ada rasa sedih yang menyusup ke dalam relung hatinya. Namun sang mama berpesan bahwa mereka tidak boleh bersedih. Harus bahagia untuk menjalani hari-hari sebagai keluarga kecil mereka berdua mulai saat ini. Maka saat mobil yang dikendarai Riksa bergerak perlahan, menjauh dari area perumahan yang didiami oleh keluarga Riska, isak tangis tak bisa lagi ditahan olehnya. Sekuat tenaga Riska berusaha menahan keinginannya untuk berpaling ke belakang, memandangi rumah masa kecilnya, namun dia ingat pesan sang Ninik. Kini dia paham maksudnya. Rasa sedih itu seolah tak terbendung. Jika Riska tetap berpaling dan memandangi kedua orang tuanya, berdiri di depan rumah sembari melambaikan tangan padanya, bukan tidak mungkin Riska akan membuka pintu mobil untuk turun lalu membatalkan niatnya untuk pindah ke rumah sang mertua.
Tangan Riska bergerak mengambil selembar tisu untuk menghapus air mata. Isak kecil masih keluar dari bibirnya.
“Kenapa menangis? Kalau kamu terpaksa ikut pindah ke rumah orang tua Abang, kenapa nggak menolak dari awal sih? Kan kita bisa bicarakan lagi.” Suara Riksa saat itu pelan namun dapat didengar dengan sempurna oleh istrinya.
Riska seketika menoleh, lalu menggeleng tanda tidak setuju dengan apa yang baru saja diucapkan oleh suaminya.
“Enggak, Bang. Bukan gitu. Aku nggak terpaksa kok ikut abang pindah.” Seru Riska sambil lagi-lagi mengusap pipinya dari sisa-sisa air mata. Dia tidak ingin sang suami salah paham dengan tangisannya.
“Tapi kamu nangis. Itu artinya kamu sedih kan?”
Riska mengangguk, “Iya, aku memang sedih. Tapi bukan berarti aku terpaksa. Cuma… sedih aja, ninggalin rumah yang sudah aku tempati sejak kecil.”
“Kan kamu bisa berkunjung kapan aja kamu mau. Deket ini kok. Kita masih tinggal di kota yang sama dengan orang tua kamu.” Sahut Riksa.
Riska menghela napasnya dengan perlahan. Pelan sekali, demi menyembunyikan sedikit rasa kecewa yang hinggap di hatinya karena sang suami belum paham bagaimana sedihnya dia harus berpisah dari orang tuanya.
“Iya, maafin aku ya, Bang.” Jawab Riska sekenanya. Tidak ingin memperpanjang pembicaraan tentang rasa sedih dan terpaksa ini lagi.
—
Pagi itu suasana di kantor Riska mendadak riuh tepat saat Riska baru saja membuka pintu dan berjalan ke arah meja kerjanya. Ya, cutinya telah berakhir. Dia menghabiskan waktu cutinya lebih banyak dengan sang mertua dan juga mamanya. Pergi ke pusat perbelanjaan, dan memilih-milih perabotan untuk rumah barunya nanti. Sang mertua tidak tanggung-tanggung, dari yang semula hanya berencana untuk menemani saja, justru beliau lah yang paling banyak memilih perabotan dan juga peralatan elektronik. Tanpa ragu, sang mertua menggesek kartu debitnya untuk membayar barang-barang yang dia pilih untuk Riska. Meskipun Riska berkali-kali menolak karena merasa sungkan, namun sang mertua beralasan bahwa itu adalah kado pernikahan darinya. Maka Riska tak bisa lagi menolak.
Riska yang pagi itu mengenakan kemeja berwarna soft pink dan celana coklat, pada awalnya menyapa rekannya seperti biasa. Namun saat dia duduk di kursinya, barulah dia paham mengapa suasana kantor terdengar lebih ramai pagi ini. Sebuah buket bunga tergeletak di meja kerjanya. Riska lalu membuka kartu ucapan yang tertera di sana.
Happy Wedding,
Riska & Suami
(Dean & Team)
Dean adalah atasan Riska, pemilik wedding organizer tempatnya bekerja. Seingat Riska, memang bosnya itu tidak hadir di resepsi pernikahannya beberapa hari yang lalu. Mungkin itulah alasan beliau memberikan buket bunga ini sebagai ucapan selamat untuknya.
“Gimana rasanya jadi pengantin baru?”
Riska tersenyum memasang wajah sumringah, “Seneng dong. Emang ada, pengantin yang nggak seneng?”
“Ada. Pengantin yang dijodohkan paksa.”
“Kamu kebanyakan nonton sinetron sama baca novel.” Sahut Riska pada salah satu rekan kerjanya yang memang suka sekali menonton tayangan sinetron.
“Dih, sendirinya juga hobi baca novel kan? Aku sering kok liat kamu baca di ponsel kalo pas lagi istirahat.” Cibir temannya.
“Kok udah masuk kerja sih? Nggak ambil cuti dua minggu sekalian?” Tanya temannya yang lain.
Riska hanya mengangkat kedua bahunya, “Kerja… Kerja… Kerja…”
“Ih nggak asik banget, diajakin ngobrol malah mau kerja. Mumpung bos lagi pergi nih.”
Riska mendongak tertarik mendengar kabar itu. Tentu saja, dimana-mana para karyawan akan sangat senang jika atasan mereka tidak masuk. Mereka bisa bersantai tanpa harus takut mendapat teguran.
“Emangnya Pak De kemana?” Tanya Riska penasaran.
Pak De adalah panggilan rahasia di antara mereka pada Dean. Mereka menyingkatnya menjadi Pak De. Terdengar seperti panggilan untuk bapak-bapak yang sudah berumur. Padahal sebenarnya Dean masih muda. Dia masih berusia 30 tahun saat ini.
“Tadi bilangnya mau cek venue.”
Riska mengerutkan keningnya bingung. Tidak biasanya atasannya itu turun tangan langsung untuk pergi ke lokasi.
“Tumben?”
“Ya iya lah dia turun tangan. Soalnya kali ini yang dia handle, weddingnya sendiri. Jadi dia langsung turun lapangan. Gak mau ditemenin tadi, berdua aja sama calon istrinya katanya.”
Riska terkejut mendengar kabar itu, “Wah… Baru cuti sebentar aku udah ketinggalan berita.”
“Kamu pikir aja, kenapa dia nggak mau ditemenin ke venue?”
Riska menggeleng, “Kenapa emangnya?”
“Selesai cek venue, mau langsung ngamar kali.” Celetuk salah seorang di antara mereka.
Tentu saja hal itu langsung mengundang reaksi heboh.
“Bener juga sih.”
“Hush, jangan negatif thinking gitu. Pak De itu baik orangnya, sopan pula. Nggak mungkin lah kayak gitu.”
“Ya mana kita tahu kan? Namanya juga orang dewasa.”
Memang sebagian besar lokasi wedding yang biasa mereka tangani adalah di hotel. Sehingga ada karyawan yang berpikir ke arah sana. Padahal tidak mesti di hotel, karena tidak jarang juga mereka menggelar acara di rumah atau di lokasi outdoor lainnya.
“Aduh, pada ngeghibah ini sih. Nggak baik. Jatuhnya fitnah nanti. Kerja aja deh.” Ucap Riska menghentikan berbagai spekulasi dari rekan-rekannya.
—