Episode 02.

1384 Words
Elena Austin          Nama wanita itu. Elena adalah anak satu-satunya dari keluarga Austin. Dulu keluarganya adalah keluarga kaya yang memiliki apapun. Hingga pada suatu hari keluarganya mengalami krisis dimana sang ibu menderita penyakit keras dan Perusahaan ayahnya yang mengalami kolep. Sang ayah terlilit hutang yang sangat besar hingga membuatnya memutuskan untuk meminta bantuan William untuk meminjamkan uang, juga membantu Perusahaannya yang tengah mengalami pailit. Namun Perusahaan sang ayah malah diambil alih oleh William.          Sang ibu meninggal dalam penyakit parahnya, membuat keduanya harus hidup dalam kesusahan, hingga sang ayah harus meminjam kembali uang pada madam Lice dan membuat Elena diambil paksa untuk dipekerjakan madam Lice di Klub malam miliknya, karena tidak bisa melunasi hutang.   ~Flashback On.~          William memasuki Klub malam madam Lice dengan 3 (tiga) orang pengawalnya yang berpakaian serba hitam.        "Hello Mr. William Alvaro . Saya sudah menyiapkan wanita terbaik untuk anda" ucapnya dengan senyum mengembang di wajahnya, pipinya bergelambir bahkan menutupi batang lehernya. Madam Lice adalah wanita gemuk  dengan  tubuh  gempal  yang  tak  terlalu  tinggi. William tersenyum dengan smirk di sudut bibirnya.                    "Berikan aku yang terbaik. Jangan buat aku kecewa" Ia mendudukkan dirinya di salah satu sofa yang berada di ruangan tersendiri. Ruangan yang biasanya di tempati oleh tamu-tamu berstandar VVIP. Seperti William tentunya.        Ia kerap kali datang kemari untuk bersenang-senang bersama wanita. Namun William tidak akan memilih mereka dengan sembarangan. Dia memiliki standar untuk itu. Hanya wanita yang menarik minat nya yang akan dia tiduri.        "Jangan!, Kumohon Madam Lice ku mohon lepaskan aku" rintihan seorang wanita yang terdengar di telinga William.        "Jangan berisik. Kau harus membayar hutang Ayahmu itu. Kau harus jadi jalang dan menemani pria itu dengan baik"        "Hiks...Madam Lice kumohon. Jangan.."   PLAK// Suara tamparan yang cukup keras mengenai pipinya.             "Jangan membantah. Kalau kau berniat kabur dari sini. Maka aku akan membunuhmu dan juga Ayahmu itu"             Ancamnya membuat Elena terdiam dengan wajah tertunduk. Madam Lice menarik paksa lengan Elena kasar, menyeretnya ke hadapan William, diikuti oleh 3 (tiga) orang wanita yang kini berdiri di samping kiri Elena dengan senyum di wajah mereka menatap William dengan penuh harap.        William memandang 4 (empat) orang wanita itu secara bergantian, mereka berpakaian cukup minim dan seksi di hadapannya. Seperti sedang melakukan penilaian hingga pandangannya terhenti pada salah seorang wanita yang dipegangi Madam Lice. Ia merasa nampak tak asing dengan wajahnya.        Madam Lice merapikan rambut Elena yang sedikit berantakan, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya membuat William dapat dengan jelas melihat wajah wanita itu.        William ingat siapa wanita ini. Elena Austin putri satu-satunya tuan Austin Thomson yang Perusahaannya baru saja ia ambil alih.        "Aku mau dia" ucap William menunjuk wanita yang berdiri dekat Madam Lice dengan dagunya, membuat wajah Madam Lice berbinar menatapnya.        "Pilihan bagus Mr. Wanita ini sangat eksklusif. Dia cukup mahal karena wanita ini masih perawan. Wanita ini..."        "Aku menginginkannya" potong William menatap intens wanita itu. Elena cukup menarik besar perhatiannya.        "Baiklah.. anda bisa membawanya. Aku akan menjemputnya besok"        "Kau tidak perlu menjemputnya. Aku ingin membelinya" Elena beralih menatap William dari balik bulu matanya. Mendapati tatapan tajam William yang begitu menusuk menatap tepat di kedua manik matanya. Madam Lice terkejut. Ia beralih memandang Elena dan William secara bergantian .        "Aku akan membayar 5x (lima kali) lipat dari tarifnya"William meminta cek pada salah seorang pengawal yang berdiri di sampingnya. Ia menuliskan sebuah nominal yang cukup menggiurkan. Namun madam Lice masih berpikir ulang untuk itu. Ia sadar William begitu menginginkan dan sangat ingin memilikinya.        Kalau William membelinya dan menginginkannya ia akan terus datang dan memberikan uang yang banyak, tapi kalau William memilikinya? William mungkin akan jarang untuk datang dan otomatis membuat penghasilannya berkurang.        "Maafkan saya Mr. Saya tidak bisa menjual nya. dia....dia"        "Kau tahu siapa aku bukan.. Madam Lice?! Aku tidak akan segan-segan menutup Klub ini jika aku tak mendapatkan apa yang aku inginkan" sambar William berucap seolah tahu kemana arah jalan pikiran madam Lice, dan tentunya dia tidak suka jika apa yang menjadi keinginannya di tolak.        "Kau masih mau membuka usaha ini bukan?"        "Atau kau mau pensiun dari usaha ini? Tentunya akan begitu mudah untuk mengakhiri semua ini bukan?!" kedua mata Madam Lice mengerjap, Ancaman William sukses membuat Madam Oh bergidik ngeri karenanya.        Madam Lice menelan Saliva nya yang terasa begitu sulit. Ia menatap horror pada pria di hadapannya yang kini sedang tersenyum bagai seorang iblis, terlihat begitu mengerikan. Kekuasaan memanglah begitu menakutkan. Kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan dengan mudah.          "Ba..ba.baiklah anda bisa memilikinya"   ~Flashback off~   ***        Kedua matanya terbuka. Ia selalu berharap kalau semua ini adalah mimpi. Mimpi buruk yang akan segera sirna dari hidupnya. Helaan nafas panjang yang terdengar begitu frustasi. Elena tak tahu, akan jadi apa hidupnya mulai hari ini. tapi yang ia tahu, bagwa semuanya tidak akan begitu mudah. Elena bangkit menjadi terduduk. "Akhhh..."rintihnya saat merasakan rasa nyeri pada bagian privatenya.        Ia melihat bagaimana dirinya. Tubuh polos yang hanya berbalut selimut putih. Sebuah ingatan akan adegan panas tadi malam yang terjadi di antaranya dengan William membuatnya merasa jijik dengan dirinya sendiri. Elena merasa tubuhnya begitu kotor.        Air mata mengalir di pipinya. Matanya basah karena mulai menangis. Ia merasa begitu jijik dengan dirinya sendiri. Ia benci dengan William.        Ia merasa pria itu adalah penyebab dari kehancuran hidupnya. Kalau saja William tak mengambil alih Perusahaan ayahnya, ibunya pasti tidak akan meninggal dan sang ayah tidak akan terlilit hutang dengan Madam Lice. Dan benar saja, di sini dia sekarang. berada di sebuah ruang yang di sebut kamar. terkurung bagai putri di negeri dongeng yang butuh seseorang di luar sana yang baik hati untuk bisa menolongnya dari jeratan monster jahat.     Desiran angin membuat hordeng putih di dalam kamarnya berayun dengan damai. Elena hanya bisa memperhatikan hal itu. jendela yang terbuka namun terhalang oleh tralis besi membuatnya tak bisa berbuat apa-apa untuk merencanakan pelarian dari sana.     ketenangannya harus terusik ketika pintu kamarnya tergerak untuk di buka. seseorang berdiri di balik sana. bergumam tidak jelas, hanya saja bayangan di bawah pintu membuatnya nampak jelas ada seseorang di sana. Elena mengabaikannya, dan kembali menatap ke arah jendela.        CEKLEK//          Elena menoleh pada pintu kamarnya, mendapati William sedang berdiri di ambang pintu dengan kaus putih berlapis jaket levis berwarna abu-abu tua dan celana jins hitam dengan sepatu sport hitam. Ia menatap Elena dengan smirk di sudut bibirnya, membuat perasaan Elena di rundung rasa takut yang luar biasa.        Elena memundurkan tubuhnya hingga bersandar pada headboard ranjang tempat tidur. Ia menarik selimut menjadi semakin naik agar menutupi tubuh polosnya.        William tersenyum dengan smirk bak seekor harimau ketika melihat mangsa di hadapannya, seakan-akan ingin menerkamnya dan menelan dirinya hidup-hidup.        Langkahnya tegap, ia melangkah masuk ke dalam kamar Elena dan menutup pintunya dengan dobrakan hingga menimbulkan suara yang begitu kencang, bahkan hal itu membuat Elena terpanjat karenanya.        "Kau masih belum siap! Kau ingin melanjutkan aktifitas panas kita yang tadi malam atau bagaimana-eh?"        Elena bersumpah ingin sekali ia mencakar wajah bak iblis itu yang terlihat begitu menyebalkan di matanya. Elena mengalihkan pandangannya sebelum kembali melempar tatapan benci pada William.        "Sedang apa kau di sini? Keluar"        "Keluar dari sini sekarang juga" seru Elena memerintah.          William tertawa sinis menanggapi perkataan Elena. Ia berdiri di samping tempat tidur Elena dengan kedua tangan yang terlipat di depan d**a. Kedua matanya menatap Elena dari atas hingga ke bawah membuat Elena merasa begitu risih, Elena semakin mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya. Tatapan William sangat mengganggunya.        "Tidak ada yang bisa memerintah seorang William Alvaro" "Kau harus bersiap dan ikut denganku ke suatu tempat!" Kalimat memerintah itu seakan tak bisa di tolak.        "Cepat bangun dan segera bersihkan tubuhmu"        "Atau kau mau aku yang melakukannya dengan menyeretmu ke dalam toilet, dan mungkin kita bisa melanjutkan apa yang kita lakukan tadi malam" ucap William dengan senyum remeh di sudut bibirnya.        "Kau bisa pergi sendiri. Aku tidak mau ikut denganmu"          "Lagi-lagi kau membantah perintahku nona" William nampak geram. Ia mulai bergerak naik ke atas tempat tidur. Mengangkat Elena beserta selimut yang membungkus tubuhnya menuju toilet yang berada di dalam kamar.          "jangan!” ronta Elena yang berada di gendongan William.        William menaruh Elena dengan sedikit keras di dalam bathtub. Ia menyalakan keran air hingga membuat Elena menjerit terkejut saat air dingin itu mengguyur tubuhnya.        "Bersihkan tubuhmu cepat. Aku tidak suka menunggu"          "Kalau dalam 15 menit kau belum keluar dari sini. Aku akan menyusulmu kemari dan kita akan berakhir di atas tempat tidur sepanjang hari" William keluar dari dalam toilet dengan dobrakan pada pintu toilet. Elena langsung bergegas membersihkan tubuhnya. Ancaman William cukup membuatnya bergidik ngeri.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD