Episode 04.

2021 Words
BRRMM//        Mobil itu terhenti di sebuah rumah megah yang baru saja ia tinggali dan kini ia kembali masuk ke dalamnya. Elena di rundung rasa takut yang berlebihan. Apalagi membayangkan bahwa ia akan menghadapi kemarahan William yang di luar dari kata manusiawi. Elena tak bisa membayangkan apa yang akan pria itu lakukan padanya.        "Lepaskan aku" pinta Elena meronta dalam tahanan 2 (dua) orang pria bersetelan jas hitam, mereka menahan kedua tangannya dari masing-masing sisi tubuhnya.        Menahan tangannya agar tidak bisa kabur. Mereka menyeret Elena dengan paksa ke dalam rumah William dan berhenti tepat di hadapan William yang tengah duduk di kursi seraya menatapnya dengan buas.        Elena mendapati William di sana. Menatapnya bak vampire yang haus akan darah. Elena membatu saat William bangkit dari kursi nyamannya. Pria itu menghampirinya dengan langkah tegap. Sorot matanya penuh kebencian dan amarah yang membara. William bagaikan sebuah bom yang siap meledak dan menghancurkannya dalam sekejap. Elena tahu dia dalam bahaya saat ini.        Melihat bagaimana ekspresi William yang menggelap bak memiliki aura gelap membuatnya menjadi was-was. William menghentikan langkahnya saat berada di hadapan Elena. Ia terdiam dan menatap wanita itu dengan tatapan membunuh miliknya.        "Kesalahan terbesar untukmu karena sudah membuat ku marah. Kau mencoba kabur dari sini. Kau punya nyali yang cukup besar nona"        "Aku tidak takut padamu!” Bodoh!! Elena seakan menantang balik William dengan nada angkuhnya. Walau sebenarnya tubuhnya bergetar bahkan dalam hati ia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa diam dan malah berbuat gila. William mengeram marah. Kedua tangannya terkepal erat. Mantap Elena dengan emosi yang membuncah.   PLAKK//        Sebuah tamparan yang sukses membuat Elena membatu saking syoknya. Rahang Elena membentuk garis keras, kedua tangannya terkepal erat menahan emosi.        Sebuah tamparan keras, tepat mengenai pipi sebelah kanannya. Arah pandang Elena terlempar ke arah kiri. Hingga menyebabkan sebuah darah segar menetes dari sudut bibirnya. Ini menyakitkan. William benar-benar tak segan untuk memukul siapapun yang membuatnya marah. Sebuah tetes air mata meluncur dari sudut matanya. Elena berbalik memandang William dengan tatapan nanar.        Ia takut. William nampak begitu menakutkan saat ini. Pria itu memang seperti iblis yang menakutkan dengan aura hitam yang berada di sekeliling tubuhnya. Semua orang yang melihatnya cukup syok. Mereka semua terdiam dengan wajah tertunduk. Mereka tahu bagaimana sifat William yang memang menakutkan seperti saat ini.        “Kurung dia di kamarnya, lalu kunci pintunya, Kemudian berikan kuncinya padaku!”   ***   Ceklek//        Elena buru-buru menyeka air matanya. Wajahnya menoleh ke arah pintu yang terbuka. Di sana Mrs. Eve berdiri dengan senyum di wajahnya membawakan sebuah kotak obat dan mangkuk berisi air dan serbet.        "boleh saya masuk nona?" tanya nya dengan suara lembut. Elena bangkit menjadi terduduk. Ia mengangguk sebagai jawaban dan membuat Mrs. Eve melangkah masuk mendekatinya.        "lebam di pipi anda harus diobati” serunya yang kini mengambil tempat di sisi ranjang menghadap ke arah Elena.        Kedua tangannya meraih serbet dan memasukannya ke dalam air. Dengan telaten tangannya mulai mengompres pipi Elena yang lebam akibat tamparan keras yang William lakukan tadi.        "akh" rintih Elena saat serbet itu menempel di pipinya.        "maafkan saya" ucapnya tak enak.        "tidak apa" Mrs. Eve terus melakukannya. Bagaikan seorang ibu yang begitu telaten mengurus seorang anak.        "seharusnya nona tidak membuatnya marah" gumam Mrs.Eve sambil mengompres pipi Elena.        "dia terlihat begitu kaku dan pemarah. Emosinya memang meluap-luap. Tidak sabaran, sedikit arogan dan angkuh, tapi di dalam hatinya sebenarnya ia adalah pria yang sangat lembut. Pria itu sangat lembut kalau anda memperhatikannya baik-baik"        "bagiku dia adalah pria yang kasar, pemarah dan tak punya hati" ucap Elena membuat Mrs.  Eve terkekeh kecil.        "itu berarti nona belum mengenalnya dengan baik"        "kalau nona sudah mengenalnya dengan baik. Nona akan merubah pemikiran nona tentang nya"        "kenapa bibi menilainya seperti itu?" tanya Elena seolah tak terima dengan pujian tentang William yang dilontarkan Mrs.Eve.        "Saya sudah mengenalnya sejak dia berada di dalam kandungan ibunya"        "Saya sudah tinggal bersamanya selama itu, dan saya sudah mengenalnya dengan baik"        "Mr.Willy adalah anak satu-satunya dari keluarga kaya yang bisa mengabulkan setiap keinginannya dalam sekejab. Itulah kenapa Mr.Willy menjadi sedikit angkuh dan pemarah, jika apa yang tuan inginkan tidak ia dapat"        "tapi dari semua itu, nona tahulah sendiri penyakit orang kaya" Elena melirik ke arah Mrs.Eve dengan minat, yang kini sedang mengoleskan krim pada lebam di wajahnya. "kesepian"        Elena terhenyak mendengarnya.        "kesepian?"gumamnya.        "iya. Kedua orang tuanya adalah pekerja keras. Di dalam pemikiran mereka hanyalah bekerja mendapatkan uang memiliki bisnis yang besar, kalau banyak uang maka kau akan bahagia"        "sepertinya itu turun menurun dan kini tuan memiliki sifat yang sama. Penggila kerja" Elena dulu memang cukup berada namun ia tak pernah merasa kekurangan kasih sayang dari keluarganya. Ia sendiri tak mengerti dengan orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya dan mengabaikan keluarga mereka. Kenapa mereka harus menikah dan memiliki sebuah keluarga jika pada akhirnya mereka hanya akan menyakitinya.        "aku tidak mau menikah dengannya. Aku tidak mau menjadi istrinya. Kenapa dia tidak bisa membiarkan aku pergi dari sini?"        Mrs. Eve menghentikan kedua tangannya saat sedang membereskan obat-obatan yang sempat di keluarkannya karena mencari obat krim. Kini ia beralih memandang Elena dan tersenyum kecil sebelum kembali membereskan obatnya.        "Nona bisa tanyakan langsung hal itu padanya"        "sudah selesai. Saya akan mengambil makan malam untuk nona" ucapnya pamit dan menghilang di balik pintu kamarnya.     ***          Tak lama Mrs.Eve kembali datang dengan senampan makan malam untuk Elena. Tanpa ragu Elena langsung melahapnya, ia benar-benar lapar sejak kemarin malam, ia belum memasukan apapun ke dalam perutnya. Setelah selesai Mrs.Eve langsung membawa piring kotor tersebut ke dapur.        Elena bangkit berdiri dan beralih melihat ke arah luar jendela. Terdapat cukup banyak pengawal berkeliaran di sekitar Rumah. Seakan menilai situasi atau bisa dibilang membaca keadaan. Elena seakan mencari tahu tentang tempat sepi di mana tempat itu lenggang dari para penjaga dan membuatnya bisa kabur dari sana. Matanya terus memincing ke seisi area rumah William, bagaikan seekor elang yang sedang meneliti mangsanya.        "Kalau kau sedang mencari sudut rumahku yang lenggang dari penjagaan agar kau bisa kabur dari sini, maka lupakan saja. Setiap sudut rumahku di lengkapi dengan cctv kecuali kamar, toilet dan ruang pribadiku."        Elena tersentak kaget saat mendengar suara William yang terdengar begitu dekat dengannya.        Elena membalikan tubuhnya dan mendapati pria itu sudah berdiri di belakangnya seraya menatapnya.        "di atas tembokku ada sebuah kabel tipis bahkan begitu tipis, hampir kasat mata hingga kau tidak akan bisa melihatnya karena begitu samar. Jika kau menginjaknya maka kau akan mati karena tegangan listrik yang begitu besar"        "Apa ini penjara? setiap orang yang kau sekap sebagai tahananmu jika mereka kabur, maka mereka akan mati"        "ini sangat keterlaluan"        "kau benar-benar biadab" ucap Elena marah seraya menatap William benci.        William terkekeh mendengarnya walau sorot matanya sangatlah tajam menatap Elena .        "terima kasih atas pujiannya" ucapnya membuat Elena mencibir.        "setiap orang yang ku sekap memang tidak akan pernah bisa kabur jika bukan aku yang memperbolehkannya atau karena......”   “mati"lanjut William.        Elena menelan salivanya kuat, kerongkongannya tercekat mendengar setiap perkataan William yang terdengar tak main-main dan penuh akan ancaman.        "lagi pula untuk apa kau kabur dari pelukan suamimu? Kau seharusnya bersyukur karena bisa tinggal bersamaku? Menikah denganku dengan menjadi istriku"        "bersyukur    katamu?            Hidup    dengan  ibls sepertimu"        "kau pasti sudah gila!!"        "aku tidak akan pernah mau menjadi istrimu!.. dan kau tidak akan pernah menjadi suamiku!"        William kembali menunjukan senyum sinis yang terlukis di sudut bibirnya. "tidak akan pernah?"        "b******a lebih dari satu kali bagaimana bisa kau bilang aku bukan suamimu" Elena tersentak kaget saat mendengar kata v****r yang pria itu lontarkan.        William melangkah maju mendekati Elena, membuat tubuh wanita itu menegang karena takut. Sebelah tangan William terangkat. Menyentuh pipi kanan Elena yang terkena tamparannya tadi.        Elena mengalihkan wajahnya dari William, pasalnya wajah pria itu begitu dekat dengannya dan membuatnya merasa tak nyaman. William menatap lekat lebam itu lalu melirik Elena.        "Apa masih sakit?" tanyanya dengan suara yang begitu lembut. Elena menarik wajahnya, membuat William melepaskan tangannya dari wajah Elena.        "jangan menyentuhku"        "jangan menyentuhmu ya?" ulang William dengan melemparkan pandangannya dari atas hingga ke bawah tubuh Elena.        "padahal aku sudah berkali-kali menyentuh semuanya"        Wajah Elena memerah mendengar lontaran kata tersebut. William tersenyum melihat wajah Elena yang memerah. Elena berniat pergi dari hadapan William namun pria itu langsung menahan pergelangan tangannya dan mendorongnya ke sudut tembok.        "aku pernah memperingatkanmu dan kini ku ulangi. Jangan pernah membuatku marah, mencoba membantah perintahku dan mencoba kabur dari rumahku atau kau akan ku hukum" perkataan William bagaikan sebuah peringatan yang tak boleh di langgar.        Namun bukan Elena namanya jika ia akan menuruti perkataan pria yang sangat di bencinya itu. Elena tidak akan pernah menjadi perliharaan William yang penurut karena dia bukan peliharaannya atau boneka yang bisa dimainkan dengan sesuka hatinya. Elena milik dirinya sendiri dan hanya dia yang bisa mengatur hidupnya dan apa yang ingin dia lakukan. William tak berhak atas apapun tentangnya.        "lepaskan aku dan aku akan mengembalikan semua hutang Ayahku dan juga uang yang kau berikan pada Madam Lice!"            "pakai apa? kau punya uang? Tsk! Biayanya sangat besar bahkan tak akan cukup, bahkan jika kau menjual dirimu sekalipun"        Kedua tangan Elena terkepal erat di sisi tubuhnya. Kedua matanya menatap sosok pria itu dengan marah. Perkataannya sungguh terdengar sangat menyebalkan di telinganya. William baru saja merendahkannya dan Elena tak terima ia di rendahkan seperti itu.        "itu bukan urusanmu. Menjual diriku atau apapun itu asalkan terlepas dari iblis seperti mu, aku akan sangat bersyukur"        "kau...!! kau benar-benar!! aku tidak suka di bantah! Berhenti membuatku marah! Percobaan kaburmu tadi benar-benar menyulut emosiku aku bisa saja membunuhmu saat ini juga dengan kedua tanganku sendiri. Aku tidak main-main dengan perkataanku. Itu hanya tamparan dan aku bisa melakukan yang lebih dari itu"        "kalau begitu bunuh saja aku" Elena mengeram marah menatap William marah.        "tawaran bagus. Tapi sayangnya aku tidak suka b******a dengan mayat"        "kau harus ku hukum karena kesalahanmu sangat banyak saat ini"        "kau harus diajari untuk menjadi istri yang penurut"        "lepaskan aku" ronta Elena saat William mencengkram kedua tangannya dengan erat. Mengangkatnya dan menaruhnya di sisi wajahnya. Bibir William langsung meraup bibirnya dan melahapnya rakus.     ***             Niel Corp        Ethan tengah mendudukan dirinya di kursi meja kerjanya. Berkutat dengan segala macam berkas penting yang membutuhkan tanda tangan.               ~      "Kau baik-baik saja nona?" tanya nya lagi membuat kedua mata Elena mengerjap menatapnya. Elena mengangguk menjawab pertanyaan pria itu.        Pria itu tergerak membuka jasnya dan menyampirkannya pada tubuh wanita itu. Wanita yg baru di kenalnya namun sukses menarik perhatiannya.        "Uh"Elena terkejut atas perlakukan yang ia terima. Ia baru mengenal pria itu beberapa detik yang lalu belum sampai satu menit, dan dia diperlakukan seperti seseorang yang sudah di kenalnya cukup lama.        "Jangan takut. Aku bukan orang jahat. Namaku Ethan Gabrian. Siapa namamu? Dan kenapa kau berada di sini?"        Ethan mengulurkan tangannya pada Elena.Terlihat ragu. Elena menatap Ethan seolah sedang menilai pria itu. Namun ia tak melihat tingkah aneh yang pria itu tunjukan. Ia menyambut tangan Ethan membuat Ethan tersenyum tertahan.        "Elena Austin"   ~            Ethan mengangkat kedua tangannya di atas meja, menautkannya dan menempelkan bibirnya di sana. Kilasan ingatan tentang wanita itu kembali melintas di kepalanya.        "Park  Hyun Mi"gumamnya menyebut nama wanita itu. Wanita yang menarik perhatiannya.     ~      "Andwae"(jangan)   Ketiga orang itu menyeret paksa Elena ke dalam mobil.   Ethan melihatnya. Ia berlari untuk menghampiri untuk bermaksud menolong wanita itu namun terlambat.   ~        "kenapa mereka membawanya seperti itu? Apa mereka menculiknya?"pikirnya.   Tokk... Tokk..   Pintu ruangannya di ketuk membuat kedua mata Ethan beralih pada pintu ruang kerjanya.        "Masuk"   Seorang pria bersetelan jas hitam masuk ke dalam ruangannya. "eoh Jaehwan ada apa?"        Ethan menyingkirkan tangannya dan menatap Joethan dengan pandangan minat. Pria itu adalah sekertaris Perusahaannya. Cukup lama ia bekerja dengan Ethan dan Ethan sangat mempercayainya.        "Kau bilang mau minta jasa dari Alvaro corp untuk membangun cabang Perusahaan di Las vegas"          "Ya benar. Ku dengar dia cukup bagus. Bangunan yang dia buat cukup menarik perhatian banyak orang. Aku mau dia. Apa kau sudah mengatur pertemuan ku dengannya?"        "Sudah. Itulah sebabnya aku bertanya lagi padamu. ia cukup sibuk dan memiliki waktu yang sedikit. Besok dia mengajak kita bertemu di Perusahannya pukul 9 pagi"        "Apa anda bisa Mr Gabrian?"        Ethan nampak berpikir lalu ia mengangguk setuju.        "Sebenarnya aku mau keluar tapi karena ia cukup sulit untuk di temui, maka aku akan menemuinya"        "akan terlalu lama menunggu untuk mengatur waktu lagi agar dapat bertemu dengannya"        "baiklah. Aku akan mengkonfirmasi kehadiran anda besok di Kantornya. Kalau begitu saya permisi"        "baik" Joethan lalu melenggang pergi dari sana.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD