Dua

1408 Words
Pukul 4 sore adalah waktu dimana para pelayan yang bertugas memasak tengah sibuk-sibuknya. Tanpa terkecuali Naura, niatan awalnya hanyalah untuk mengambil minum malah berakhir dengan ikut-ikutan memasak karena salah satu pelayan baru melakukan kesalahan saat memasak. Setelah selesai membantu memasak, Naura memutuskan untuk kembali ke kamarnya untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosennya. Pekerjaannya cukup menumpuk mengingat ada begitu banyak pekerjaan yang harus ia jalani. Tapi Naura menikmatinya, pasalnya ia dapat membeli apapun dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri. Ia malas mengharapkan Naila, kakaknya itu hanya mau membeli uang hanya untuk hal yang perlu-perlu saja. “Naura?” Langkah kaki Naura terhenti saat suara bariton memanggil namanya. Ia meringis kemudian berbalik untuk melihat si pemanggil. Dan benar dugaannya. Ravel berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu pun mendekat dan menatap lurus pada Naura. “Ada apa ya kak?” tanya Naura begitu Ravel tengah berdiri dihadapannya. “besok ada waktu gak?” “Ada, besok pagi aku ada matkul” “kalo siang?” “kalo siang aku kerja” Naura terpaksa berdusta untuk jawaban yang satu ini. Seolah peka dengan maksud Ravel bertanya tentang waktunya. “serius?” tanya Ravel “Ng, iya” “gak bohong kan?” “em...” “fix, kamu bohong” Naura membulatkan mata ia jadi kalap sendiri setelah mendengar pernyataan Ravel yang ternyata benar. Gadis itu menggigit bibirnya, menunduk untuk menyembunyikan rasa malunya. “mau ngehindar lagi ya?” Ravel menaikkan sebelah alisnya. Naura mendongak, ia jadi gelapan untuk menjawab “nggak kok kak, Cuma emang bener kok besok aku ada kerjaan” Ravel memicingkan matanya “oh gitu, ya sudah” Naura terkekeh kemudian ia langsung berpamitan pada Ravel untuk kembali ke kamarnya “kak ke kamar dulu ya” secepatnya Naura membalikkan badan namun langkahnya terhenti ketika Ravel kembali memanggilnya. “sore nanti temani ke rumah sakit ya” pinta Ravel lalu lelaki itu berbalik berjalan menjauh karena tidak ingin mendengarkan bantahan apapun yang jelas akan dilontarkan oleh Naura. Naura melongo, tidak mungkin dia pergi sore ini, sebab dia sudah ada janji dengan teman-temannya untuk mengerjakan tugas. Ia pun mengejar Ravel yang kini sudah menghilang entah kemana. ●●● Sorenya Naura sudah bersiap-siap untuk pergi bersama Ravel. Beruntung temannya mengizinkannya untuk pergi membesuk bersama Ravel, dan sebagai gantinya ia harus menginap di rumah temannya itu. Ia pun meminta izin pada pemilik restoran tempat ia bekerja. Dan beruntungnya lagi  pemilik restoran mengizinkannya untuk tidak bekerja malam ini. Gadis itu mematut dirinya di depan cermin—memastikan kalau penampilannya sudah rapih. Ponselnya bergetar saat sebuah pesan masuk. Naura mengambil ponselnya dan mengecek siapa yang telah mengirim pesan padanya. Ravel, itulah yang ia lihat pada layar kaca ponselnya. ‘kakak sudah nunggu’ Naura menghela nafasnya, ia pun mengambil ranselnya dan segera keluar dari kamarnya. Begitu ia hendak menuju pintu, Ravel telah berdiri di sofa ruang tamu sambil bermain ponsel. Naura pun mendekatinya. “Kak?” Ravel perlahan mendongakkan kepala dan bertemu pandang dengan Naura. Dilihatnya gadis itu dengan tatapan tajam. Kemudia ia melihat ransel hitam yang berada dibelakang tubuh Naura. “kenapa bawa ransel?” tanyanya menelisik. “umm aku mau ngerjain tugas sekalian nginap di rumah temen” “teman kamu cewek?” Naura mengangguk. Iya lah cewek masa aku nginap di rumah cowok. Batin Naura. “jadi nanti kakak pulang sendiri?” ucap Ravel sedikit sinis. Naura mengernyit bingung “Aa aku mau ke rumah temanku langsung sehabis nemenin kakak dari rumah sakit. Ga papa kan?” Naura mencicit di akhir ucapannya. Namun Ravel langsung berdiri berjalan menuju pintu “ayo pergi” titahnya. Naura menghembuskan nafasnya. Pertanyaannya bahkan diacuhkan oleh Ravel. Dasar egois! Batin Naura lalu ia menyusul Ravel dengan kekesalan yang tertahan. ●●● Ravel mengajak Naura dengan menggunakan motor, katanya kalo pakai motor bisa nyalip macet. Ya sudah, Naura menurut saja. Dia tidak peduli dengan apa yang akan Ravel lakukan. Dan catat, Naura juga tidak masalah kalau Ravel mau mengantarnya ke rumah temannya atau tidak. Dia bisa memesan ojek online. Malah ia lebih bersyukur karena setidaknya dia tidak perlu berhadapan dengan lelaki aneh itu. Ravel berbelok ke arah salah satu toko buah. Naura pun turun dan melepaskan helmnya. Ia mengamati sekeliling toko yang terdapat beberapa motor pembeli yang terparkir disana. Ravel pun berjalan lebih dulu dan menghiraukan Naura. Naura yang baru menyadari Ravel meninggalkannya langsung meletakan helmnya di atas motor dan mengejar Ravel. Lihatlah, lelaki itu bahkan tiba-tiba acuh padanya. Naura menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Ravel ini. Ia hanya mengatakan kalau akan segera pergi ke rumah temannya. Ia bahkan tidak minta untuk diantar. Namun Naura memilih diam, ia mengekori Ravel yang kini sibuk memilih buah yang hendak ia berikan untuk orang yang akan ia besuk. Naura pun menghibur dirinya dengan melihat-lihat buah-buahan yang ada di depan matanya. Sesekali ia mengambil buah itu hanya untuk sekedar dilihat saja. Ravel yang sesekali melirik gerak-gerik Naura pada gadis itu. “kamu mau beli juga?” Naura menatapnya, lalu menggeleng “nggak” Ravel mengedikkan bahu, ia pun kembali pada kegiatannya memilih buah. Sementara Naura memilih untuk berjalan-jalan. Ia menjauh dari Ravel—memilih untuk keluar saja dari toko. Diluar ia hanya berdiri sambil memerhatikan kendaraan yang berlalu lalang di jalan dan menunduk sambil mengayunkan kakinya. Tak lama kemudian, Ravel keluar dan Naura segera mengikutinya menuju ke motor. Ravel memberikan helm pada Naura. Kemudian keduanya kembali dalam perjalanan meninggalkan pelataran toko—menuju rumah sakit untuk menjenguk seseorang yang bahkan Naura belum tau siapa yang akan ia kunjungi. ●●● Sesampainya di rumah sakit. Naura hanya diam mengikuti langkah Ravel sambil berjalan bersisian. Lelaki itu melirik Naura yang tengah membawa buah yang ia beli tadi. “ransel kamu berat gak?” tanya Ravel, Naura menoleh padanya sekilas lalu kembali melihat ke arah depan. “gak kok” dustanya, padahal ranselnya lumayan berat karena selain laptop dan makalah. Ia juga membawa baju karena menginap, dan besok ia langsung pergi ke kampus. Ravel tidak begitu percaya ucapan Naura, akhirnya ia mengangkat tas tersebut. Naura kembali terkejut dengan tindakan spontan dari Ravel. Merasa kalau ransel itu cukup berat. Ravel langsung melepaskan ransel itu dari pundak Naura lalu menyampirkannya pada pundaknya. Naura hanya bisa melongo karena tindakan yang dilakukan oleh Ravel. “pantas badan kamu pendek, bawaannya aja seberat batako” ejek Ravel hiperbola. Naura mengernyit “bawaan aku wajar kok untuk anak-anak yang masih pendidikan” jawabnya lalu mengalihkan pandangan dari Ravel. Kemudian, tidak ada lagi pembicaraan diantara keduanya. Sampai akhirnya mereka sampai di salah satu ruang rawat inap. Ravel mengetuk pintu kemudian ia memutar knop dan memberi salam pada seseorang di dalam sana. “Ravel?” terdengar panggilan lirih dari dalam ruangan. Naura penasaran dengan pemilik suara yang ia tebak adalah perempuan. Begitu masuk ke dalam Ruangan, Naura membulatkan mata saat melihat seorang yang rasanya sangat ia kenali terbaring lemah disana. Terlihat jelas dari wajahnya yang begitu pucat, tubuh yang begitu kurus seperti kekurangan gizi, dan juga kepala yang ditutupi kupluk rajut. Tunggu, bukannya ini tunangannya kak Ravel? “bagaimana keadaanmu?” tanya Ravel. Perempuan itu tersenyum “aku baik-baik saja. Oh, Naura juga ikut ya?” Naura tercenung pada perempuan itu yang bahkan tau namanya. Pasti kak Ravel yang cerita. Batin Naura. Naura tersenyum pada perempuan itu “Iya kak....” ia menggantungkan ucapannya sambil melirik pada Ravel berharap lelaki itu memberitaukan nama perempuan yang baru beberapa kali Naura jumpai ini. Ravel memang menatap pada Naura namun yang ada bukanlah jawaban melainkan tatapan tajam yang entah apa maksudnya itu. “Varla” bukan Ravel yang menjawab namun perempuan itulah, Varla. “oh iya, kak Varla” ucap Naura cengengesan. “eh ini, maaf ya aku cuma bisa kasih ini. Aku takut kalau beli macam-macam malah bakal buat kamu tambah sakit” Ravel meletakkan buah-buahan yang ia beli itu pada nakas yang berada di samping ranjang Varla. “Tante sama Om kemana?” tanya Ravel sambil duduk di sofa. Seketika wajah Varla berubah menjadi sendu “Papa sama Mama lagi ke luar kota” jawab Varla. Kentara bahwa ada kesedihan pada wajah pucatnya. “lah, jadi yang ngejagain kamu siapa?” Ravel memicingkan matanya. “ada Mbak Tika. Tapi sekarang dia lagi pulang, nanti ke sini kok” Naura yang belum terlalu paham dengan kondisi Varla, menebak kalau perempuan itu kesepian bahkan disaat ia sakit sekalipun. “Ya sudah, besok-besok kalau kamu kesepian kasih tau aku. Biar nanti aku suruh Naura yang jagain kamu” celetuk Ravel. Sedangkan Naura hanya dapat ternganga mendengar ucapan lelaki itu. ‘lah, kenapa jadi aku?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD