Satu

1201 Words
Naura melangkah gontai memasuki kediaman keluarga Dirgantara yang sudah hampir sembilan tahun ia tempati—bersama Naila. Beruntung selama tinggal bersama keluarga Dirgantara mereka memperlakukan keduanya dengan baik bahkan diperlakukan layaknya keluarga sendiri. Karena kebaikan yang diberikan oleh keluarga Dirgantara begitu banyak, membuat Naila bingung harus membalas kebaikan keduanya dengan apa? Akhirnya Naila pun memutuskan untuk menjadi pelayan di rumah tersebut bersama Naura. Ramona dan suaminya—Alvian menentang keputusan Naila. Namun Naila tetap bersikukuh karena baginya dengan cara inilah sebagai bentuk rasa terima kasihnya untuk membalas kebaikan keluarga itu. Beruntungnya ia bisa lulus kuliah dan kini bekerja di perusahaan milik sang orang tua angkat. Sementara Naura. Gadis itu baru memasuki semester tiga perkuliahannya. Dan tanpa sepengetahuan orang lain ia diam-diam bekerja di sebuah restoran alasannya pun klise hanya karena ingin dapat uang jajan. Maklum ia gengsi untuk meminta uang apalagi pada Ramona, meski wanita itu bersedia memberikan apapun yang ia mau, tapi tetap saja ia gengsi. "Eh Naura!" Naura menoleh perlahan dan mendapati bi Uci tengah berdiri di teras rumah. "iya kenapa bi?" Sahutnya lesu. Karena bekerja di restoran sehabis kuliah sungguh menguras tenaganya. "bibi minta tolong, boleh?" Naura memaksakan kedua sudut bibirnya tertarik "mau minta tolong apa bi?" dalam hati ia meringis. Sebenarnya ia ingin segera ke kamarnya karena hari ini tubuhnya serasa remuk. "tolong beresin kamarnya den Ravel ya. Soalnya hari ini aden pulang. Kamarnya belum dibersihin. Yang lain pada repot semua. Ga papakan Naura?" Naura masih menyunggingkan senyuman terbaiknya " Iya bi. Ya udah Naura mau langsung beresin aja ya bi" Bi Uci mengangguk lalu memberikan kunci pintu kamar Ravel dan kembali masuk ke dalam rumah untuk membereskan pekerjaannya. Naura menghembuskan nafasnya. Nasib nasib begini amat. Batinnya. Tanpa menunggu lama ia langsung mengambil peralatan kebersihan dan segera menuju kamar Ravel yang berada di lantai dua. Sesampainya di depan pintu ia mengambil kunci untuk membuka pintu dan setelah memastikan pintu tidak lagi terkunci ia pun membuka pintu dan langsung menjalankan tugasnya. Sementara itu, Ravel sedang berada di dalam mobil menuju rumahnya, ia tengah membaca chat dari salah satu teman SMA-nya yang hampir 6 tahun tidak dia jumpai. Temannya itu mengatakan bahwa ia akan datang di acara pertunangan Ravel yang akan dilaksanakan tiga hari lagi Omong-omong soal tunangan, Ravel memang akan bertunangan dengan salah satu anak dari teman karib papanya. Bukan karena bisnis, melainkan suka sama suka. Ravel memutuskan untuk bertunangan karena menurutnya umurnya sudah cukup untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Akan tetapi saat mendekati hari itu, entah kenapa ada keraguan yang melanda batinnya. Hatinya berdesir mengatakan bahwa ia harus menghentikan hal ini. Tapi ia tetap mengoptimiskan diri bahwa ia harus yakin dan tidak boleh meragu apalagi plin plan. Karena ada hati yang rapuh yang harus ia jaga. Ia menghembuskan nafasnya, tubuhnya begitu lelah karena semalam ia hanya tidur dua jam. Ternyata menjadi seorang pebisnis itu bukanlah hal mudah. Ravel terpaksa melakukan hal ini karena ialah satu-satunya yang menjadi penerus bisnis keluarganya. Begitu mobilnya telah sampai di halaman rumah. Ravel langsung memasuki rumah dan segera menuju ke kamarnya. Ia ingin segera istirahat sebelum kembali berkutat dengan pekerjaannya. Naura yang baru saja membuka pintu terkejut mendapati sang pemilik kamar berdiri tepat dihadapannya. “Eh? Kak Ravel?” Ravel tersenyum mendapati gadis yang ingin ia cubit pipinya itu kini berada di kamarnya. Ia melirik ke dalam kamarnya yang nampak masih rapih seperti saat ia meninggalkannya. “Bersih-bersih ya? Kamar aku udah rapi kenapa masih harus dibersihin?” tanya Ravel sambil menatap Naura dengan ekspresi yang.....Naura sendiri merasa risih melihatnya. “ooh, anu. Tadi aku disuruh sama bi Uci” Naura tercengir kaku, meskipun ia sudah tinggal bersama selama sembilan tahun. Namun Naura tetap merasa risih dengan Ravel terkadang ia pun sering menghindar apabila hendak bertemu dengan Ravel. Bahkan Naila pun memeringatinya untuk menjaga jarak dari Ravel. “gitu ya” Ravel manggut-manggut. Dan tanpa dapat Naura hindari Ravel memaksa masuk ke kamarnya hingga Naura terdorong dan Ravel langsung menutup pintu dan menguncinya. “Kak?” Naura jadi panik ia pun perlahan menjauh dari Ravel yang sekarang malah tersenyum semakin lebar padanya. Mendapati Naura yang nampak takut itu, Ravel pun menghela nafasnya “sudah lama kita tinggal Ra, kok masih takut aja sih? Ga capek apa takut mulu. Aku manusia Ra bukan Hantu” ucap Ravel melankolis. Naura menggaruk pelipisnya yang memang gatal “eh, maaf Kak. Habisnya kakak langsung masuk gitu aja ya aku kan kaget” Naura melirik pintu. “kalo gitu aku keluar dulu ya kak” Naura langsung mengambil peralatan kebersihannya dan segera melangkah terburu-buru menuju pintu. Namun langkahnya terhenti saat Ravel langsung mundur dan mencegah Naura untuk keluar. “jangan buru-buru. Emangnya ada apa sih?” Ravel mengangkat salah satu alisnya dan berjalan maju mendekati Naura. Tatapan jahil yang ditunjukkan Ravel membuat Naura semakin takut. Ia bahkan berpikir pada hal yang tidak-tidak. Apalagi Ravel sering berlaku m***m padanya. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Ravel semakin dekat pada Naura. Naura semakin salah tingkah dibuatnya. Ia mengalihkan menunduk dan menjadikan vakum cleaner sebagai tamengnya. Ravel tertawa melihat tingkah Naura ia pun mengambil paksa benda itu dan menjauhkannya, sontak membuat Naura membulatkan matanya. “kak Ravel!” Naura semakin panik saat Ravel masih saja mendekatinya. “apa sayang?” goda Ravel yang membuat Naura ingin muntah mendengarnya. “kakak jangan macem-macem!” bentak Naura saat punggungnya telah menempel pada dinding. Ravel masih saja mendekatinya dan Naura menunduk sambil memejamkan mata. Ravel pun mengurung Naura dengan kedua tangan yang ia tumpu di dinding. Dan perlahan ia menundukkan tubuh dan menatap tajam pada bagian bawah mata Naura. Ia menemukan kantung mata yang lumayan pekat disana. Ia tau kalau Naura memiliki pekerjaan sampingan yang membuat gadis itu menjadi kurang tidur, namun ia memilih untuk pura-pura tidak tau. Karena itu adalah hak Naura. Ravel pun mengusap pipi Naura yang tembam itu. Pipi yang entah kenapa membuatnya rindu. Ia mengelus lembut pipi itu dan membuat empunya meremang ketakutan. Naura sudah tidak sanggup lagu untuk berdiri dengan kaki yang bergetar ditambah jantungnya yang berdebar tidak karuan karena sentuhan kecil dari Ravel. “Aaaa!!!” Naura berteriak saat Ravel tiba-tiba saja mencubit pipinya dengan kuat. “Sakit kak! Lepasin!” Naura refleks memukul tangan Ravel, lelaki itu pun melepaskan cubitannya dan tertawa puas karena berhasil mencubit pipi bakpau itu. “kakak tega banget ya. Sakit tau!” Naura mengusap pipinya yang semakin memerah. “habisnya itu pipi bikin gemes tau. Udah lama pengen di cubit! Sini” Ravel kembali menyentuh pipi Naura. Yang langsung dihadiahi gamparan dari Naura. “jangan pegang lagi!” Akan tetapi Ravel tetap menjalankan aksinya. Salah satu tangan Ravel mencengkram tangan Naura. Ia pun mendekatkan wajahnya pada wajah Naura dan langsung mencium pipi gadis itu cukup lama. Naura mematung dibuatnya, ciuman yang diberikan Ravel pada pipinya terasa begitu hangat. Tapi cepat-cepat menarik wajahnya dari Ravel dan lelaki itu pun menjauhkan wajahnya dari pipi Naura. “Gimana? Mendingankan kalo sudah di cium? Ga pedih lagi kan?” Ravel menatap tepat pada mata Naura. Gadis itu pun membalas tatapan Ravel dan hendak menyentuh pipinya. “eits! Jangan dihapus ya. Biarin bekas ciumannya nempel” Ravel pun tertawa, kemudian ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri, meninggalkan Naura yang mematung dengan jantung yang berdegup dengan cepat. “Jangan baper Naura” gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD