Prolog
"Kayla, maafkan ayah!"
Pria paruh baya yang selama hampir dua puluh dua tahun ini, ku kenal sebagai ayahku, cinta pertamaku sejak aku ingat segala hal. Tangannya yang dulu kekar, kini telah berganti menjadi tangan tua yang keriput itu menggenggam tanganku dengan erat mengecupnya beberapa kali.
Di depan mataku, pria itu menangis dan memohon kepada ku. Aku baru kali ini melihat ayah menangis, hatiku sakit seakan tertusuk sebuah belati.
"Bunda, ada apa?"
Wanita yang sejak tadi memelukku dari samping, kedua orangtuaku menangis ketika aku kembali dari Bali. Ada apa? Hanya itu pertanyaan yang dapat ku suarakan.
Selanjutnya, aku tahu mengapa mereka menangis dan meminta maaf padaku. Di depan sana, seorang pria berdiri tegap, kedua matanya menatapku dengan sendu dan penuh kesedihan.
Tubuhnya meluruh, bersimpuh dengan segala beban yang ia terima. Kedua mataku mulai menitikkan air matanya, membuat aliran sungai kecil di kedua pipiku.
"Kakak kamu hamil Kay, maafkan ayah yang meminta calon suami kamu untuk menikahinya!"
Kedua bahuku meluruh, masa depan yang telah ku tata sedemikian rupa dengan Mas Bara runtuh ketika mendengar permintaan maaf ayahku. Bunda memelukku semakin erat, aku tahu bukan hanya aku yang terluka di sini. Namun, apakah aku bisa dengan mudah melepaskannya?
Aku mencoba memahami luka kakakku, ia dihamili kekasihnya lalu ditinggalkan begitu saja. Lalu, aku? Aku harus melepaskan pernikahan dan masa depanku yang telah ku bangun begitu saja untuknya. Merelakan calon suamiku untuknya.
Pernikahan yang akan di adakan minggu depan, kini bukan lagi milikku. Nama kami memang sama, kata ayah tidak jadi masalah untuk tamu undangan. Aku melihat dengan jelas wajah terluka Mbak Meyla, ia menangis dan terus memeluk perutnya yang masih datar. Seakan begitu ketakutan jika aku akan merenggut nyawa dari janin yang baru berusia lima minggu tersebut.