Suasana kantin SMA Bakti Mulia saat ini sangat ramai, bel istirahat baru saja berbunyi membuat mereka segera berhamburan keluar kelas. Berbeda denganku yang sudah sejak setengah jam yang lalu sudah berada disini, karena jam kosong dikelasku. Kevlar juga sedang diam ditempatnya seperti biasanya duduk disalah satu meja yang selalu menjadi tempatnya dan teman-temannya. Aku hanya tersenyum tipis melihatnya memejamkan kedua matanya dengan headset yang terpasang ditelinganya, seakan menikmati musik.
“Udah nggak usah diliatin terus, ntar jadi abu tuh cowok!” kata Eris dengan sewot.
“Ish, sembarangan aja lo Ris. Emang mata gue punya tatapan laser apa?” dia terkikik dan memilih terfokus kembali dengan komik Doraemon yang bertengger manis ditangannya. Aku kembali melirik Kevlar yang masih dengan posisi awalnya, dia terlihat semakin tampan.
Brak!
Aku berjengit terkejut dengan suara gebrakan meja, dan guyuran air di kemeja seragamku menjadi basah.
“Apa-apaan lo, gebrak meja sembarangan!” bukan aku, itu suara Eris yang tersulut emosi.
Komik yang tadi bertengger manis di tangannya sekarang tergeletak diatas meja yang tadi di gebrak. Mereka adalah Kanaya, Dinda dan Citra. Anak IPS yang terkenal karena sikap mereka yang semena-mena kepada adik kelas, bahkan dengan teman seangkatan mereka yang membuat mereka terganggu. Mereka tidak segan-segan melabrak, atau membully.
“Gue nggak ada urusan sama lo!”.
“Heh! Dasar cewek kecentilan lo, emang segitu nggak lakunya ? sampe cowok orang lo deketin!” kata Naya dengan membentak, sementara Dinda yang notabene merupakan kekasih Ares hanya diam dan menatapku tidak suka. Sudah ku duga jika akan seperti ini.
“Gue nggak deket-deket tuh sama Ares, saudara lo aja yang deketin gue!” kataku dengan percaya diri.
“Apa lo bilang? jadi lo nuduh cowok gue yang suka sama lo gitu? Stela, Stela nggak usah mimpi deh!” kali ini Dinda bersuara, dari nada nya penuh dengan kemarahan dan cemburu. Sudah ku katakan bukan jika kekasih Ares adalah tipe cemburuan, jadi inilah hasil dari penolakan ku untuk pulang bareng yang pada akhirnya aku setuju untuk pulang bareng.
“Buktinya , kemarin dia nawarin diri buat nganterin gue balik!” kataku membuat Naya dan Dinda naik pitam, tiba-tiba Naya menampar pipi kiriku dengan keras hingga membuat orang yang ada didalam kelas mendengar tamparan itu. Pipi kiriku terasa perih dan panas, tangan kiriku terangkat menyentuh bekas tamparan itu dengan perlahan. Belum sempat aku membalas mereka, Dinda lebih dulu mendorongku kebelakang.
"Awas aja lo!" Jeritku dengan marah ketika dia berhasil menjatuhkanku.
Bokongku mendarat mulus diatas lantai, kepalaku tidak sengaja terbentur meja membuatku pening. Eris berusaha menolongku tetapi Naya mencengkeram kuat lengannya, dia mengaduh keras.
"Lepasin tangan gue!" Eris menarik tangannya dengan kasar membuat Naya yang memeganginya terdorong tetapi tidak sampai terjatuh.
Aku segera berdiri dan menjambak rambut Dinda dengan keras, dia menjerit sejadi-jadinya dan kedua tangannya balas menjambak rambutku. Rasanya kepalaku semakin pening, rambutku rasanya akan terlepas semua dari kulit kepalaku. Aku masih menjambak rambutnya sementara Naya dan Eris sepertinya membantu melepaskan jambakan di kepala kami.
"Berhenti! Gue bilang berhenti!" itu bukan suara Eris ataupun Naya, karena suaranya berat dan penuh penekanan. Tetapi aku masih tidak melepaskan rambut Dinda, sampai sebuah tangan yang besar dan sedikit kasar itu menarik tanganku. Genggaman tanganku terlepas dan menyisakan beberapa helai rambut berwarna hitam dengan sedikit kemerahan-merahan, rambut Dinda.
"Kalian apa-apa sih? Dinda ikut aku sekarang!" itu Ares, aku melihatnya sangat marah atau malu? aku tidak tahu.
"Lo nggak apa-apa La? bibir lo berdarah gue obatin ya sekalian lo ganti baju".
Aku menatap langit-langit ruangan UKS yang berwarna putih, bau obat-obatan yang khas menyeruak didalam rongga hidungku. Aku tidak terlalu suka dengan bau ini, rasanya seperti bau rumah sakit. Pikiranku melayang kepada laki-laki yang masih berlarian di pikiranku, aku tersenyum membayangkan wajah itu , wajah yang sudah hampir dua tahun ini mengisi otak dan hatiku. Awal pertama aku menyukainya ketika MOS, dia bukan laki-laki yang sangat cuek seperti sekarang.
*Laki-laki itu duduk bersila disalah satu pohon yang ada ditaman belakang sekolah, seperti sedang membaca sesuatu. Saat ini, istirahat kegiatan MOS. Aku tidak sengaja melihatnya, karena terlalu fokus padanya aku tidak tahu jika tepat didepanku ada sebuah batu. Aku jatuh dengan tengkurap, kakiku tersandung batu itu seragam putihku penuh dengan noda-noda tanah. Aku mengaduh pelan, segera bangun tetapi sepertinya kakiku terkilir membuatku terduduk lagi.
“Kalo jalan hati-hati!” katanya, dia sudah berdiri dihadapanku tangannya terulur kepadaku, dia tersenyum tipis tetapi aku masih bisa melihat senyumannya. Aku meraih tangannya dan berusaha bangun, rasanya kakiku sakit sekali.
“Makasih ya, kalo gitu aku pergi dulu” kataku pelan dan berniat berjalan, tetapi sepertinya kakiku tidak berpihak kali ini. Aku justru nyaris terjatuh lagi jika dia tidak menahan lenganku. Dia berjongkok didepanku, dan menyuruhku naik.
“Ayok naik! Atau lo mau ngesot?” aku menggelengkan kepalaku walaupun dia tidak akan melihatnya. Kemudian aku mendekat dan naik dipunggungnya , dia mulai berdiri.
“Gue anterin lo ke UKS aja ya!”
“i-iya, makasih dan maaf ngerepotin” dia mengangguk dan berdeham mengiyakanku, selama dijalan ke UKS banyak pasang mata yang melihatku di gendong oleh Kevlar. Semuanya lebih menatap kami bingung, apalagi jelas dari seragam putih dengan bawahan hitam itu kami adalah anak baru. Kelas sepuluh yang masih kegiatan MOS. Aku bahkan tidak sadar jika sudah sampai di ruangan berbau seperti rumah sakit itu. Kevlar menurunkanku di atas brankar UKS, dia tersenyum tipis lagi.
“Gue Kevlar” katanya, aku mengerti dia sedang memperkenalkan diri kepadaku. Aku menyambut uluran tangannya yang kekar, dengan tersenyum lebar.
“Gue Stela”.
Setelah itu kami lebih sering bertemu karena kelas baru kami ternyata sama, kami juga bertukar nomor ponsel dan mulai berkirim pesan bahkan terkadang dia meneleponku. Kami sangat akrab, sampai semuanya berakhir ketika ada seorang anak baru yang masuk sekolah ini. Kevlar mulai jauh dariku, bahkan sudah tidak membalas pesanku sama sekali. Dibaca pun tidak, apalagi ketika aku menyapanya dia hanya mengabaikan ku*.
“Heh! Ngelamun aja, kesambet baru tau rasa!”.
“Eh, lo dari mana sih Ris?” kataku yang melihat Eris, dia membawa sebungkus makanan dan satu botol air mineral. Dia menyerahkan makanan itu kepadaku, dia sendiri duduk dikursi yang ada disebelah brankar. Dia menyuruhku makan, dia sendiri hanya diam seperti memikirkan sesuatu.
Sedangkan aku memikirkan lamunanku tentang kenangan bersama Kevlar, walaupun waktu itu aku baru mulai menyukainya tetapi saat ini aku seperti pungguk yang merindukan bulan. Dia sangat dan teramat jauh dari gapaian tanganku.
Sesuap demi sesuap aku memindahkan nasi goreng yang Eris belikan ke perutku, tidak perlu lama karena memang aku sudah lapar. Aku meminum air mineral itu pelan tepat ketika Eris mengatakan sesuatu.
“Tadi gue liat Kevlar habis keluar dari sini, dia jengukin lo?”, minuman yang baru masuk mulutku itu tersembur sempurna mengenali Eris sedikit. Raut wajah bingung itu berubah menjadi jijik, jarang sekali seorang Eris jijik.
“Apa? Nggak mungkin lah, tapi kalo beneran mimpi apa ya gue semalem” aku senang sekali rasanya, aku kembali meminum air mineral yang tadi belum sempat masuk tenggorokanku.
“Tapi tadi Kevlar cuma nganterin gue Ris, La!” aku kembali menyemburkan air tadi dan karena air mineral tadi sudah ada yang masuk kerongkonganku aku tersedak, terbatuk membuat Eris sedikit khawatir dan mencoba menepuk punggungku membantu meredakan batuk. Dia Clarissa, wajahnya pucat dan dari yang ku lihat sepertinya dia sedang sakit. Entah kecewa atau malu, rasanya hatiku sakit mendengar jika Kevlar sendiri yang mengantarkannya. Apa mungkin aku yang terlalu berharap bisa kembali dekat dengan Kevlar seperti dua tahun lalu, walaupun sangat singkat tetapi efek yang tertinggal benar-benar tidak bisa diabadikan. Hampir setiap hari aku galau menunggu pesan darinya, atau menunggu dia pulang sekolah sekedar untuk menanyakan apa yang terjadi. Tetapi semuanya sia-sia.
“La, lo nggak apa-apa?” tanya Eris. Aku menggeleng pelan, aku menutup kembali kain pembatas dengan Risa yang sudah mulai tertidur setelah memberitahu kenyataan yang menurutku sangat pahit.
“Kantin yuk Ris!” kataku lalu turun dari brankar memakai kembali sepatu dan meninggalkan Eris yang entahlah sedang apa. Aku berjalan terburu-buru menuju Kantin lagi, bukan untuk makan karena perutku sudah kenyang. Sebenarnya aku hanya ingin melihat Kevlar, walaupun kecewa tetapi ku putuskan masih berada dijalan untuk meraih cinta dari Kevlar.
“Kapt!” Aku sangat mengenali suara dan panggilan itu, hanya satu orang yang masih memanggilnya seperti beberapa bulan lalu. Ares tentunya, laki-laki yang menjadi bahan bully yang menimpaku hari ini. Dia menarik kursi didepanku dan duduk sambil menatapku dengan tatapan rasa bersalah? atau aku yang salah tangkap.
"Ck! Res, gue udah bukan jadi kapten. Sekarang gue jadi pejuang UN" kataku membuat kami berdua nyengir kuda dan tertawa bersama, tepat Eris datang.
"Kalian ngetawain apaan? kita?" Kata Eris yang ternyata datang bersama dengan Lia, wajahnya kusut seperti benang yang baru dipelintir.
"Enggak kok ,, eh Lia kenapa lo?" bukan aku yang mengatakannya tetapi Ares yang masih duduk dikursi depanku dengan minuman teh kemasan botol. Ia meneguknya dengan cepat, belum semenit sudah kosong meninggalkan botolnya yang terbengkalai diatas meja.
"Eh, gue kesini sebenarnya mau minta maaf soal Dinda sama Naya. Mereka keterlaluan, gue udah marahin mereka kok." kata Ares dengan cepat lalu ketika ia melihat Naya Cs, buru-buru pergi menghampiri mereka. Kanaya atau yang biasa ku panggil Naya adalah saudari kembar Ares yang kebetulan sudah menjadi musuh bebuyutanku sejak kelas sepuluh, sifatnya tentu saja berbeda dengan Aresta Hendrawan yang baru saja meminta maaf atas kesalahan kekasih tercintanya dan saudarinya yang bagiku lebih mirip nenek sihir ketimbang adik perempuan.
"Gue belum ngomong apa-apa udah cabut aja dasar!” kataku.
“Emang lo nggak mau maafin dia? Tanpa jawaban dari lo Ares tau lagi dia udah dimaafin” tepat sekali jawaban Lia, tentu saja aku akan memaafkan Ares dengan begitu mudah terlebih dia sahabatku. Tetapi memaafkan Naya adalah sebuah akhir dari permusuhan, aku akan mengakhirinya ketika dia sendiri yang meminta maaf. Aku menyeruput teh anget yang kubeli, menunggu kedua sahabatku menghabiskan makanan yang baru mereka beli. Lia nampak tak terlalu lahap makan, tetapi itu sudah biasanya. Aku suka Lia, dia pendiam tetapi ketika aku sedang dalam masalah dia selalu memberiku saran. Sedangkan Eris, aku lebih dekat dengannya karena lebih dari dua tahun ini selalu menjadi satu kelas. Aku menyayangi mereka berdua, sahabat yang selalu menemaniku.
“ya iya sih, lah ngeselin! Gue pergi bentar” pamitku kepada mereka, kakiku melangkah ringan menuju tukang bakso yang terlihat masih ramai. Aku memesan satu mangkok bakso tanpa mie, setelah mendapatkannya. Aku pergi ke tempat Kevlar bersama teman-temannya, mereka sedang bergurau entah apa yang membuat ketiga laki-laki itu tertawa terbahak tetapi tidak mampu membuat Kevlar ikut tertawa seperti mereka. Ia hanya sibuk dengan buku ditangan kanannya.
“Hai!” sapaku kepada mereka, dan kali ini Kevlar menoleh kepadaku. Walau hanya menatap sebentar tetapi lumayan ada peningkatan dari usahaku yang kemarin, ia kembali terfokus dengan buku.
“Kev, gue bawain bakso buat lo!”.
Dia berdiri mendekat kearahku, buku yang tadi ia bawa entah kemana.
“Berhentilah Stela! Berhenti gangguin hidup gue, berhenti ngasih gue makan dan ngeliatin gue!” katanya dengan suara rendah tetapi membuatku merinding, apa katanya? Berhenti? Bagaimana aku akan berhenti jika setiap waktu hanya dia yang ku pikirkan.
“Tapi, kenapa? Kalo lo nggak bisa bales perasaan gue, gue nggak apa-apa kok” kataku meyakinkan diri sendiri jika penolakan bukanlah sebuah akhir. Tetapi ada perih dihatiku, sakit tanpa luka.
"Gue risih!" setelah mengatakannya dia pergi begitu saja. Aku hanya menatap punggungnya yang semakin mengecil dan hilang dibelokkan koridor, tetapi aku masih setia menatap kesana siapa tahu tadi ia hanya salah dengar dan Kevlar akan kembali lagi. Ada nyeri yang hebat didadaku, kedua mataku memanas seperti ingin mengeluarkan air mata.
"Stela! Lo.." Aku pergi begitu saja ketika menyadari tatapan mata penasaran di sekitar, mereka tidak dengar ucapan Kevlar karena memang dia mengatakannya dengan nada rendah dan seperti berbisik namun bagiku itu seperti sebuah tamparan yang lebih keras dan menyakitkan dari tamparan Naya tadi.