Tujuh belas tahun yang lalu, dia datang.
Kirana masih ingat jelas, hari minggu itu ia sedang menonton film minggu pagi di televisi.
Lalu, tiba-tiba lonceng sapi di pintu pagar rumah berbunyi berkali-kali. Disusul suara berat laki-laki mengucapkan salam.
“Assalamu'alaikum!”
Mbak Asih tergopoh berlari ke halaman membukakan pintu. Mama ikut keluar menghampiri dan mempersilahkan tamunya masuk.
Kirana awalnya hanya sambil lalu saja memperhatikan dan mendengar dari jauh apa yang terjadi. Ia mengira, yang datang hanya tamu biasa yang hendak menjahitkan baju atau memesan kue. Tetapi, rasa ingin tahunya muncul setelah disadarinya tamu itu datang melalui pintu pagar rumah di sebelah kanan, bukan pintu toko kue dan studio jahit mama di sebelah kiri rumah.
Dari balik gorden yang menutupi pintu penghubung ruang tengah dan ruang tamu, Kirana mencoba mencuri dengar dan mengintip, mencari tahu apa yang tengah berlangsung. Mama duduk anggun menghadap seorang lelaki paruh baya yang penampilannya sangat sederhana, dan seorang anak perempuan kurus berambut panjang yang tampak sebaya dengan Kirana.
Lelaki itu lebih banyak menunduk dan tampak tak betah berlama-lama duduk di ruang tamu yang bersih dan rapi. Mama tampak sangat tenang dan santun berbicara dengan mereka berdua. Namun, Kirana tak bisa mendengar apa yang diperbincangkan mereka bertiga. Entah karena suara mereka yg dipelankan atau karena terhalang bunyi hujan yang menderas.
Kirana jadi penasaran. Ia ingin ada di antara mereka. Mendengarkan dan terutama memperhatikan lebih dekat anak perempuan itu. Kirana mencari akal untuk dapat masuk ke ruang tamu dengan satu alasan yang tepat. Ia tahu mamanya tidak suka Kirana ikut nimbrung tanpa diminta jika orang tuanya sedang ada tamu. Tapi, belum sempat menemukan cara, Mbak Asih, yang baru selesai menghidangkan minum menariknya pergi.
”Sssh! Jangan ngintip begitu, nggak sopan! Ayo, ke belakang!”
“Ih! Apaan sih!”
Kirana yang keras kepala berteriak menolak sambil berusaha menghentak pegangan Mbak Asih. Sementara Mbak Asih justru semakin mempererat genggamannya.
Masing-masing tak ada yang mau mengalah. Akibatnya timbul keributan yang mengundang mama masuk ke ruang tengah. Tanpa bertanya, mama menatap tajam Kirana sambil mengangkat tangan dengan jari telunjuk mengarah ke pintu kamarnya. Kirana tahu artinya. Tanpa membantah sekata pun, dia pun masuk kamar.
Kirana paling takut jika mamanya marah. Kemarahan mama tidak menyemburkan kata-kata. Mama hanya akan diam. Namun, meski tidak pernah ada caci maki yang keluar dari bibirnya, didiamkan tanpa tegur sapa sampai ia minta maaf adalah siksaan yang tak terkira bagi Kirana.
Mama adalah segalanya di rumah tanpa lelaki ini. Papa Kirana meninggal akibat kecelakaan mobil setahun lalu. Dengan demikian, mama yang sebagai kepala keluarga sekaligus ibu yang menjadi sentra kehidupan Kirana. Jika Kirana ingin mendapatkan kelembutannya, yang harus dilakukan adalah tidak menentang ketegasan wanita tegas itu.
Sejak papa tidak ada, mama jarang menerima tamu lelaki di ruang tamu. Kecuali famili dekat, siapapun hanya ditemuinya di teras. Bahkan pernah mama tidak mengizinkan Mbak Asih membukakan pintu pagar ketika Om Beni teman sekantor papa datang mengantarkan dokumen dan barang-barang milik papa yang disimpannya di kantor. Mama menemuinya di pintu pagar.
Kirana hanya mendengar potongan kalimat ”menjaga diri” dan ”statusku kan rawan ” sebagai alasan ketika Mbak Asih menanyakan hal itu. Setelah Kirana kelak lebih besar barulah Kirana mengerti. Mamanya yang cantik namun terpaksa menjanda di usia 30 tahun memiliki status sosial yang rentan di masyarakat. Meskipun mama tidak melakukan hal-hal buruk, tetap saja stigma negatif diberikan kepada mama dan perempuan lain yang berstatus tanpa suami. Bagi sebagian kelompok lelaki kehadirannya bisa jadi godaan, sementara bagi sebagian kaum wanita, ibu Kirana merupakan ancaman bagi eksistensi mereka di hati pasangan masing-masing. Entah mengapa.
Alasan itu pula yang menyebabkan mama meninggalkan pekerjaannya sebagai sekretaris di sebuah perusahaan asing dan memilih membuka usaha jasa jahit dan toko kue. Mama menggunakan uang pesangonnya untuk menambah bangunan dua ruang menyerupai ruko di samping rumah peninggalan papa yang halamannya masih tersisa cukup luas. Ruang pertama digunakan sebagai dapur dan toko kue, dan ruang kedua menjadi butik dan studio jahit. Mama mempekerjakan dua orang penjahit, Mbak Rumi dan Mbak Dian. Sedangkan toko kue dibantu Mbak Asih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja dengan mama sejak Kirana bayi..
Tetapi kini, mama menerima tamu lelaki di dalam rumah. Laki-laki yang belum pernah Kirana lihat. Begitu juga dengan anak perempuan yang dibawanya. Kirana ingin tahu tapi Mbak Asih telah mengacaukan rencana pemenuhan hasrat keingintahuannya.
Setelah sejam berlalu, mama memanggilnya ke ruang tamu. Laki-laki tadi sudah tidak ada. Tapi di sana, di sudut ruang tamu, anak perempuan itu masih duduk menunduk. Di sebelahnya terletak tas travel jinjing berwarna coklat dan kantong kresek yang cukup besar.
Menatapnya, dalam sekejap, kesan yang muncul di diri Kirana adalah perasaan agak jijik. Kirana memandangnya seperti boneka kain miliknya yang kemarin baru saja dibuang oleh Mbak Asih karena sudah sangat lusuh. Rambut anak itu panjang sebahu, tapi kusut dan mekar tak beraturan. Air mata dan ingusnya seperti saling berlomba mengalir membasahi mukanya yang kotor. Ya, anak itu sedang menangis tanpa suara. Mungkin dia sedih karena ditinggalkan oleh laki-laki yang mengantarnya tadi.
Kuku-kuku tangannya panjang-panjang dan dipenuhi kotoran hitam. Bajunya pun tak keruan. Celana legging hitam yang dikenakannya terlihat berdebu. Begitu juga kaus bergambar Hello Kitty di atasnya yang jahitan di bahunya sudah terlepas di beberapa bagian. Dalam hati Kirana menebak-nebak warna asal kaus itu. Apakah putih atau memang krem buluk seperti itu. Menyedihkan sekali. Di mata Kirana kucing Hello Kitty yang biasanya bertampang manis itu jadi tampak malu dan tidak bahagia melekat di tubuhnya.
Mama menyuruh Kirana menyalaminya. Anak kurus itu berdiri menunggu. Kirana maju namun bau keringat dari badan anak itu membuatnya tanpa sadar mundur selangkah.
”Kirana!”
Suara mama pelan namun tajam menegur ketidaksopanan Kirana. Ya ampun! Apa mama tidak mencium bau anak itu yang sama sekali tidak enak.
Kirana maju kembali. Ia ternyata lebih tinggi sedikit dari anak gadis itu. Ditahannya nafas ketika menyalaminya. Ketika telapak tangan mereka bertemu, Kirana yang berusia sembilan tahun merasakan getaran aneh yang menjalari jemari, lengan, bahu, kepala dan lalu berkumpul di dadanya. Dan saat mata basah gadis itu menatapnya, Kirana merasa terperangkap di sebuah ruang asing yang tidak pernah dikenalnya. Ia tidak mengerti sensasi apa yang dirasakannya, yang ia tahu mata itu membuat getaran di hatinya berpendar menumbuhkan naluri kasih dan keinginan melindungi tubuh mungil dihadapannya.
Seketika, Kirana jatuh hati padanya. Walaupun hatinya penuh tanya, siapakah anak gadis lusuh ini?
****